Kamis, 06 November 2008

MENULIS DAN ASMA NADIA*

Sutejo

Kalau teman di Lingkar Pena Asma Nadia, ada sebuah wawancara kecil dengan Kompas, seorang penulis perempuan berbakat pernah bilang begini: "Saya tidak ingin menyia-nyiakan talenta dari Tuhan dan menjadikan menulis sebagai salah satu bentuk ibadah." Perempuan penulis itu adalah Helvy Tiana Rosa, yang saat ini dikenal sebagai penulis cerpen dan novel. Karyanya sudah dipublikasikan di majalah anak-anak sejak ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD). Lebih dari itu, konon, ia sudah mulai menulis catatan harian mulai kelas satu SD.

Sedangkan Asma Nadia yang terlahir 26 Maret 1972 di Jakarta ini memiliki proses kreatif realtif dekat dengan Helvy dan yang menarik untuk disimak. Paling tidak hal itu ditunjukkan oleh kerja kepenulisannya yang begitu produktif, 30 lebih judul buku telah dilahirkannya. Lebih dari itu, tiga buku diantaranya meraih Anugerah Adikarya Ikapi, yakni (a) Kumpulan cerpen Rembulan di Mata Ibu (2002), (b) Dialog Dua Layar (2003), dan (c) novel 1001 Dating (2005). Berikut merupakan refleksi dari ungkap kreatif yang dilaporkan MataBaca (edisi September 2005:22-23).

Apa yang menarik dari proses kreatif Asma Nadia? Sebuah jejak menulis yang menarik untuk dijejaki (a) begitu mendapat ide penulis ini langsung menentukan alur, tokoh, setting, dan endingnya, (b) ketika ide belum matang (belum jelas bentuknya) dia perlu waktu untuk mengendapkan dan mungkin observasi supaya ide menemukan bentuk terbaiknya, (c) menulis itu perlu komitmen sebagaimana profesi yang lain, (d) bakat turunan ayahnya, (e) terbentuk oleh budaya menulis di keluarga, (f) kritik pedas yang terus mengalir dari suaminya, (g) anak dan suami yang mengerti akan kerja kreatifnya, (i) pentingnya alasan yang kuat dalam menulis, dan (j) pentingnya kerja keras.

Kalau karibnya, Helvy Tiana Rosa pernah mengaku bahwa awal kepenulisannya sejak SD, SMP, dan SMA untuk mencari tambahan biaya sekolah, akhirnya termotivasi untuk membagi sesuatu yang abadi dengan orang lain. Agak berbeda dengan seniornya itu, Nadia lebih diuntungkan oleh bakat yang mengalir dari ayahnya. Bakat pun, pesan A.A. Navis jika tidak didukung oleh etos yang tinggi hanya akan menyumbang kesuksesan 20 persen saja. Karena dalam pengalaman Navis, memang profesi menulis 80 persen lebih ditentukan oleh kerja keras. Di sinilah, hal pertama yang menarik dipetik dari Nadia, “Jangan mudah menyerah. Penulis harus ngotot. Ingat, bahwa keberhasilan adalah jumlah kegagalan +1,” ungkapnya. Profesi apa pun memang membutuhkan etos dan keuletan yang tinggi.

Dalam konteks akuan demikian, maka hal kedua yang menarik diambil adalah pesan Nadia yang mengingatkan bahwa prfesi menulis membutuhkan komitmen. Komitmen yang bagaimana? Tentunya, menyeluruh. Tidak heran, jika keluarga Nadia begitu komit dalam mendorongnya. Suami rajin mengritik dan menilai, anak-anaknya memahami akan profesinya, dan bahkan kultur dan aroma menulis kental di keluarganya. Bahkan, Eva Maria Putri Salsabila yang masih duduk di SD, anaknya, juga menekuni dunia kepenulisan.

Hal ini mengingatkan penulis perempuan dari Surabaya yang mirip dengan Nadia. Yati Setiawan yang bersuami seorang penulis Wawan Setiawan dan kedua anak remajanya pun aktif menulis di Nova. Budaya membaca dan menulis sudah mengakar. Meskipun tidak secemerlang Nadia, namun Yati Setiawan juga memiliki komitmen yang tidak jauh berbeda dengannya. Wuih! Jika sukses menulis itu kita impikan, maka pembudayaan baca tulis di keluarga, komitmen, dan motivasi warganya akan menjadi kunci pentingnya. Pelan-pelan, marilah kita ciptakan keluarga kita sebagai keluarga yang komit pada kedua bidang ini.

Pengalaman kreatif Nadia dalam menggauli ide itu menarik disimak. Jika sudah matang, maka tinggal tentukan plot, tokoh, setting, dan ending-nya. Tapi kalau belum, sebagaimana Ayu Utami, HU Mardiluhung, dan penulis lainnya dibutuhkanlah research. Dalam bahasa Nadia, butuh observasi dan pengendapan agar lebih matang. Masalah tuh bagaimana mengendapkannya? Memikir-mikirkan terus, mengaitkan dengan informasi dan memori kita, menggulatkan dengan pengalaman batin dan didukung observasi lapangan maupun pustaka, tentunya. Mengingat membaca dan menulis merupakan pasangan yang paling mengasyikkan maka nyaris keduanya tidak bisa dipisahkan.

Hal keempat yang tidak boleh dilupakan adalah terciptanya tradisi berguru. Pembaca, dalam bahasa kejujuran kreatif (siapa pun itu hakikatnya adalah guru). Asma Nadia, suami dan anak-anaknya adalah guru kepenulisan itu. Alir kritik pedas suaminya, Alamsyah, adalah ruang refleksi setiap waktu. Dan inilah, juga ketika kita mencermati Yati Setiawan (Surabaya) itu telah sukses membentuk kultur guru-murid (dalam artian filosofis ini) di balik kultur positif di keluarganya. Sebuah tradisi yang kita impikan manakala kita (dan Anda) yang merindukan menulis menjadi profesi di keluarga kita. Berat? Ah, tidak sebenarnya, semua bisa bermula dari kebiasaan kecil macam (a) tradisi kado buku pada anggota keluarga, (b) adanya keteladanan baca, (c) adanya sharing pengalaman tulis, (d) adanya saat-saat diskusi rileks dalam memasakkan pengalaman, dan (e) tentunya perlunya ketersediaan sarana pendukung yang membimbing.

Terakhir, pentingnya keteguhan alasan. Bukankah alasan ini bisa menggerakkan apa pun profesi orang? Semacam latar belakang, background yang akan menentukan langkah menulis selanjutnya. Dalam pengalaman proses kreatif banyak penulis dikenal beragam alasan (a) ada yang menulis untuk mencari uang macam Isbedy Setyawan, (b) ada yang menulis untuk mengekspresikan diri macam Dinar Rahayu, (c) ada yang menulis untuk menyalurkan hobi, (d) ada yang menulis karena panggilan mood takdir macam Budi Darma, (e) ada yang menulis untuk mencari popularitas, (f) ada yang menulis untuk memotret dan sampaikan realitas macam Nh. Dini, dan (g) ada yang menulis untuk melakukan protes sosial macam Wiji Thukul. Eh, sekarang “Apa alasan Anda memasuki rumah kepenulisan?” Selamat berenung, apa pun alasan Anda (dan itu bisa ditambah draf alasannya) akan menentukan langkah-jejak karya Anda di masa depan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar