Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI DINAR RAHAYU*

Sutejo

Dinar Rahayu adalah sosok perempuan mutakhir yang beberapa tahun lalu dikukuhkan Nirwan Dewanto sebagai tokoh 2005 bersama Sitok. Dia adalah perempuan yang oleh MSNB.Com. dan situs Puisi.Net disinggung sebagai perempuan tradisonal berjilbab tetapi menguak seksualitas, dan karena itu, ia dikeluarkan dari sekolah di mana ia mengajar. Ia mengungkap aspek masokisme dan perilaku transeksual dalam bungkus mitologis Skandinavia. Menabrak tradisi?

Tentu, dan hal itu merupakan variasi lain dari menjamurnya tema-tema seksualitas setelah Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, dan penulis perempuan lainnya. Meskipun demikian, dari realitas yang demikian ada hal menarik yang dapat dipelajari sebagai bekal kepenulisan awal. Bagaimana ia mengembangkan kepenulisannya? Hal berikut merupakan refleksi kritis dari akuannya dalam wawancara dengan jurnal Prosa4 (2004:186-189).

Dari pengalaman Dinar, ada beberapa hal yang menarik (a) menulis itu ya mengalir begitu saja, sedangkan prosesnya berjalan sesuai dengan apa yang kita lihat, dengar, dan baca; (b) ide pun juga datang begitu saja, kita hanya seperti tukang ketik dari tokoh-tokoh yang muncul bergantian, (c) menulis itu tidak untuk kepentingan apa pun dan siapa pun, dan (d) “berguru” pada Danarto dan Budi Darma, karena Dinar menyukai style penuturan kedua sastrawan ini.

Mengapa Dinar menjadi heboh? Padahal dalam akuannya, novel Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch yang terbeli 289 buku. Di sinilah kadang, bagaimana kritikus tidak adil meletakkan kritik dalam kasusnya Cala Ibi jika dilihat dari terjualnya oplah sama sekali tidak menjanjikan. Namun, sebuah karya memang tidak dapat dilihat seberapakah ia terjual, estetika kembali tergantung pada diri teks itu sendiri dengan berbagai kekuatan tokohnya yang menyatu. Dan memang, Dinar sendiri tidak berpikiran untuk siapa karya itu ditulis, dia hanya mengalir untuk mengikuti para tokoh yang mengalir bersama karakternya.

Hal kedua yang menarik untuk dipelajari adalah bahwa dalam menulis Dinar tidak membuat draft dan mempersiapkan lebih dahulu. Menulis begitu saja. Soal karakter tokoh dan berbagai hal di dalamnya mengalir sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, dan dibacanya. Artinya, ide dan proses penulisannya sepenuhnya –barangkali memang berada di bawah sadar--. Sebagaimana Budi Darma, Mashuri, dan beberapa penulis lain yang mengaku mereka menulis tergerakkan oleh supra kekuatan yang dalam istilah kepenulisan hal ini sering disebut mood. Kondisi terbius.

Dalam logika psikologis dan neorologis apa yang didengar, dilihat, dan dibaca; memang akan membangun imaji tertentu, dan imaji bagi seorang penulis adalah wilayah menarik –yang tentu—penting untuk difasilitasi. Sebuah dunia aneh seringkali orang bilang, tetapi sesungguhnya hal itu wajar dan biasa dalam teori psikologis. Bukankah orang hidup 88 persen digerakkan oleh bawah sadar? Kalau kemudian seorang menulis mengalir mengikuti para tokoh yang diciptakan (menciptakan sendiri) bukan direncanakan, tentunya hal itu merupakan “kekuatan” di luar jangkauan sadar seseorang. Dan ini, banyak terjadi dalam proses kepenulisan.

Idola Dinar adalah Budi Darma dan Danarto, yang pada mulanya Budi Darma dikenal sebagai novelis absurdis tetapi dalam perjalanan karya mutakhir lebih dekat dengan spiritualitas. Hal ini tampak minimal dalam novel Ny Talis, cerpen Derabat dan Mata yang Indah. Alir tutur ceritanya seakan tak berantah, tetapi sesungguhnya bermuara pada laut spiritualitas yang berbingkai pada eksistensialisme. Sedangkan Danarto, sejak awal di samping sebagai prosais aburdis juga dikenal sebagai penulis sufistik. Mengapa yang lahir persoalan seksualitas dari tangan Dinar?

Idola ini melahirkan gaya dan style penceritaan, dan tentu persoalan atau tema bukanlah harus sama. Tema menjadi penggerak, sedangkan tokoh, karakter, dan bahasa pada akhirnya memang bergandeng tangan melahirkan pengucapan cerita yang mengena. Begitulah, kemudian memang menulis dalam pandangan Dinar Rahayu tidak berpretensi kepada apa dan siapa pun, tetapi sebuah alir sungai yang dipayungi oleh pendengaran, penglihatan, dan pembacaan yang “menyelinap”. Bagaimana dengan kita? Ajarilah bawah sadar kita untuk mengalir, jujur, dan menuangkan apa pun jangan ditakut-takuti dengan patut atau tidak, pantas atau tidak, dan lain sebagainya. Mengalir karena itu, adalah rumus terpenting karena menulis adalah dunia ketidaksadaran itu.

Terakhir, dalam persoalan ide ternyata Dinar berbeda dari penulis lainnya. Jika penulis lain sering mengatakan bahwa ide diperoleh dari mengamati realita, mendengarkan lagu, menonton film, cerita orang, atau apa yang dialami sendiri; maka dalam pengalam Dinar Rahayu ide datang menghampiri. Bahasa lain, mungkin Dinar bermenung atau melamun, dan karena itulah ide menghampiri.

Banyak pengalaman penulis yang unik sehingga cantik untuk dicermati. Jika kita berkacamata kejujuran, maka apa pun dan siapa pun sesungguhnya adalah bagian dari apa yang kita dengar, lihat, dan baca untuk direfleksikan ke dalam karya. Tunggu apa lagi, bahan dan sumber tulisan terentang sejak dalam alam mimpi, di jelang terbangun, usai subuh, sepanjang siang, maupun sekian waktu di jelang “maut sementara” menjemput. Mengapa begitu “sombong” kita tidak fasilitasi, tidak kita sambut dengan kelembutan bawah sadar, sehingga akan menjadi “tamu istimewa” di masa depan?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar