Kamis, 06 November 2008

HAMSAD RANGKUTI: MENULIS SEBAGAI PROFESI

Sutejo*

Siapa yang tidak kenal Hamsad Rangkuti? Sastrawan ini lebih dikenal sebagai penulis fiksi yang andal. Kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot mendapatkan hadiah Khatulistiwa Award dengan total Rp 70 juta berikut berjalan-jalan keliling Inggris.

Dalam laporan MataBaca, Hamsad mengungkapkan beberapa hal penting yang menarik untuk direnungkan. Hal menarik itu diantaranya adalah (a) dia mulai meninggalkan beberapa kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan menulis, (b) semakin banyak membaca semakin banyak yang bisa diperoleh, (c) dialog dan narasi akan datang susul menyusul, begitu latar, tokoh dan peristiwa ditemukan (September, 2005:10). Di samping itu, dalam sebuah media nasional Hamsad diberitakan mempunyai kebiasaan aneh, “kungkum di kolam rumah setiap pagi berkisar 2 jam”.

Jika kita ingin belajar menulis dari tokoh ini, maka hal pertama yang menarik diingat adalah “bagaimana keberanian kita untuk meninggalkan hal-hal (tugas-tugas) yang tidak ada kaitannya dengan menulis”. Dalam praksis kehidupan mutakhir, memang, hal ini sulit dilakukan. Apalagi, jika kita mengingat banyak penulis yang melakoni profesi ganda. Ada yang dosen, dokter, psikolog, penyanyi, artis, wartawan, dan sebagainya. Hanya, hal positif yang dapat ditarik dari apa yang diputuskannya itu adalah (a) menulis butuh pengorbanan, (b) menulis butuh fokus, dan (c) menulis butuh profesionalitas.

Meninggalkan tugas lain selain menulis memang terlalu “naïf” barangkali bagi sebagian orang. Tetapi, dalam dunia kepenulisan banyak pula orang-orang yang memang hanya menggantungkan pada profesi kepenulisan. Nama-nama seperti Beni Setia, Harjono WS, Ratna Indraswari Ibrahim, Afrizal Malna, Ucu Agustin, Eka Kurniawan, dan Isbedy Setiawan adalah orang-orang yang istikomah di bidang kepenulisan.

Karena itu, hal-hal yang dapat dieksplorasi berkaitan untuk menyubutkan kepenulisan adalah kegiatan macam (a) membaca, (b) diskusi dengan kolega dan siapapun, (c) bertamasya spiritual untuk menemukan ide, (d) berenung, (e) meditasi, (f) mendengarkan musik dan menonton film, (g) mengritisi berita, (h) mendengarkan cerita dari teman, (i) mencari hal-hal unik di lingkungan, (j) mencari dan merenungkan hal-hal yang bernilai humanitas tinggi, (k) melukis, (l) seminar dan workshop, (m) sharing proses kreatif dengan banyak pihak, dan berbagai kegiatan empatif lainnya.

Mengapa kegiatan ini penting dibudidayakan? Tentunya, hal ini didasari oleh filosofi bahwa dar semua itulah ide kepenulisan dapat direngkuh. Dari pengalaman banyak penulis hal-hal itu dinilai dapat menelurkan ide menarik. Untuk ini, jika Anda berkepentingan untuk menemukan sejumlah ide maka hal-hal itu penting difasilitasi agar tugas-tugas kepenulisan dapat dikaryakan.

Kedua, berguru pada membaca. Bagi Hamsad, semakin banyak membaca memang akan semakin banyak yang dapat diperoleh. Karena, memang, dengan membaca transfer informasi dapat dipetik, pengetahuan dapat diraih. Pengalaman Negara Jepang, misalnya, bahkan telah mentradisikan membaca dan menulis dalam hari-hari keluarga di Jepang. Akibat dari hasil membaca ini bagi Jepang adalah transfer ilmu pengetahuan dan teknologi secara besar-besaran sejak 1962.

Dengan begitu, jika kita ingin menulis memang penting untuk membumikan kebiasaan membaca. Membaca sendiri memang ibu kandung dari ilmu pengetahuan. Di samping, dengan membaca imajinasi dapat berkeliaran bebas, mengembara tanpa batas, tanpa penyekat. Sebuah tamasya hati dalam bahasa Ibnu Duraid. Mengingat substansialitas membaca demikian maka kunci keberhasilan kepenulisan terpanggul di pundaknya. Hal ini mengingatkan akan filosofi membaca sebagai si peminta sehingga jadi kaya. Membaca dalam konteks kepenulisan fiksi tidak terbatas. Apa pun materi pembacaan akan memperkaya imajinasi: politikus busuk, perempuan peselingkuh, suami takut isteri, kriminalitas, sensualitas, dan sebagainya. Pendek kata dalam rumus penulisan fiksi tidak ada pembatasan materi. Semuanya bermanfaat untuk menumbuhkan imajinasi.

Ketiga, adalah pentingnya mengalir dalam menulis. Resep penting Hamsad adalah bagaimana dialog dan narasi akan datang sendiri ketika seorang pengarang telah mampu melakukan pelukisan latar, tokoh, dan terpilihnya peristiwa sebagai ruh cerita. Peristiwa dalam penulisan fiksi, sebagaimana saran banyak pengarang, bukanlah sekadar peristiwa biasa. Tetapi sebuah peristiwa terpilih. Peristiwa tentu melahirkan tokoh dan tempat, karena itu, ketiganya merupakan tautan penting yang menarik untuk dipahami.

Di situlah, sebagaimana pengakuan Hamsad narasi akan hadir, dialog akan menyusul. Dalam praktik komunikasi memang kehadiran tokoh nyaris tidak mungkin tanpa ”narasi”, tanpa dialog. Hal itu, akan tercipta ”otomatis”. Hanya, problem penulis baru biasanya adalah bagaimana memindahkan narasi ke dialog, dan dari dialog ke narasi.

Dalam praktik kepenulisan, dialog dapat dihadirkan dalam bentuk pertemuan tokoh, munculnya tokoh baru, melalui mimpi, atau lamunan. Untuk ini barangkali problemnya adalah bagaimana imajinasi pengarang lebih alami dalam memandang realita sosial. Kemahiran narasi sebaliknya dapat diciptakan misalnya untuk (a) melukiskan tokoh, (b) melukiskan seting, (c) menceritakan watak, (d) membuat alur cerita, (e) mengilustrasikan konflik, samapi (f) menceritakan lamunan.

Dalam pertemuan dengan penulis pada tahun 2001, Hamsad pernah menceritakan tentang cerpen yang sempat menimbulkan keresahan isterinya. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu. Sebuah cerpen yang menurut amatan saya, itulah yang paling panjang judulnya. Berpijak dari contoh ini, maka hal menantang adalah keberanian kita untuk berbeda. Berani melakukan sesuatu yang –barangkali belum ada sebelumnya--. Contoh cerpen itu adalah “kelangkaan” dari aspek judul cerpen sebelumnya.

Hal lain yang dapat dipetik dari Hamsad adalah bagaimana menjadikan profesi menulis sebagai yang utama. Bahkan, sebagai gantungan hidup. Pilihan profesi yang tidak semua berani melakukannya. Apa pun tentu dalam logika motivasi jika ditekuni akan mendapatkan manfaat dan hasil yang tidak sedikit. Untuk itu, jika dunia semakin rumit, kompleks, maka pilihan kepenulisan sebagai profesi merupakan satu alternatif. Di samping, dunia kepenulisan ini akan memberikan kedewasaan dan kematangan mental-hati untuk menjadi manusia sempurna. Bercahaya hatinya, cari dan mengalir batok kepalanya.

Kesimpulan, jika kita pengin menulis fiksi maka mengalir sajalah dengan membayangkan tokoh, tempat, dan peristiwa. Narasi dan dialog dapat diciptakan. O, ya satu lagi, tentang kebiasaan Hamsad yang berendam di kolam, ternyata dilakukan untuk menemukan ide. Aneh, memang. Begitulah seringkali penulis memang aneh. Karena itu, jangan kuatir, jangan takut jika statu waktu menjadi manusia aneh! Selamat mencoba.. Mengawali hari ini menuai di hari nanti.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar