Kamis, 06 November 2008

TAMSIL ETOS MENULIS NANING PRANOTO*

Sutejo

Seorang aktivis kepenulisan yang begitu populer, Naning Pranoto dalam bukunya, From Diary to be Story (Penebarplus, 2006), ada mutiara yang menarik untuk dikuak: etos (kerja keras). Bukankah kerja keras dalam bidang apa pun adalah kunci utamanya? Jika kita ingin sukses menulis, maka etos kerja ini menjadi samurai penting dalam memasuki dunia persilatan kepenulisan.

Sebuah ilustrasi tentang etos yang ditamsilkan Naning itu mencakup hal-hal berikut: (a) melatih imajinasi tinggi dengan cara antara lain banyak membaca, (b) banyak bergaul (untuk mengenal watak) dan traveling (agar banyak mengenal tempat, budaya, gaya hidup) untuk mempertajam imajinasi, (c) menjadi pribadi yang komunikatif, (d) menjadi pribadi yang adaptif dan fleksibel, (e) banyak membaca buku psikologi dan sosiologi, (f) dapat menyendiri minimal 1 jam sehari untuk berenung dan berkhayal, (g) mengikuti pelatihan menulis untuk menimba pengalaman, (h) mengintip cara kerja pengarang (penulis) lainnya, (i) mempertajam imajinasi dengan cara mind mapping (peta pikiran), dan (j) memiliki ruang kerja mandiri (tersendiri) (2006:53-55).

Melatih imajinasi sebagaimana pengalaman Eka Budianta, dapat dilakukan dengan main-main dan berpikir ringan. Misalnya (a) mengapa bayi menangis, (b) mengapa kucing termasuk binatang romantis, (c) mengapa wanita disebut dengan bunga, (d) mengapa kuda kenjang larinya, (e) mengapa semut ketika bertemu teman kemudian mengikuti temannya, dst. Sebuah “permainan” yang akan mempertajam imajinasi kita. Sebab, satu kunci penting dalam menembus kabut menulis adalah imajinasi. Tanpa imajinasi, tentu, terasa kerontang rasanya sebuah tulisan selogis apa pun. Imajinasi dan berpikir tak dapat dilepaskan. Ingat, sekali lagi Einstein yang berpesan, “Imagination is more than knowledge”.

Luas pergaulan dan travelling memberikan tamsil bahwa inspirasi dapat muncul dari kedua hal ini dan bagaimana dengan melakukan keduanya pemahaman atas beragam karakter dapat ditingkatkan. Dengan sendirinya, bagian dari etos adalah luwes dalam bergaul, termasuk meluaskan pengalaman travelling ini. Dalam perjalanan melintasi pedesaan, dengan bebebatuan tandus, pohon-pohon yang meranggas, debu mengangin, jalan makadam adalah imajinasi sulit kehidupan pedesaan. Kulit kelam, legam hitam, panas pantai, bau asin, alir keringat, arung perahu, angin kencang, geliat ikan adalah ayat imajinasi yang kuat kala empati melekat.

Imajinasi tak mungkin berkembang jika tak terasah dengan luwes gaul dan travelling ini. Sebuah wisata kepenulisan yang biayanya lebih menguras intensitas gulat gaul untuk menyembulkan pengalaman lapang yang rindang. Susun pengalaman indera yang mengelindan, balut pikir terukir bak ukir Jepara; akan mengalir pesona. Meskipun memang faktor olah bahasa bukan yang utama tetapi jika ini dilakukan satu pintu rumah kepenulisan itu telah kita pegang. Banyak orang memiliki pengalaman travelling, tetapi karena tidak memiliki naluri imajinasi kuat ia hanya menjadi buih dalam lautan kehidupannya.

Pribadi komunikatif adalah upaya lain untuk membangun etos. Komunikatif sekaligus cermin cerdas gagas, lantip imajinasi, karena berbalut pesan konteks. Berbicara dengan tukang becak beda dengan ilmuwan, bersaran pada pemulung beda dengan perenung, komunikasi dengan kiai beda dengan priyayi. Pribadi komukatif adalah cermin cerdas pikir, cerdik kata, arif rasa. Untuk apa? Untuk membangun karakter yang kuat dalam kisah di samping saji pendar dialog yang bervariasi dan kontekstualisasi. Pengarang dengan sendiri adalah komunikan yang brilian. Semacam rhapsodist. Demikian juga, dengan banyak membaca buku psikologi dan sosilogi. Bukankah sosiologi akan mendekapkan penulis dengan lingkup tangkung sosial kemasyarakatan? Dengan psikologi akan menajamkan prisma jiwa beragam persona.

Sedangkan pelatihan menulis, dalam tesaurus kepengarangan Naning tampaknya akan menjadi pemandu. Ini filosofinya adalah menulis sebagai keterampilan, menulis dengan sendirinya tanpa dilatih (jika hanya teori) hanya akan menjadi pusakan yang tak memesona. Di samping, secara epistemologis, dengan pelatihan kita akan mampu “mengintip” proses kreatif penulis lain sebagai bekal ransang dan pendulang pengalaman yang berkesan. Bukankah dalam kehidupan makro kita dapat berguru pada kiat sukses orang lain?

Lorong sukses menulis versi Naning tampaknya mengharuskan keterampilan mapp. Hidup sendiri (sebagai sumber tulisan) adalah mapping Tuhan yang di dalamnya menarik untuk direnungkan. Hamparan hidup yang penuh palung, semenanjung, teluk, berbalut ombak meriak dan berbusa ada mapping awal. Karang batu dan pasir pantai kehidupan menjadi peta lain yang secara metaforik menggelitik. Jika kita sulit memahami analog ini, contoh berikut jauh lebih sederhana yang dapat di-mapping-kan.

Sebutlah cinta sebagai puncak hidup. Cinta pertama-tama akan bersangkut dengan (a) usia, (b) jenis kelamin, (c) status sosial, (d) profesi, (e) bidang kehidupan, dan (f) kodrat manusia. Kemudian usia sendiri, misalnya, dapat dipetakan lagi (a) cinta anak-anak, ingusan, (b) cinta remaja, dan (c) cinta dewasa. Makna masing-masing klasifikasi usia dengan sendirinya akan beragam makna. Kematangan dan perkembangan usia menjadi salah satu penentu dalam memaknakannya.

Terakhir, bagaimana penting menggerakkan etos menulis adalah dengan memfasilitasinya dengan ruang khusus, kesempatan khusus, dan hal khusus lainnya. Sebuah pesan dari loyalitas dan mengabdi akan profesi menulis. Jika kita komit pada satu hal tanpa memberikan layanan khusus padanya tentu akan menjadi tanda tanya tersendiri. Bagaimana? Ini memang lorong rahasia orang, seorang perempuan yang sudah malang melintang di jalur “gazza pelatihan”, penuh “perang kepentingan” para peserta.
Tamsil etos ini adalah metafora. Jalan panjang dan puncak kepenulisn berawal dari pendakian berotot etos yang tak pernah keropos!
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar