Kamis, 06 November 2008

NOVA R. YUSUF: TERINSPIRASI PENULIS LAIN

Sutejo*

Ada perempuan pengarang yang terang-terangan terinspirasi Ayu Utami dalam kepenulisannya. Dia bilang, karakter kewanitaan itu begitu menonjol dalam Saman dan Larung, apalagi dalam kumpulan esainya berjudul Parasit Lajang. Sebuah konsekuensi yang bukan tanpa risiko. Bagi Nova, realita Ayu menjadi penggerak kreativitas dan tema kepenulisannya. Perempuan yang lahir 27 November 1977 ini berkiprah melalui novel menariknya berjudul Mahadewa Mahadewi. Kejujuran Nova, tentunya, menjadi mutiara kepenulisan yang menarik bagi siapa pun kita. Memang, tidak jarang, penulis yang satu tergerakkan oleh penulis yang lain.

Dari realita akuannya, tentunya menarik dua hal penting: (a) bahwa menulis adalah proses kejujuran dan (b) pemodelan (inspirasi) bukanlah hal tabu dalam pengembangan penulisan seseorang. Di sinilah, tentu yang mengingatkan akan pentingnya idola atas apa pun. Idola dalam kepenulisan adalah dunia mimpi. Masyarakat populer kita begitu terarus oleh realita pemodelan (pengidolaan), tetapi pemodelannya bersifat semu dan bukan inspiratif. Pemodelan yang terjadi seringkali berupa pengaguman buta dengan menirukan hal-hal lahir semacam model pakaian, rambut, dan berbagai tingkah laku lainnya.

Dalam rumus kepenulisan hal ini sebenarnya menjadi menguntungkan. Sayang, ruh pemodelan belum sampai pada hakikat gerak yang dimiliki oleh para pemodelnya. Katakanlah, remaja kita banyak yang mengidolakan Agnes Monica tetapi tidak pernah tergerak untuk menelisik apa sih yang dilakukannya untuk menjaga konsistensinya? Pemodelannya bersifat konsumtif dengan meniru mengendarai kendaraan tertentu, warna tertentu, dan potongan rambut tertentu. Sungguh, konteks pemodelan ini tidaklah membawa makna apa-apa kecuali keterpurukan budaya konsumtif yang makin dalam.

Nah, sekarang bagaimanakah proses kreatif penulis cantik ini? Ada beberapa hal menarik yang dapat dinikmati (tidak saja kecantikannya, eh maaf): (a) estetika itu bersifat personal, (b) keperempuanan Nova ternyata menjadi sumber utama, (c) hubungan darah kepenulisan (Kusbini dengan Madah Cintaku), (d) berguru pada para penulis lainnya, dan (e) hakikat kepenulisan adalah hal yang unik sebagaimana akunya begini, every style is unique as in every human being born unique (Prosa4, 2004:218).

Berangkat dari realitas (tema) perempuan yang seksis, misalnya, memang sangat diuntungkan oleh era industrialisasi yang praktis menggempur kemutakhiran yang didukung keberpihakan gender. Tidak heran, hal demikian menjadi insipirasi penting karena bagaimana bagaimanapun wanita dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi isu sentral kehidupan mutakhir dengan berbagai sisiknya. Tidak mengherankan jika hal ini menggerakkan para penulis perempuan lain macam Nukila Amal, Dwi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan lain sebagainya (terlepas berbagai pemaknaan dan penafsirannya). Artinya, ketika aspek seksualitas menguat maka konsep industrialiasinya tidak dapat terlepaskan.

Dalam mengungkapkan estetika tulisan tentunya memang bersifat pribadi. Karena itu, maka keindahan masing-masing penulis tidak tergantung pada penilaian orang, tetapi persepsi pribadi, pengalaman pribadi, dan kemampuan pribadi. Di sinilah maka hal menarik itu dapat disadari penuh oleh calon penulis. Karena menulis hakikatnya bersifat pribadi maka pengekoran pada orang lain, misalnya, hanyalah bersifat sementara. Artinya, pada titik tertentu seorang penulis akan mampu lepas dari gaya yang diepigoni. Hal inilah yang pertama-tama penting kita sadari manakala memasuki masa depan dunia menulis. Sebagaimana sifat dasar manusia yang unik maka proses kreatif pun bersifat unik pula.

Bagi Nova, laki-laki dan perempuan akan menunjukkan perbedaan dalam sudut pandang dan pengembangan penulisan. Tak heran, jika kita mau belajar dari pengalamannya maka sisi laki-laki maupun perempuan itu memiliki pengaruh penting terhadap pilihan tema, tokoh, seting yang dimunculkan di dalam karyanya. Bagaimanapun perempuan, memiliki karakter yang berbeda dengan laki-laki. Dengan begitu, ketika laki-laki berbicara tentang perempuan tentunya berbeda dengna perempuan yang membicarakan perempuan. Apalagi dalam konteks mutakhir, hal ini berkaitan penting dengan perjuangan wanita sebagai ikon feminisme yang memperjuangkan keseteraan sebagai panglima di dalam karya-karyanya.

Hal ketiga, dan ini tidak semua beruntung, dalam kamus kepenulisan Nova mengalirlah darah kepenulisan dari kakek. Mitos? Nggak, memang dalam tradisi inner fengsui, misalnya, telah lama dikenal ada tiga macam keberuntungan (a) keberuntungan dari langit, (b) keberuntungan dari alam, dan (c) keberuntungan dari manusia. Realita Nova, karena itu, merupakan keberuntungan dari langit. Sebab, teori ini mengingatkan bahwa seseorang sudah memiliki kelebihan sejak lahirnya. Misalnya, (a) orang-orang yang terlahir dari keluarga kaya, (b) orang-orang yang terlahir dari cerdik-pandai, (c) orang-orang yang terlahir dari penulis ulung, dan sebagainya. Sebuah keberuntungan yang lebih dekat disebut dengan takdir. Mengapa kita tidak terlahir dari rahim penulis?

Satu hal yang bisa dipetik dari pengalamn takdir ini, adalah keyakinan kita akan adanya keberuntungan dari manusia. Artinya, kita bisa melakukan sesuatu yang terbaik, sehingga akan melahirkan karya dan sukses yang berbeda dengan keberadaan awal kita. Inilah, yang seringkali merupakan keberuntungan yang lebih banyak ditentukan oleh etos dan upaya keras berbalut kedisiplinan tinggi.

Dengan kata lain, nasab kepenulisan (macam Nova) bukanlah jaminan seseorang akan menjadi penulis. Hanya, secara hereditas hal itu dimungkinkan. Akan tetapi, dalam teori kepenulisan bakat (turunan), bukanlah faktor terbesar. Artinya, keberhasilan kepenulisan seseorang dalam kajian motivasi adalah buah dari sebuah etos yang ulet, komitmen tinggi, dan nyali yang tak pernah henti. Bakat turunan barangkali potensi, tetapi pengembangan potensi melalui pelatihan dan etos tinggi adalah hal besar yang menarik untuk dikondisikan.

Sebagaimana penulis-penulis lain, Nova Ariyanti Yusuf ternyata juga mengagumi dan berguru pada penulis lain. Perjalanan penulis ini, memang sangat terinspirasi oleh Ayu Utami. Namun, ternyata dalam karya pun begitu jauh berbeda dalam soal pengucapan. Inspirasi itu, barangkali, hanya bersifat tematik (mungkin juga politik kepenulisan). Selebihnya adalah sebuah gaya pribadi sebagai jargon yang sering diungkapkannya. Every style is unique as in every human being born unique.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar