Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI HARDJONO WS*

Sutejo

Pada akhir 2007 lalu, ketika SMA Immersion menghadirkan dua sastrawan Jawa Timur: (a) Hardjono WS dan (b) HU Mardiluhung dalam rangka “bedah kreativitas kepenyairan” dan “kreativitas pembelajaran sastra” ada hal menarik dari apa yang dikemukakan oleh Hardjono WS. Apa? Saat itu, ketika di usai pemberian hadiah Lomba Menulis Cerpen Remaja 2007, dia mengungkapkan beberapa hal penting (a) ketekunannya atas profesi menulis, dan dia hidup dari menulis (b) menulis adalah ciri manusia kalau tidak menulis bukan manusia, (c) mengajarkan sastra (termasuk membacanya) adalah wilayah kebebasan yang tidak terikat oleh pagar benar atau salah, dan (d) pentingnya menanamkan membaca dan menulis pada anak-anak.

Hadir juga pada acara itu, Prof. Setyo Yuwono Sudikan, M.A., Kepala Dinas Pendidikan Ponorogo, Ketua Balai Bahasa Surabaya, Ketua STAIN Ponorogo, Suyatno pengarang buku pembelajaran sastra dari Surabaya. Sebuah ruang refleksi berkesusastraan dan berkepenulisan yang menarik direspon. Apa yang dapat dipetik?

Usai pemberian hadiah, Hardjono WS (sastrawan asal Mojokerto yang juga terampil musikalisasi itu) minta waktu untuk mengungkapkan sesuatu. Sambil tersendat, ia mengungkapkan begini, “Ciri manusia itu menulis. Karena itu, kalau ada manusia tidak menulis berarti bukan manusia. Terima kasih pada SMA Immersion yang telah menumbuhkan budaya menulis.” Ungkapnya, diselingi tepuk tangan hadirin.

Sebuah ungkapan dan pesan yang sarkastis. Tetapi jika kita jujur, bukankah menulis dan membaca adalah amanat Tuhan. Surat pertama yang diturunkan-Nya adalah surat tentang membaca dan menulis. Dengan kritik Hardjono ini memiliki akar filosofis yang kuat. Karena itu, jika kita ingin tetap dianggap sebagai manusia menarik untuk mencirikan diri sebagai makhluk yang menulis.

Masalahnya adalah mengapa manusia harus menulis? Jawabannya barangkali begini: (a) karena manusia adalah makhluk berpikir sehingga hasil pikirannya perlu dituangkan, (b) karena manusia adalah makhluk sosial sehingga dalam berkomunikasi dengan orang lain seringkali menggunakan sarana tulisan, (c) karena manusia adalah makhluk berbudaya sehingga untuk menumbuhkan kebudayaan akan efektif manakala lewat penulisan, (d) karena manusia adalah makhluk berilmu yang membutuhkan pengembangan lewat tulisan, dan (e) karena manusia akan mati sehingga agar tidak tidak ada cara lain kecuali ”menuliskan kebaikan dirinya” dalam tulisan, pikiran dan pengalamannya akan dapat dipelajari oleh orang lain.

Pelajaran kedua: pentingnya keberanian untuk memutuskan menulis sebagai gantungan hidup (profesi?) Apa yang dilakukan oleh Hardjono WS ini tampaknya memang melengkapi dengan apa yang dialami oleh “penulis murni” yang memperjuangkan hidupnya dari pena. Sebuah pilihan yang bukan tanpa risiko, karena kepenulisan hakikatnya sebagaimana diungkapkan Shoim Anwar, sebagai sebuah “gelombang laut”. Artinya, bisa pasang dan bisa pula surut.

Permasalahannya jika terjadi “pasang surut” bagaimana? Ia menjadi langgar tempat “pelarian”. “Kalau tidak ada job musikalisasi atau “tanggapan lain” ya di langgar, ungkapnya. Sebuah relijiusitas hidup yang meneb. Artinya, menulis memang butuh penekunan yang luar biasa. Sepenuh hati, sepanjang waktu. Mengapa generasi kita tidak suka menulis? Sebuah problem besar dunia pendidikan yang tidak begitu banyak guru peduli dan menyadari.

Di SMA Immersion itulah, kemudian Hardjono berpesan, pentingnya menanamkan kebiasaan membaca dan menulis. Menulis bisa apa saja karena itu merupakan pintu yang membuka segala bidang keilmuan. Bukan profesinya apapun jika didukung oleh kemampuan menulis ini akan memperlancar keberhasilannya. Ahli-ahli motivasi mutakhir juga melakukannya. Bahkan hipnosis salah satu alat terpentingnya adalah persoalan bahasa, dan karena itu, bisa jadi jika proses relaksasi tidak hanya memanfaatkan musik tetapi juga skenario imaji yang diungkapkan.

Pembelajaran pada anak, katanya, akan menjadi dasar pergulatan sebagaimana diusulkan Taufik Ismail. Masalahnya adalah bagaimana peran guru? Ibarat mengajar mengendarai mobil, maka seorang guru pun harus mampu mengendari mobil. Demikian pula dengan menulis, guru pun harus mampu menulis. Berapa persen kah guru yang mampu menulis? Belum banyak memang, tetapi jika budaya menulis ini dimulai dari sekarang bukan hal terlambat kiranya. Sebab jika perubahan satu persen setiap hari tekun dilakukan para guru bukankah dalam setahun 365 persen telah terjadi perubahan padanya. Artinya, kembali pada motivasi pribadi guru dalam menggembalakannya.

Dalam konteks “peristiwa sastra” di SMA Immersion ini, memang ada kekhawatiran orang tua wali yang sms kepada saya, agar tidak meninggalkan bidang-bidang yang lain. Hati kecil saya sebenarnya bicara, “Adakah pengembangan bidang ajar apapun di sekolah yang meninggalkan membaca dan menulis? Jawabannya tentu tidak ada. Dengan demikian pelajaran di sekolah apapun akan semakin cepat manakala memahami dua dunia ini.

Jika kita sepakat dengan apa yang “dibabtiskan” Hardjono WS, maka ke depan, dunia kepenulisan akan heboh. Minimal dimulai hari ini pada para siswa, ujungnya, adalah ranting dan batang mutiara yang akan berbuah emas di masanya. Tunggu apa lagi, jadikanlah Anda manusia dengan menulis. Ingat, kalau tidak menulis bukan manusia kata Hardjono WS. Selamat menempuh jalan kemanusiaan!
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar