Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI ISBEDY SETIAWAN*

Sutejo

Nama penyair Lampung ini tampaknya tidak seakrab nama sastrawan kita macam Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Hamid Jabbar, Sutardji Calzoum Bahri, Wiji Thukul, dan lain sebagainya. Meskipun begitu dalam Isbedy adalah sastrawan yang tidak perlu lagi dipertanyakan komitmen dan eksistensinya dalam dunia kepenyairan (belakangan juga memasuki dunia cerpenis). Ada beberapa hal menarik dari pengakuannya. Meskipun lelaki ini mengaku bahwa menulis cerita pendek mulanya hanya untuk mengisi kejenuhan. Lama-lama keterusan. Bahkan, menjadi profesi dan tumpuan hidup (MataBaca, 2005:9). Kedua, dunia cerpen lebih menjanjikan. Ketiga, dalam menekuni kepenulisan dia berawal dari puisi. Keempat, karena “kebutuhan hidup” dia mencoba banyak menulis berbagai tulisan dari esai sastra, resensi buku, hingga cerpen.

Untuk ini, jika kita mau belajar dari pengalaman Isbedy Stiawan ini maka beragam hal menarik berikut penting direnungkan. Pertama, menulis puisi tidaklah dapat diremehkan. Pengalaman Isebedy ini menunjukkan bahwa dunia puisi merupakan pintu kepenulisannya. Artinya, memang menulis puisi pada awalnya menekankan pada ”kemenarikan kata dan larik”, maka memasuki dunia cerpen misalnya, tentu bukan persoalan yang susah. Para penyair yang juga menulis cerpen ini banyak seperti Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Sutardji Calzaum Bahri, Tjahjono Widianto, dan sebagainya. Pengalaman awal kepenulisan lewat puisi ini mengingatkan apa yang dialami oleh Azyumardi Azra sebelum kemudian terjebak pada kepenulisan ilmiah.

Dengan begitu, menulis puisi misalnya, jika dikondisikan sejak usia SMA akan menjadi pentu tergalinya bakat kepenulisan. Setelah itu, maka hal kedua yang dapat diambil adalah “bahwa bakat hanyalah memberikan ruang potensi”. Setelah itu, keterpaksaan akan terpenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorongnya untuk berbuat lebih banyak. Kebutuhan hidup, karena itu, akan mampu melahirkan etos usaha (berkarya) yang luar biasa. Hasilnya, memang tidak tanggung. Belajar dari kasus cerpen Isbedy misalnya, dia bilang, kalau dimuat di Koran dia dapat honor, dikumpulkan menjadi buku kemudian dia dapat honor juga. Sebuah penerimaan ganda yang hal itu relatif berbeda di bandingkan dengan dunia puisi.

Sekadar pemaknaan, bahwa kepenyairan sebagai pintu kepenulisan barangkali dapat dirasionalkan seperti ini. Bahwa penyair sangat dipengaruhi oleh imajinasi awalnya sebelum alir lewat kata berirama dan bermakna. Imajinasi pada prosesnya akan mengingatkan pesan sufistik Einstein yang mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Sumber segala ilmu kepenulisan tampaknya memang imajinasi. Di situlah kemudian mengalir dalam beragam bentuk tulisan setelah terjadi pematangan pada satu bidang tulisan. Ini wajar karena memang dunia kepenulisan sesungguhnya dunia yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Meminjam bahasa Abdul Hadi WM, hakikat kepenulisan dan substansi kehidupan adalah sesuatu yang komprehensif berkelindan antarsatu dengan yang lainnya. Bukan parsialisasi bidang yang hanya alirkan kejengahan dan kebimbangan.

Ketiga, bahwa kebermulaan dari iseng memang dapat melahirkan keberuntungan. Pengalaman Isebedy dalam mengisi “ruang beku” kepenyairan dengan menulis cerpen justru mengukuhkannya namanya yang kian meroket. Pada tahun 2005 saja misalnya, dia menerbitkan empat kumpulan cerpen yang menarik. Salah satunya adalah Kau Jadi Ikan. Isbedy Setiawan ini melengkapi tradisi penulis murni sebagaimana halnya Hamsad Rangkuti. Di sinilah, maka (berangkat dari pengalaman Isbedy) pintu-pintu genre tulisan lainnya ternyata hampir otomatis dapat ditulisnya. Pertanyaannya adalah apakah semua penulis (utamanya pemula) dapat melakukan seperti halnya Isbedy ini. Tentu jawabnya tidak. Semuanya tergantung pada proses pelakuan hidup penulis sendiri. Pesan tersirat dari perjalanan Isbedy ini adalah kelurusan dan etos yang tak henti berkarya. Kejenuhan berkarya dapat dialirkan pada hal lain yang juga bermakna.

Jika kita meminjam rumus sukses menulis A.A. Navis, maka terjumpailah bahwa bakat alam itu hanya berandil 20 persen saja sedangkan lainnya berupa etos, keuletan, dan kreativitas. Sebuah alarm yang senantiasanya mengingatkan bahwa menulis bukanlah turunan, tetapi sebuah upaya, sebuah ghirah, sebuah semangat yang berkobar-kobar. Menyala seperti gunung api yang siap mengalirkan panas dalam laku liku sungai kepenulisan di bawahnya.

Meski belum seberuntung Hamsad yang mendapatkan bonus Khatulistiwa Award, tetapi etos dan karyanya adalah jawaban atas bagaimana sebaiknya menjadi manusia. Sebagaimana disindirkan Hardjono WS bahwa ciri manusia adalah menulis kalau tidak menulis bukan manusia mendapatkan justifikasi alami karena kalau tidak menulis kebutuhan hidupnya jadi terganggu.

Jika kita pelajar, mahasiswa, atau guru misalnya, yang mau berkaca pada cermin personal Isbedy ini, maka rasa malu akan hinggap sepenuh waktu. Ketidakpastian hidupnya berubah motivasi karya yang luar biasa. Andaikan guru-guru kita, mahasiswa, dan siswa kita melakukannya, sebuah harapan luar biasa dapat dipuja. Mudah-mudahan pengalaman Isebedy demikian akan menjadi inspirasi kita manakala memutuskan jatuh cinta dengan dunia kepenulisan. Tunggu apalagi?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar