Kamis, 06 November 2008

BERGURU MENULIS PADA ZAKIAH DERAJAT

Sutejo

AL-Jahizh pernah berkata, “Barangsiapa yang ketika membeli buku tidak merasa lebih nikmat daripada saat membelanjakan hartanya untuk membeli hal-hal yang diinginkan; atau tidak melebihi ambisi para hartawan untuk membangun bangunan, maka sesungguhnya ia belum mencintai ilmu. Pembelajaannya tak akan bermanfaat hingga ia lebih mengutamakan membeli buku, seperti seorang Arab Badui yang lebih mengutamakan susu untuk kudanya daripada keluarganya. Hingga ia sangat berharap untuk memperoleh ilmu seperti halnya orang Arab tadi sangat mengharapkan kudanya.”

Maka dalam pernik lain kehidupan berbuku dan “berbaca ria”, Prof. Dr. Zakiyah Derajat punya pendapat berbeda. Dia sering terdorong syahwatnya (penasaran) terhadap buku yang disembuyikan. “Pasti punya makna khusus,” katanya (Kompas, 23/10/2004, hal. 44). Kalau buku itu dibiarkan tergeletak, katanya, itu hal biasa. Kedua, pengalaman dia dalam membaca bersentuh dengan cerita remaja, ketika ia masih remaja, berkat buku yang disembunyikan tantenya. “Ada sesuatu yang mengendap dalam dirinya.” Ketiga, dalam pengalaman studinya di Cairo, Profesor ini lebih banyak bergumul dengan psikologi remaja (dan “hanya bidang ini yang beliau tekuni”) sampai kemudian dia membuka konsultasi psikologi remaja yang hingga kini sudah 30 judul buku yang lahir dari tangannya.

Apa yang menarik dapat dipetik dari pengalaman Zakiyah? Sebagaimana layaknya informasi lain, sesuatu yang disembunyikan justru makin memancing penasaran orang. Inilah, hikmah pertama-tama yang dapat dipetik. Hanya, masalahnya bagaimanakah menumbuhkan rasa penasaran ini pada kita? Remaja kita, misalnya. Analog dengan penasaran remaja ketika memasuki masa berpacaran, tentu, dapatlah dimaknai munculnya “kehausan” ingin tahu. Kalau terhadap cinta begitu haus, masalahnya kita seringkali tidak haus terhadap buku. Bukankah buku adalah makanan ruhani yang akan menyehatkan? Seperti halnya kita makan untuk kesehatan fisik.

Karena itu, pertama-tama yang menarik kita ambil adalah pentingnya kita menumbuhkan kehausan membaca. Saya sendiri, setiap hari –khususnya di waktu pagi sebelum berangkat kerja dan di jelang tidur telah terjangkiti penyakit haus ini selama berpuluh tahun--. Hasilnya, memang dalam teori hipnosis yang saya pelajari kemudian hal itu menguntungkan karena masuk wilayah gelombang alfa dan teta. Sebuah gelombang bawah sadar yang akan mewarnai 88% pengalaman hidup seseorang. Untuk ini, maka yang terpenting adalah bagaimana kita perlu menumbuhkan kehausan membaca dalam kehidupan kita sehingga berujung pada kehausan untuk berbagi. Berbagi dalam tradisi ilmu pengetahuan, satu diantaranya dengan menuliskannya. Dan inilah, ternyata, yang dilakukan ulama-ulama besar Islam dalam tradisi sejarah peradaban keilmuan –yang kini banyak ditinggalkan para ulama mutakhir--. Sebuah kerugian besar tentunya.

Pengalaman lain adalah bagaimana mengaitkannya dengan praktik kehidupan dan profesi. Pengalaman Zakiah ini, mengingatkan kita akan pentingnya menyatukan antara profesi dengan pembacaan. Konsultasi, bidang yang ditekuni, tentunya akan semakin bermakna ketika dihadapkan para persoalan praksis kehidupan psikologis problematis remaja kita. Dan inilah yang beliau lakukan. Hingga berujung lahirnya 30 judul buku --yang semuanya berkaitan dengan psikologi—ini mengingatkan amanah penting akan pentingnya refleksi tulis dalam penekunan profesi kita.

Andaikan guru-guru kita, agamawan kita, pejabat kita, usahawan kita, dll; melakukan hal yang sama tentu sebuah mimpi besar akan munculnya tradisi membaca dan menulis dalam kebudayaan Indonesia akan dekat dengan kenyataan. Mimpi, yang sampai sekarang seperti langit kehidupan yang baru diimpikan, dipandang, tetapi tidak tersentuh oleh tangan kehidupan kita. Permasalahannya, maukah kita berubah untuk berbenah dengan menjadikan pengalaman empirik Zakiah ini sebagai kritik kehidupan profesi kita?

Sebuah mimpi perubahan peradaban ke depan. Sebab, sebagaimana pesan Imam Abu Muhammad bin Hazim yang telah mengingatkan bahwa cara menegakkan pilar-pilar keilmuan diantaranya adalah memperbanyak koleksi buku. Setiap buku pasti memiliki manfaat, ia akan mendapatkan tambahan ilmu dari buku tersebut kapan pun diperlukan.

Mari kita bangun penasaran dan haus keilmuan dengan memperbanyak buku. Abu Muhammad melantunkan syair sebagai berikut. //Seorang mencela, engkau belanjakan untuk buku/ Semua harta yang kaumiliki/ Aku katakan biarkan aku/ Semoga dalam buku-buku itu aku dapatkan sebuah/ Buku uyang menunjukkiku/ Untuk mendapatkan buku dengan tanganku secara/ aman (tanpa celaan)//.
Buku, karena itu, seperti (akan akan senantiasa menjadi) kompas kehidupan.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar