Kamis, 23 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI ENI KUSUMA

Sutejo

Dalam pengantar bukunya, Anda Luar Biasa! (2007), Eni Kusuma mengungkapkan begini, ”... Jika saya tidak suka belajar, tidak peduli akan talenta diri, tidak menyukai harapan, cita-cita dan semangat, mungkin Anda tidak menemukan saya dalam buku ini.” (hal. Xviii). Ungkapan ini, mengingatkan betapa pentingnya etos, cita, dan kesadaran akan talenda dalam kepenulisan.

Jika Eni adalah seorang TKW –yang hanya alumni SMA—mampu berhasil, menulis sebuah buku motivasi pertama yang ditulis oleh TKW, dan dikomentari oleh para ahli motivasi kelas wahid di tanah air; tentunya hal ini merupakan pemantik yang menarik untuk dikaji. Dalam merentas dunia kepenulisan, selanjutnya dia mengungkapkannya begini: ”Katakanlah, jika situs Pembelajar.com adalah kurikulum saya, maka milis adalah tempat praktik saya, dan artikel-artikel saya yang dimuat di situs itu adalah hasil ulangan saya. Boleh dibilang naskah buku ini adalah skripsi saya setelah kuliah di Pembelajar.com selama lebih kurang enam bulan..”.

Apa yang menggetarkan? Sebuah pengakuan yang layak disimak, --dan lebih dari itu—kita penting belajar darinya adalah (a) bergaul dengan alat global, (b) belajar tidak harus formal, dan (c) kesuksesan dalam kepenulisan yang tidak ditandai oleh kepakaran. Sebuah lonjakan kreasi yang –rasanya— sulit dipercaya seorang TKW aktif dalam sebuah situs (selanjutnya memiliki milis) sebagai tempat ”berguru” kesuksesan. Di sinilah, maka jika Anda ingin memasuki dunia kepenulisan di era global, --demi kelancaran—alat global ini penting untuk digauli.

Kedua, sebagaimana filosofi universalisasi belajar yang tidak terbatas oleh tembok dan ideologi; maka pembelajaran tidak formal Eni Kusuma adalah inspirasi kita untuk melangkah di jalur sukses kepenulisan. Jika kita menilik kesuksesan tokoh dunia –yang seringkali dinilai aneh dalam pendidikan formal—maka, pengalaman Eni adalah jalan lain menuju bukit mimpi. Bukit mimpi dengan pereng hijau gunung yang penuh lekuk rumit kehidupan. Di masa SMA, misalnya, dia tidak menunjukkan kelebihan, tetapi dia memiliki kesadaran (dan keceriaan) yang berbeda dibandingkan dengan temannya.

Ketiga, belajar menulis –pada akhirnya— tidaklah harus bersentuh fisik. Pengalaman Eni tentunya sebuah contoh konkret. Pergaulan di media internet telah mendewasakannya dalam menembus kabut hidup, menguak tirai kepenulisan dengan talenta, etos, dan harapan yang kental. Jika kita merajut kain kepenulisan menjadi tirai masa depan hal-hal itulah tentunya yang dibutuhkan. Belajar dari Eni adalah belajar tentang sebuah etos dan harapan. Berbuat adalah tangga menuju sukses, dan tentunya, akan menginspirasi setiap orang.

Di sinilah, maka jika kita mau berguru pada tokoh TKW ini, (bukan hal tabu), besar kemungkinan ke depan kita akan memetik sukses (di bidang masing-masing) dengan semangat dan damai hidup yang tak pernah redup. Sekaligus, kritik pedas pada dunia intelektualitas kita (sekolah dan perguruan tinggi) yang kering akan pembelajaran motivasi ini. Bahkan, tidak jarang sekolah menjadi tempat yang mengungkung motivasi dan kreasi sehingga berujung pada kekerdilan pribadi yang tak mampu berbuat berarti bagi kehidupan mereka.

Leonardo da Vinci, Issac Newton, Thomas A. Edison, Einstein, dan Bill Gates adalah contoh anak-anak muda yang ”muak dengan sekolah”, karena itu, drop out atau dikeluarkan (Eko Laksono, 2007:235). Sebuah realita yang mengejutkan, sekaligus menyakitkan. Di sinilah, tentu, pentingnya upaya mendorong sekolah untuk mampu menciptakan kultur yang ”tidak mengungkung” tetapi justru mampu menyediakan budaya ”krasan” sehingga lahirlah peran. Sebuah mimpi di tengah kolonialisasi pendidikan yang dipagur oleh kapitalisasi dan instanisasi.

Dunia menulis, dengan sendirinya menolak realita yang demikian. Artinya, jiwa-jiwa merdeka seperti kasus Eni Kusuma bukan lahir karena sekolah formal, tetapi karena ”sekolah universal” yang melahirkan kenyal hati untuk menganyan nyali. Bagaimanakah dengan Anda? Merajut nyali dengan berbagai komponen hati adalah PR kita jika ingin melenggang di masa depan. Bukan berpangku dan senantiasa menunggu ulur tangan untuk menjemput masa depan.

Sebuah ruh besar sebagai bekal memasuki dunia kepenulisan yang menarik untuk ditanamkan. Artinya, memang, kepenulisan membutuhkan seperangkat pengalaman Eni. Dan karenanya, lintas institusi, lintas profesi, dan lintas bidang. Sebuah contoh yang akan mengalirkan ghiroh bagi kita. Mudah-mudahan.

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Rabu, 22 Oktober 2008

Belajar Menulis dari Rhenald Kasali

Sutejo

Steven Covey, pengarang buku Eight Habits, pernah mengatakan, orang harus punya sesuatu yang bisa diwariskan setelah mati selain nama. "Covey bilang apa sih yang ingin orang ucapkan tentang kamu di depan makam kamu. Cuma nama saja, atau kamu ingin diumpat sebagai penjahat, atau diingat karya-karyanya atau pemikirannya?" ungkap Rhenald. Terdorong hal itu, menulis buku adalah jawabannya. Bagi Rhenald Kasali, bisa menulis buku itu satu anugerah, suatu kebanggaan yang tidak terhingga lantaran penulisnya meninggalkan warisan pemikiran kepada orang lain.

Semua itu terwujud saat anaknya memperlihatkan kebanggaan ketika tahu di perpustakaan sekolah ada buku yang ditulis ayahnya. "Yang paling membahagiakan, saya kira ke¬banggaan anak-anak saya itu. Selain itu, sewaktu sekolah di Amerika, saya tak bisa menyembunyikan kebanggaan saya ketika secara iseng-iseng buka katalog di perpustakaan, ternyata keluar nama saya. Teman-teman yang ada di situ pada bingung semuanya. Saya juga enggak nyangka bahwa perpustakaan tempat saya mengambil gelar doktor itu ternyata mengoleksi buku saya," papar Rhenald.

Sejak tahun 1994, ia sudah menulis 10 judul buku. Tema yang ditulis di bidang marketing dan manajemen sesuai dengan keahliannya. Buku-buku karangannya rata-rata masuk dalam buku-buku best seller, seperti Manajemen Periklanan, Manajemen Public Relation, dan Membidik Pasar Indonesia. Buku-buku tersebut terjual di atas 20.000 eksemplar. Kini buku yang dia tulis, jauh lebih banyak, dan rata-rata memiliki apresiasi yang positif di masyarakat.

Nah, sekarang –lagi-lagi— apa yang dapat diambil dari pengalaman menulis Rhenald Kasali? Wuih, kali ini pengalaman itu tampaknya lebih filosofis. Pertama, pentingnya meninggalkan nama setelah mati. Setiap orang pasti mati, karena itu, jika ingin dikenang menulis adalah jawabannya. Kata peribahasa, gajah mati tinggalkan gading manusia mati tinggalkan nama. Peribahasa ini menjadi luar biasa, manakala kita dapat menerjemahkannya dalam praksis hidup dengan gairah menulis dalam denyut nadi.

Kedua, menulis itu membanggakan. Awas, sesungguhnya menulis bukan untuk bangga-banggaan, tetapi siapa sih yang tidak bangga jika tulisan kita dibaca orang lain? Apalagi jika itu berbentuk buku yang abadi dalam sepanjang waktu? Anak cucu dapat menikmati nama ayah-atau ibunya yang diabadikan di perpustakaan.

Karena itu, barangkali, menulis buku karenanya, lebih berharga daripada harta benda yang kita wariskan kepada generasi nantinya. Sebab, dalam menulis ada ilmu yang kita wariskan. Jika agama mengatakan zakatnya ilmu dengan mengamalkanlah, maka dengan menuliskan pikiran dan ilmu pengetahuan berarti kita telah “terbebas” dari dosa, kikir terhadap ilmu yang telah kita terima.

Ketiga, menulis jadi jembatan beramal. Sebagaimana disinggung pada poin kedua, maka hakikat berbagi ilmu dengan sendirinya adalah beramal. Amal ilmu adalah dengan menularkannya. Untuk itu, secara filosofis, hal ketiga ini pentingnya kita agar tidak kikir dalam berilmu. Ilmu diamalkan akan bertambah!

Nah, tunggu apalagi? Mulai beramal dengan ilmu, marilah Anda sadari sedini hari. Bukankah umur tak kekal jika dibandingkan ilmu yang diamalkan? Untuk itu, marilah kita tuangkan ilmu yang kita miliki dengan menuliskannya sehingga pesan hadis yang mengatakan, “matinya ngalim adalah matinya alam semesta” dapat dihindarkan.

Bagaimana dengan Anda? Jangan beralasan tidak berilmu, dimensi ilmu dalam lembar hidup ini terentang dalam segenap gerak dan langkah hidup kita. Tunggu apa lagi? Berbagi ilmu adalah ibadah, kikir terhadap ilmu na’udubilah.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BERGURU MENULIS DARI CLARISSA PINCKOLA ESTES

Sutejo

Jika Anda ingin mencipta karya (tulisan), maka bahan dasarnya adalah kehidupan Anda sendiri, pengalaman, masa kecil, dan pengetahuan Anda. “Jika Anda ingin mencipta, Anda harus mengorbankan kedangkalan, sedikit rasa aman, dan rasa ingin disukai. Anda harus menata wawasan Anda yang paling kuat, visi Anda yang paling jauh”, begitulah pesan Clarissa Pinkola Estes.

Lucu? Nggak, bahkan apa yang diungkapkan Estes ini merupakan sesuatu yang sangat alamiah. Bahan dasar kepenulisan memang pengalaman hidup kita sendiri. Banyak contoh penulis dapat dijadikan sample ungkapannya. Pengalaman Andri Wongso sebagai trainer motivasi mendorongnya untuk menjadi penulis buku yang sangat produktif. Ariesandi Setyono, dari pengalaman hypnosis melahirkan beberapa buku berkaitan dengan hal ini. Parentinghipnosis (2006) adalah contohnya.

Untuk ini, renungkanlah kehidupan ini dengan penuh makna. Kehidupan Anda sendiri, seperti pengalaman Remy Silado menjalani kehidupan penuh permenungan, pengamatan, dan pencatatan yang bermakna baginya. Hasilnya, luar biasa. Maka penulis Pinkola Estes, berpesan tentang pentingnya pengalaman pribadi demikian, nyaris, semua penulis bermuara dari pintu kehidupan yang satu ini. Persoalannya adalah sering diantara kita tidak menganggap bahwa apa yang kita ketahui, kita alami, dan kita perjuangkan sebagai inventarisasi kehidupan di masa depan yang amat mahal.

Para perentas jalan sukses kepenulisan telah menjadikan ini sebagai jembatan tol yang mampu menghadirkan kecepatan rentasan tanpa rintangan. Mengapa kita tidak lakukan? Ingat kembali pesan, Pinkola Estes: “Kehidupan Anda sendiri, pengalaman, masa kecil, dan pengetahuan Anda. “Jika Anda ingin mencipta, Anda harus mengorbankan kedangkalan, sedikit rasa aman, dan rasa ingin disukai. Anda harus menata wawasan Anda yang paling kuat, visi Anda yang paling jauh”

Dengan pengalaman demikian, maka rasa aman dalam rumah kejiwaan tentunya merupakan yang penting untuk disingkirkan sebab jiwa kepenulisan tak pernah puas, tak pernah damai, dan tak pernah bersahabat dengan keganjilan-keganjilan, dengan kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam kehidupan kita. Dengan bekal ini, semacam visi berubah digubah penulis, misi hati penulis dilukis, meski hanya lewat kearifan kata, penulis akan bersenjatakan pikiran untuk mencipta perubahan.

Sejarah peradaban yang mengusung perubahan selalu berawal dari dunia literacy yang kuat. Jepang, Cina, dan Korea adalah Negara Asia yang demikian mendudukkan dunia menulis ini sebagai pilar peradaban dan keilmuan di negerinya. Pengalaman berbangsa dapat diracik sebagai obat di kemudian waktu, visi dan misi pertiwi dapat diuji dalam kritik kaji tulis yang bermuara pada hati.

Bahan dasar yang dipesankan Pinkola Estes, ternyata kemudian, bukan sekadar pesan kepenulisan tetapi merupakan hakikat ruh perubahan dari apa yang penting dilakukan sebagai bangsa yang berubah. Bayangkanlah sekarang, jika di tingkat kabupaten masing-masing ada 10 penulis yang tiap 6 bulan menghasilkan pemikiran tentang perubahan hidup, maka jika sekitar 330 kabupaten di seluruh Indonesia, selama enam bulan akan lahir 3.300 buku inspiratif untuk membantu memajukan negara. Luar biasa?

Karena menulis adalah wilayah kejujuran, maka rasa aman dan ingin disukai tentunya justru akan berlawanan dengan apa yang akan kita terima. Siapkah Anda? Mengapa tidak? Menulis bukan kejahatan, tetapi sumur kejujuran yang akan mengirimkan air kehidupan yang tanpa dasar. Menulis adalah alam kritis yang mengalirkan bening pikir, dengan kata lain, tulisan adalah hasil refleksi dari sumur hati yang akan menghidupkan.

Nah, sekarang bagaimana dengan Anda? Modal dasar kepenulisan adalah pengalaman hidup Anda, masa kecil Anda, dst. Maka, dapat ditasbihkan, menulis adalah kehidupan itu sendiri. Jika dunia kepenulisan suatu bangsa baik, dapat diprediksikan baik pula kehidupan bangsanya. Jika Anda ingin mewujudkan nasionalisme berbangsa, dalam konteks mutakhir, tak perlu Anda mengangkat bedil dan kelewang; cukuplah asah pikir dan hati untuk perang melalui tulisan. Bukankah tulisan adalah pedang yang abadi?

Pesan Pinkola Estes itu, jika kita mau mengeksplorasi lagi masih banyak penulis besar yang berpikiran sama. Marcel Proust misalnya bilang begini, “Semua bahan untuk karya sastra tidak lain adalah kehidupan masa lalu saya.” Amerika adalah contoh bangsa yang menghargai karya sastra (tulisan), karena itu, tidak mengherankan kalau karya-karya mereka inspiratif untuk bidang-bidang lainnya, seperti perfilman dan keilmuan.

Melangkahlah, pesan saya, untuk mengabadikan pengalaman hidup buat kebermaknaan orang lain dan bangsa yang Anda cintai. Sebuah nasionalisme yang tanpa provokasi, tanpa manipulasi. Karena batas waktu terlompati untuk merengkuh titik puncak dari tamasya pemikiran yang akan mencerahkan generasi di masa datang.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BERGURU PADA FRANZ

Sutejo

Pada sebuah harian nasional, Franz Magnis Suseno pernah mengungkapkan begini, “Bodoh kalau Menulis Buku.” Ungkapan demikian barangkali sebuah ungkapan yang menarik untuk direnungkan. Di satu sisi, hal ini mencerminkan bagaimana tidak berharganya dunia perbukuan di Indonesia, dan di sisi lain, bagaimana sesungguhnya menulis buku membutuhkan riset dan waktu yang sangat panjang.

Selanjutnya, Frans Magnis Suseno, memberikan ilustrasi begini: penghasilan yang diterima dalam me¬nulis buku sama sekali tidak sebanding dengan kerja kerasnya untuk menghasilkan buku ter¬sebut. Apalagi, jika dibandingkan dengan honor yang dia terima sebagai pembicara dalam sebuah seminar ataupun menulis artikel di media cetak yang tidak memerlukan riset ataupun persiapan.

Berikut contoh yang dikemukakannya, sebuah buku filsafat dijual seharga Rp 40.000,00 dan royalti sebesar sepuluh persen, dia mendapat Rp 4.000,00 setiap eksemplar. Jika laku dua ribu maka dia mendapat Rp 8 juta. Namun, buku filsafat bukanlah fiksi yang laris dibaca orang, maka honor sebesar itu kadang harus diterima dalam waktu satu tahun. Bandingkan dengan honor sebesar Rp 1 juta untuk satu kali mengisi seminar ataupun honor menulis artikel. Padahal, menulis sebuah buku membutuhkan riset serius dalam waktu lama, seperti buku Etika Jawa dan Pemikiran Karl Marx yang memakan waktu masing-masing lebih dari dua tahun. Meski demikian, rohaniwan ini tetap rajin menulis buku. "Mungkin sudah menjadi watak saya," tuturnya. Sejak tahun 1975, Franz Magnis sudah menghasilkan 26 bu¬ku filsafat.

Realita demikian memang memprihatinkan. Akan tetapi, apa yang dapat diambil dari pengalaman kepenulisan Franz? Luar biasa! Pertama, pentingnya semua pihak peduli buku. Artinya, kita sebagai pembeli belajar membeli buku, bukan foto kopi. Demikian juga, pemerintah menarik untuk mengawal bagaimana hak cipta intelektual (penulisan buku) sehingga tidak dibajak oleh berbagai pihak. Bagaimana membangun masyarakat peduli buku? Tentu, yang pertama-tama adalah bagaimana membumikan kebiasaan membaca dalam keluarga dan sekolah dengan buku-buku.

Kedua, sindiran Franz Magnis Suseno sesungguhnya bermakna positif. “Bodoh kalau menulis buku” itu jika dibaca dalam iklim masyarakat kita yang tidak memiliki sence of book. Sebaliknya, jika masyarakat sudah terbentuk, maka, kebodohan ini akan terbaca positif: “Bodoh kalau kita tidak menulis buku!”

Karena itu, marilah kita mulai menulis buku. Sebagaimana resep banyak orang, Hernowo misalnya, setiap hari memfasilitasi dengan menuangkan pemikiran dalam minimal selembar kertas. Selembar kertas dalam sebulan, tentu, sudah tiga puluh halaman. Berarti dalam hitungan empat bulan sudah lahirlah sebuah buku menarik dari tangan kita.

Ketiga, nilai yang dapat diambil dari Franz adalah komitmen dan kerelaan berkorban dalam kepenulisan. Ini tentu, banyak dilakukan penulis lain macam Azyumardi Azra, Andreas Harefa, dan Adi W. Gunawan.

Bagaimana dengan Anda? Tanamkan komitmen, bulatkan dalam hati bahwa bodhlah jika kita tidak menulis, dan perlunya mengawali peduli buku dalam membangun kepenulisan. Selamat melangkah, biarkan langit esok mewariskan biru keteduhan dalam menggantungkan cita kepenulisan Anda!***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BERGURU MENULIS PADA IBNU DURAID

Sutejo

Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah), sedang Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).”

Lalu Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair:

Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita
Juga gelas yang dituankan dan ditenggak
Maka hiburan dan rekreasi kami adalah
Berdiskusi dan menelaah kitab. (Spiritual Writing, 2007:162)

Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa. Bayangkanlah, andaikan masyarakat kita menjadikan kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitas dari masyarakat kita. Andaikan gru-guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Sebagaimana di awal tulisan ini, maka wisata tempat pemandangan seindah apapun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung.

Andaikan setiap bulan, misalnya, kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 10 tahun; maka minimal 660 tempat wisata telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 660.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan. Di tingkat kabupaten.

Fatalnya, masyarakat dan kita masih memandang hal ini dengan sebelah mata. Bahkan, para guru pun belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Guru dan masyarakat kita masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan, Ibnu Duraid ini, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.

Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting kita budayakan wisata hati ini. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan.

Jika masyarakat pembelajar terbentuk seperti impan Andreas Harefa dalam bukunya, Menjadi Manusia Pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2005); maka semangat dan motivasi berubah masyarakat kita akan luar biasa. Tradisi lisan masyarakat pelan-pelan akan tergantikan dengan impian yang demikian. Kapan kita akan berubah ke wisata hati jenis ini? Tentunya, dapat kita mulai hari ini, minggu ini, atau bulan ini. Jangan ditunda pada bulan depan, sehingga perubahan pada keluarga dan masyarakat kita akan cepat tercipta. Khususnya, tentu, di sekolah-sekolah kita. Bukankah sekolah analog tempat suci dalam mereguk ajar generasi pintar? Sekolah, harapannya, akan menjadi rekreasi hati buat siswa siswinya. Dan, di sekolah kami, hal ini akan menjadi refleksi setiap kali. Mudah-mudahan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI ADI W GUNAWAN

Sutejo

Adi W Gunawan adalah guru saya. Saya pernah secara ilmiah dapat pelatihan hipnosis dalam upaya pengembangan motivasi untuk sukses. Nah, sekarang apa yang menarik dari pengalaman tokoh ini dalam menulis? Jika kita mencermati dari pengalaman kepenulisan Adi tentunya membuat kita “iri” dan kepingin menirunya. Adi W Gunawan baru menulis buku pada tahun 2003, dan kini sudah belasan buku yang lahir dari tangannya. Rata-rata bestseller. Sementara, saya sendiri sudah menulis itu sejak mahasiswa, kira-kira pada tahun 1988. Tapi mengapa dia lebih berhasil? Inilah yang dapat kita petik dari membaca pengalaman proses kreatifnya sebagaimana dimuat di Matabaca (edisi Desember 2006:38-39).

“Menulis menurut saya pribadi,” akunya, “adalah proses belajar yang tanpa henti, mengembangkan diri ke arah yang lebih baik, aktualisasi diri, dan merupakan sarana efektif untuk menembus berbagai kemungkinan.” Apa yang dapat ditiru? Barangkali beberapa hal berikut (a) menulis itu proses, (b) menulis dapat dipakai untuk pengembangan diri, (c) menulis untuk aktualisasi, dan (d) menulis itu sarana untuk menembus berbagai kemungkinan. Luar biasa!

Keempat hal ini, tentunya, merupakan filosofi kepenulisan yang dapat disisir ke tepi-tepi pantai kepenulisan. Sebuah proses, misalnya, karena menulis adalah sebuah perjalanan panjang dari sebuah pribadi yang tidak dapat ditempuh seperti naik pesawat. Apalagi seperti mi instan, siap saji. Sama sekali bukan. Sebaliknya, menulis adalah proses panjang. Katakanlah, dari proses kesukaan berburu informasi seperti Pak Adi, sehingga pada saat kondisi flow, tinggal memfasilitasi persalinannya. “Ada masa di mana pikiran kreatif begitu aktif bekerja dan menghasilkan buah pikir yang mengalir deras seperti air. Kondisi ini adalah kondisi yang dicari oleh setiap penulis. Kondisi ini disebut dengan flow.” (Matabaca, desember 2006:39)
Sebagian penulis lain bilang, kondisi demikian ini dengan mood. In. Jika terbiasa, bahkan kondisi demikian bisa “diciptakan”. Untuk inilah, maka jika sudah memiliki keinginan besar untuk mengungkapkan pikiran, misalnya, cobalah memfasilitasinya dengan tanpa memikirkan salah atau tidak. Sebab, sebagaimana diungkapkan Adi Gunawan, ternyata menulis adalah untuk mengekspresikan diri.

Jika Adi Gunawan, dalam pengakuannya, hal tersulit yang menyebabkan dia mengalami kesulitan adalah karena dia tidak memiliki pengajar atau guru. Sehingga ia harus menempuhnya, perjalanan kepenulisan itu secara autodidak. Kelebihannya, karena itu, dia tidak terikat pada salah satu style, mengalir untuk mengekspresikan pengalaman yang telah dia tekuni dalam pelatihan-pelatihan. Apa yang menarik? Dari pengalaman empiriklah, materi kepenulisan itu akan sangat mudah mengalir seperti alir sungai yang deras. Bagaimana dengan Anda?

Jika sering saya kemukakan, bahwa menulis itu tidak pandang profesi, artinya apapun dan siapapun kita dapat menulis; maka dalam konteks ini ada baiknya kita coba merenungkan pengalaman perjalanan hidup masing-masing untuk dicoba dituangkan dalam materi kepenulisan. Hasilnya, bisa jadi, luar biasa seperti apa yang dilakukan oleh Adi Gunawan.

Motivasi lain yang dapat dipetik dari pengalaman kepenulisan Adi Gunawan adalah bahwa menulis itu dapat dipakai untuk pengembangan potensi diri. Pengalaman ini, dalam jejak pemikiran tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Soejatmoko, menjadi fakta penguatnya. Bukankah ketiga tokoh ini dikenal kuat pemikiran yang ditransformasikan ke dalam praksis kepemimpinan dan ketokohannya? Di sinilah, maka jika kita ingin mengembangkan potensi profesi dan kemampuan diri, tidak ada cara lain yang paling efektif kecuali menulis. Ulama-ulama besar dalam perjalanan sejarah budaya Islam adalah teladan hidup yang dapat terus digali. Ibnu Duraid, Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya adalah contoh ulama yang menjulang karena kebiasaan baca tulisnya.

Hal lain yang dapat dipetik dari Adi Gunawan, adalah bahwa menulis menjadi sarana aktualisasi diri. Aktualisasi diri yang membantu citra diri, paling tidak, merupakan ukuran intelektualitas seseorang. Kejernihan diri (termasuk dalam berpikir) dapat ditelisik dari tulisan seseorang. Tidak heran, kalau secara sederhana aktualisasi diri (termasuk dalam berbagai peran dan profesi orang) dapat disisir dari cara mereka mengakualisasi dirinya dalam tulisan. Bukankah sesungguhnya, menulis adalah puncak keterampilan hidup seseorang. Banyak orang begitu berat menyelesaikan kesarjanaannya karena tidak mampu mengembangkan kemampuan menulisnya?

Terakhir, menulis dapat memfasilitasi seseorang menembus berbagai kemungkinan hidup. Pengalaman saya, dalam menjalin networking di tanah air, 80% ditentukan oleh pengalaman saya di bidang kepenulisan. Sebab, dalam dunia kepenulisan relasi itu terbangun lintas waktu, lintas tempat, lintas ruang, dan lintas status. Sebuah dunia kejujuran, --yang barangkali—memang tidak ada duanya. Kalau profesi lain penuh intrik dan manipulasi ”politik” maka dunia kepenulisan relatif terhindar darinya. Termasuk, nasib mujur saya dalam memasuki program doktor, bukan karena lamaran saya, tetapi karena pengalaman itu yang memancing orang membantu saya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Masih ragu? Barangkali, penting bermenung setiap pagi kemudian kita penting bertanya dalam hati (a) mengapa orang lain mampu menulis saya tidak? (b) mengapa mereka begitu mudah merentas jalan hidupnya dibanding saya? dan (c) mengapa orang yang dulu saya lihat ”bodoh”, tidak berpotensi, sekarang mampu melejit jauh meninggalkan saya?

Di sinilah, barangkali kita penting merenungkan ungkapan Henry Miller yang mengatkatan begini, ”we are all creative”. Setiap manusia memiliki daya cipta. Tunggu apa lagi? Bagaimana mewujudkannya? Ada pesan penting dari Gerald Brenan, ”Awali setiap pagimu dengan menulis, itu akan membuatmu jadi seorang penulis!” (Roland Fishman, Creative Writing, 2005:7). Apa yang ditulis? Apa saja. Tentang siapa saja. Untuk apa? Untuk apa saja.

Saya sendiri, sekali lagi, tidak pernah bermimpi jadi penulis. Tetapi, perjalanan dan pergulatan adalah isteri setia yang melahirkan orok-orok yang luar biasa. Mau bukti? Melangkahlah dengan mengawali menulis setiap pagi, setiap bangun tidur, setiap sulit tidur, setiap Anda punya masalah. Tapi ingat, latihlah dengan balutan jernih pikir, sedikit imajinasi, dan kelembutan hati.

Di ujung pelayaran dengan perahu kepenulisan, Anda akan melewati beragam gelombang –kadang-kadang badai--, yang tentunya membutuhkan kearifan nahkoda dalam mengemudikannya. Jangan takut dengan para bajak laut kepenulisan, jangan kuatir Tuhan tidak mengerlingkan pandang pada niat suci Anda. Kayuh perahu kepenulisan itu, dan di ujung pandang (di pantai harapan), Anda akan menemukan ”rumah kedamaian” hidup –yang tidak semua orang mampu memasukinya--. Ingin bukti, berpuluh buku barangkali tak mampu untuk menunjukkan berapa ratus, berapa ribu, dan berapa juta penulis di dunia ini yang telah menikmati. Sebab, sebagaimana di tengah tulisan ini, telah kita pahami bahwa kepenulisan itu adalah lintas waktu. Apa yang akan kita tinggalkan dalam hidup kecuali gading? Dan gading itu hanya bisa bersanding dengan tulisan, bukan harta, bukan rumah mewah, apalagi mobil pribadi yang hanya menjadi manipulasi gengsi.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR DARI ANDREAS HAREFA

Sutejo

Dengan setengah kelakar, Andreas Harefa menuliskan di belakang namanya dengan tulisan "WTS". WTS yang satu ini bukanlah akronim dari wanita tuna susila tetapi merupakan kependekan dari writer, trainer, dan speaker. Andrias Harefa, selama ini dikenal sebagai penulis buku yang tak hanya produktif tetapi juga pencetak buku la¬ris. Sebelum dikenal sebagai penulis, Andreas Harefa memang lebih banyak bergelut sebagai trainer (instruktur) dan speaker (pembicara) di bidang pelatihan bisnis. Meskipun dia sudah senang menulis sejak di bangku kuliah, dia baru menulis buku mulai tahun 1998 atau saat krisis ekonomi mulai memorak-porandakan Indonesia. Sekarang, buku-buku yang lahir dari jemari lentiknya sudah lebih dari 25 judul. Tema buku-bukunya berkisar soal learnership (pembelajaran), lea¬dership (kepemimpinan), dan entrepreneurship (kewirausahaan).

Motivasi tampaknya lebih utama menggerakkan Andreas Harefa. "Aku ingin menguatkan hati orang," begitulah alasan ia dalam menulis buku. "Aku ingin menjangkau sebanyak mungkin orang karena sebagian besar mereka, karena alasan biaya atau waktu, tidak bisa ikut di pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar di mana aku jadi pembicara."
Permasalahannya adalah bagaimana Andreas Harefa dapat demikian produktif. Ada satu resep yang dilakukan Andreas Harefa sehingga ia bisa sangat produktif dalam menulis buku. "Aku punya target minimal, satu hari harus menulis antara satu sampai dua halaman. Jadi, kadang-kadang dalam seminggu aku bisa menulis dua artikel dengan panjang enam halaman. Itu cara mendisiplinkan diri," kata Ha¬refa. Namun, ia mengakui ada pula saat ia tidak aktif.

Untuk inilah, maka jika Anda ingin merentas jalan lempang kepenulisan, resep Andreas Harefa ini dapat dilakukan. Marilah kita berhitung secara matematis. Jika dalam satu hari kita mampu menuliskan dua halaman, misalnya, maka dalam satu bulan kita sudah memperoleh sekitar enam puluh halaman. Jika dua bulan, maka, sudah 120 halaman. Sebuah buku tipis, tentu, sudah layak dengan tebal 120 halaman ini. Kalau begitu, hitung punya hitung dalam setahun, seseorang dapat menghasilkan enam buku. Mengapa kita tidak melakukannya? Kalau orang lain dapat tentu, siapa pun kita dapat melakukannya.

Di tengah kesibukan kita (apa pun profesi kita), barangkali memang menarik untuk menerapkan resep menulis Andreas Harefa ini. Untuk inilah, maka mengapa tidak kita lakukan? Jika kita meminjam ungkapan para arif bijak tidaklah ada sesuatu hasil datang dengan tanpa usaha, demikian juga halnya dengan dunia kepenulisan. Kerja keras, etos, dan disiplin adalah hal terbesar yang akan menyumbangkan sukses seorang penulis.

Akhirnya, marilah kita mulai menulis dengan resep Andreas Harefa ini. Meskipun satu paragraf dalam sehari, maka jika dalam satu minggu, paling tidak kita sudah memperoleh satu tulisan pendek. Ibarat menulis sebagai naik sepeda, maka semakin hari keterampilan kita bersepeda semakin mahir. Bukankah menulis adalah keterampilan menuju kemahiran?

Untuk ini, marilah kita menekuni dunia menulis dengan sepenuh hati. Sebab membaca dan menulis sekali lagi, adalah amanah agama yang diisyaratkan dalam Al-Quran! Wallohu a’lam.

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MEMBACA DARI TITIK QADARSIH

Sutejo

Anda kenal dengan Titik Qadarsih? Titik yang satu ini adalah “titik” cahaya bagi kita yang dapat kita jadikan pemantul kritik kehidupan kita. Bagaimana tidak? Artis yang hanya sering kita lihat sebagai artis di media televisi itu ternyata memiliki tradisi membaca yang luar biasa. Uniknya lagi, ternyata penyanyi ini tidak membatasi diri terhadap apa yang dia baca.

Jargon bacalah tentang apa saja, memang benar. Tetapi, saya sering sarankan kepada teman dan kolega begini, ”Jangan membaca apa saja!”. Awas! Jangan salah paham, rasionalnya begini: kalau kita membaca apa saja, --bisa jadi— apa saja itu adalah sampah dan sesuatu yang akan merusak ”frame” berpikir kita. Inilah, kontekstualisasi pesan kritis ini agar tidak menyesatkan pembaca. Misalnya, tidak semua koran dan media yang bertebaran di kita ”layak baca” tetapi sebagian masyarakat kita menjadikannya ia sahabat yang ”daripada tidak”.

Bandingkan dengan pengalaman Titik Qadarsih ini. Perempuan 60 tahunan ini, ternyata suka baca sejarah dunia dan Indonesia, kebudayaan, musik, hingga komik Sinchan. Semua bidang ini memang inspiratif. Katakanlah, komik Sinchan (yang sudah difilmkan itu) sebenarnya merupakan ”ideologi kreatif” sosok anak. Yang dari Jepang-nya sebenarnya merupakan tontonan anak usia SMA. Sehingga, minimal, mereka akan memiliki filter moral untuk memilih dan memilah apa yang dapat diambil dan mana yang sampah untuk disingkirkan. Di masyarakat kita, merupakan tontonan segar bagi anak-anak usia sekolah dasar, yang seringkali tanpa pendampingan filter moral karena tidak teriringi dengan dampingan asuh para orang tua. Jadinya? Kita tahu sendiri.

Apa yang dapat dipetik dari pengalaman membaca Titik Qadarsih ini? Wuih, luar biasa kritis dan ”tajam” pisau pikirnya. Begini, ”Sekarang ini, saya malah tidak mengerti, sebenarnya bangsa Indonesia itu berasal dari mana?” Hal ini, ia kemukakan setelah banyak membaca buku (dan tentunya, saya pun sering bertanya seperti ini sejak puluhan tahun lalu). Sebuah bangsa tak jelas karakter, tak jluntrung jati diri, dan seringkali munafik dalam laku dan bahasanya. Timur budayanya tapi sombong dalam laku dan kekerasannya.

Satu yang paling penting dari pengalaman membaca adalah bahwa membaca bisa diibaratkan seperti kedatangan seribu tamu di rumah kita (Kompas, 23/10/2004, hal. 44). Rumahnya, bahkan berserakan buku dan koran, dan karena itu, sering berantakan. Bertumpuk-tumpuk koran, misalnya, sengaja dirawat karena sewaktu-waktu dapat diundang ulang. Nah, sekarang bagaimanakah makna filosofis tentang kedatangan seribu tamu dalam tamasya baca Titik?
Secara metaforik relijius barangkali hidden meaning-nya dapat kita pelajar, begini. Pertama, metafor tamu dalam tradisi relijius Islam berkonotasi dengan rejeki. Kalau tamu adalah rejeki maka alangkah bahagianya kala kita kedatangan tamu? Membaca seperti kedatangan seribu tamu di rumah kita, wah luar biasa. Hal ini, tentu karena, ketika kita membaca hakikatnya adalah sebuah dialog yang tak putus dengan pengarang, latih nalar mengudar makna, dan sebuah rentang utas tali silaturahmi yang luar biasa panjang.

Akan menjadi rejeki, tentu, amanahnya seperti tuntutan ajaran agama bahwa zakatnya ilmu dengan mengamalkannya. Cara yang lintas waktu lintas tempat, mengamalkannya adalah dengan menulis. Sebuah ruang ekspresi dan ”amaliyah” yang abadi. Dan ini, tentu (lagi-lagi) metaforik usia panjang yang banyak dipanjatkan dalam doa-doa kita. Sebuah usia tentang ”nama” yang terlukis dan tertulis dalam sejarah karena dikenang. Sebuah makna relijius yang dapat dipanen ketika kita sering mengundang ”seribu tamu” di rumah kita. Yang tak terbatasi waktu, tak terhimpit ruang, dan tak dicurigai sebagai ”simpanan” kita tidur bersanding pasangan kita di ranjang. Sebuah tamu istimewa yang tak pernah menimbulkan prasangka!

Masalahnya, mungkin itu adalah utopia bagi masyarakat kita. Tetapi jika kita tersentuh oleh ocehan saya, barangkali menarik untuk menjadikannya tesaurus untuk kehidupan kita di masa depan. Memaknakan kejadian dan rutinitas hidup bukan sekadar lahiriah tetapi balutan makna karena logika berpikir axiologis (bidang makna filsafat) telah menjadi ruh hidup dan kehidupan kita.

Tuangkanlah refleksi hidup Anda dalam lembar, sekata sekalipun dalam sehari. Selama satu tahun minimal 365 kata akan mewakili pikiran dan makna hidup Anda dalam perjalanan tahun. Jika selembar dalam sehari Anda lakukan, dalam hitung tahun, 365 lembar pikiran dan refleksi hidup Anda akan menjadi ”buku kehidupan” Anda yang –luar biasa bermakna--. Bagaimana? ***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MEMBACA DARI NATASYA

Sutejo

Masih ingatkah Anda dengan Natasya Nikita? Mantan penyanyi cilik yang terkenal dengan lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut? Pada ulang tahunnya yang ketujuh belas (sweet seventeent) dia mendapat kado dari sebuah penerbit berjudul Nikita, My All. Apa yang menarik dari pribadi Nikita? Ada beberapa catatan kecil yang menarik untuk diperhatikan: (a) Nikita ternyata banyak meluangkan waktu untuk membaca bahkan pada saat menunggu manggung sekalipun, (b) koleksi bukunya mencapai 4.000 buah (2005) (baca: Matabaca, September 2005:50); (c) betapapun sederhananya sebuah buku ternyata ada manfaatnya, (d) kamarnya penuh dengan buku, dan (e) ketika keluar kota dia rindu akan kamarnya.

Apa komentar Anda? Sebagaimana pengalaman penyanyi Titik Qadarsih atau pelawak Thukul Arwana, mereka adalah dua orang yang suka baca. Kita sering ”memandang sebelah mata” kepada orang. Seorang kawan yang saya hormati, pernah komentar miner pada Thukul, ”Masa generasi setiap hari diajak ketawa-ketawa saja.” Sebuah reduktifikasi berpikir (berkata) yang aneh untuk seorang teman –yang katakanlah—bukan orang biasa.

Sebagaimana sering saya singgung, bahwa menulis bisa berguru kepada siapa saja dan apa saja; maka setiap fenomena dan who adalah ”yang dapat ditiru”. Bukan dihujat! Apa dan siapa adalah bahan sekaligus cermin sosial yang menarik untuk dikritisi. Untuk ini, jika kita berkaca pada cermin Nikita, maka ada beberapa pelajaran yang menarik untuk diinternalisasikan.

Pertama, berkamar buku. Koleksi Nikita dua tahun lalu berkisar 4000 kalau dikalikan rata-rata harga buku –katakanlah 25 ribu—maka dia sudah membelanjakan 100 juta. Sebuah angka yang tidak kecil, padahal rata-rata buku sudah di atas 50 ribu. Sebuah pengorbanan yang luar biasa. Untuk inilah, jika kita sebagai guru atau pelajar, maka mengoleksi buku merupakan tuntutan yang pertama-tama. Bukan mobil, HP, atau aksesoris hidup lainnya. Bukankah, analek Konfusius mengatakan ”bahwa buku adalah seperti gudang berisi emas” (Eko Laksono, 2007:323). Demikianlah, memang berguru berburu ilmu tidak harus fisik tetapi bisa bergulat, membaca.

Kedua, membaca seperti ngemil. Lihatlah pengalaman Nikita ketika nunggu manggung dia membaca. Karena itu, sebagaimana diungkapkan oleh Hernowo dalam bukunya berjudul Andaikan Buku Sepotong Pizza (Kaifa), menarik untuk ditindaklanjuti. Membaca memang butuh rileks. Karena rileks dalam teori hipnosis, akan mendorong seseorang memasuki wilayah alfa. Gelombang alfa, selanjutnya, akan membangun ”bawah sadar” seseorang. Ingat, teori psikologis mutakhir mengingatkan ternyata hidup kita dikendalikan oleh bawah sadar sebanyak 88 persen.

Sebuah pengalaman belajar sebenarnya, tetapi banyak insan yang tidak menyadarinya. Kekangenan Nikita akan kamar tinggalnya ketika keluar kota adalah ”dunia bawah sadar” yang menggetarkan. Jika kita percaya dari pengalaman makna pertama di atas, ”bahwa buku adalah gudang emas” maka menarik untuk merawat gudang emas itu dengan membacanya. Ngemil. Analog dengan kegemukan orang, atau kesehatan orang secara fisik, maka sangat ditentukan oleh keteraturan dalam makan dan ngemilnya; maka jika kita ingin sehat secara psikologis dan keilmuan penting untuk ngemil dalam melahap buku.

Ketiga, memaknai peristiwa penting dengan buku. Seventeent adalah puncak psikologis yang banyak dipuja remaja. Tetapi jarang mereka yang memaknainya dengan kegiatan positif –katakanlah seperti apa yang dialami oleh Nikita— dengan bergulat dengan buku. Mendapat kado buku dari penerbit. Dalam rangka membangun motivasi, Sandy mac Gregor (2007), pernah berpesan pentingnya merawat ”jangkar emosi”.

Jangkar emosi akan menumbuhkan semangat di satu sisi, dan di sisi lain membangun dunia ”bawah sadar” yang terus berkobar. Dengan begitu, apa yang dapat kita lakukan dalam kehidupan ini adalah merawat ”kondisi emas”, yang mengesankan, dengan menjadikannya sebagai jangkar emosi dalam kehidupan. Jangkar emosi dengan berbagai visualisasi (imajinasi) inderawi: kinestetik, visual, audio, raba, dan ciuman. Sebuah alat penting untuk menajamkan imajinasi seseorang yang senantiasa menggerakkan. Ingat kan bagaimana Einstein berpesan, ”Imagination is more than knowledge”.

Akhirnya, manakala kita jujur atas cermin Nikita di atas, alangkah baiknya menjadikannya kritik penting sehingga dalam laku hidup profesi kita akan merasa malu jika tidak menggaulkan diri dengan buku. Tidak merawat momen-momen penting dalam bersentuh dengan buku untuk menciptakan jangkar emosi. Dan, lebih dari itu meluangkan sebagian finansial untuk menciptakan “gudang emas” yang akan menjadi harta karun di masa depan.

Jepang dalam kasus ini adalah contoh Negara dengan kesadaran tertinggi dalam memfasilitasi dan menggauli perbukuan. 40 buku per-orang dalam setahun konsumsi pembacaannya (Spiritual Reading, 2006). Marilah kemudian kita transformasikan cermin Nikita ini dalam ruang-ruang keluarga kita sehingga ke depan akan menjadi “gudang” emas di masa depan.


*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BERGURU MENULIS PADA ANJAR

Sutejo

Ada seorang perempuan yang memiliki obsesi menulis sejak usia 4 SD, dan pernah distrap gara-gara membaca majalah Kartini. Lahir dari keluarga guru yang sudah membiasakan membaca dan menulis sejak TK. Dan pada usia SMP, sebuah pertemuan yang mengasyikkan dengan penulis nasional, Hilman Hariwijaya, yang sedang promo tour buku serial Lupus ke berbagai sekolah. Hasilnya, pertemuan itu semakin membuat dirinya keranjingan menulis, yang akhirnya kini sudah banyak buku yang dihasilkannya. Perempuan kelahiran 1 Februari 1973 ini pekerjaan sehari-harinya adalah menjadi pendamping mahasiswa di Gereja Mahasiswa (GEMA) Katholik Bandung.

Buku-buku yang telah lahir dari tangannya diantaranya: (a) Beraja: Biarkan Ku Mencita (Novel, Grasindo), (b) Kidung Senandung Cinta Untukku (Novel, Grasindo), (c) Tiga! Menjemput Semburat Cinta (Novel, Grasindo), (d) Lelana, Jiwa-Jiwa yang Pulang (Novel, Grasindo), (e) Selasar Kenangan (Kumcer, Akoer), (f) Apa Kabar Kang Je? (Kumpulan Cerita Rohani, Penerbit Obor), dan (g) Karena Aku Sayang (Teenlit, GPU). Perempuan berkacama dengan karya-karya ini adalah Anastasia Ganjar Ayu Setiansih.

Dalam akuan proses kreatifnya di MataBaca, edisi November 2007 (hal. 28-29), Anjar menuturkan beberapa pengalamannya berkaitan dengan persalinan dan kiat-kiat produktifnya. Beragam hal yang dapat ditiru diantaranya adalah (a) dalam menulis dia memiliki prinsip berbagi hidup, (b) dalam menulis tidak terikat waktu dan tempat, bahkan bisa menyesuaikan dengan deadline, (c) pentingnya mendapatkan mood yang dalam bahasa Anjar disebutnya dengan jiwa dari tulisan (sehingga tulisan bernyawa), (d) dalam menulis selalu Anjar yang menyelam ke dalam karakter tokoh, (e) mengamati realitas yang tidak terduga, dan (f) mendengarkan cerita orang, membaca peta dan literatur dunia kemudian diramu dalam imajinasi.

Oke, sekarang mari kita memasuki taman rekreasi kreatif Anjar untuk berselancar menemukan pijar kepenulisan di masa depan. Ketika prinsip menulis Anjar dia yakini sebagai sarana berbagi, maka harapan terbesarnya adalah bagaimana karya-karya yang lahir dari tangannya dapat diterima dan diapresiasi pembaca. Untuk apa karya ditulis jika tidak komunikatif dengan pembaca, begitulah barangkali yang dipikirkannya. Lebih jauh, berbagi hidup memang sangat dimensional, luas, dan jenjang hierarkhis maknanya berlapis-lapis. Kumpulan cerita rohani, Jiwa-Jiwa yang Pulang tampaknya memiliki makna yang jauh lebih mengesankan. Pada saat keinginan berbagi pengalaman rohani itu berhenti (artinya tidak dapat melanjutkan tulisan), Anjar lebih memilih berhenti, cari suasana baru, atau mendengarkan lagu yang easy listening.

Kelenturan dalam menulis tampaknya merupakan pelajaran menarik bagi kita. Tidak semua penulis dapat melakukan hal demikian. Karena situasi dan kondisi (yang biasanya juga dipengaruhi tempat), hakikatnya memiliki magis kepenulisan tersendiri. Belajar dari pengalaman Anjar ini, tentunya yang menjadi PR kita adalah bagaimana mengondisikannya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Bahkan, menurutnya, yang terpenting adalah mencari mood. Ini yang susah. Mood dalam bahasa Anjar (dan ini agak berbeda dengan pengakuan penulis lain yang memandang sebagai kondisi “trans”), hakikatnya adalah proses memberi jiwa sebuah tulisan. Tulisan yang lahir dari kondisi demikian, dengan sendirinya, akan menjadikan tulisannya berjiwa.

Hal ketiga, yang dapat dipetik adalah pentingnya penyelaman terhadap karakter tokoh yang diciptakan. Ini tentu berkaitan dengan hal penjiwaan, membutuhkan empati, dan pelatihan “peran imajinasi” agar –lagi-lagi—tulisan berjiwa. Pengalaman ini hakikatnya adalah proses pengolahan mood yang telah dicarinya. Memang, sebagian penulis percaya, bahwa mood dapat dicipta. Itu berarti kehadirannya dapat diransang dengan semisal membaca, merenung, mendengarkan musik, meditasi, dan sebagainya. Prinsipnya, mengundang mood membutuhkan kearifan laku kepenulisan secara khusus (wuih).

Seperti halnya Ayu Utami, dalam pra penulisan Anjar juga membutuhkan “penelitian”, observasi, --yang dalam bahasa Gola Gong—membaca hakikatnya juga sebuah observasi. Di sinilah, maka hal menarik yang perlu kita fasilitasi dalam menulis adalah kepekaan, empati, dan pikir-rasa berlibat atas fenomena. Hal ini akan mendorong bagaimana tulisan itu memiliki kontekstualisasi dengan suasana dan rasa. Membaca peta, buku, dan literatur lainnya merupakan upaya mendasar dalam membangun imajinasi agar tulisan memiliki “daya jiwa”. Inilah, yang dapat kita petik selanjutnya dari pengalaman Anjar.

Dan terakhir, pengalaman kemandegan dalam berkarya dapat dibantu dengan dengan mengamati realitas sosial, rutin keseharian. Pengalaman Anjar ketika macet dalam menyelesaikan novelnya, dalam berjalan ke kantor dia menemukan makna metaforik dalam pengalaman langsungnya. Ketika berjalan ke kantor ia dihadapkan pada pemandangan mengagumkan. Persis di depannya sebentuk pohon sedang meranggas, detik itu juga sedang membiarkan dedaunannya menari-nari ditiup angin, dari atas, satu..., pelan menuju ke bumi, berlenggok layaknya penari yang sedang genit dan lentik menarikan lagu alam. Meski satu-satu melunglai, tapi karena pohon itu cukup besar maka tak lama makin banyak juga daun yang berguguran menuju bumi, memenuhi jalan aspal hitam disekitarnya.

Kondisi itu yang kemudian dia gambarkan dengan detail dan tentu saja berhubungan dengan cerita sebelum atau sesudahnya. Pengalaman Anjar ini cocok dengan apa yang diajarkan Gola Gong di Kelas Menulis Rumah Dunia untuk mengamati realitas sehari-hari, berpergian, dan menuliskannya detail tentang berbagai hal. Sebuah upaya penting melukiskan setting itu sendiri yang sekaligus bermakna metaforis terhadap karakter tokoh dan lebih-lebih lagi berkaitan dengan penjiwaan sebuah tulisan.

Nah, jika kita mau mencermati dari pengalaman Anjar ini tentunya makna kepenulisan jadi demikian dalam. Di satu sisi keinginan berbagi dapat terfasilitasi, dan di sisi lain bahan kepenulisan memang tidak terbatas manakala kemampuan dasar empati, berlibat, dan rasa menjiwa menjadi tikar yang mengakar.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

MENDULANG SPIRITUALITAS MENULIS HELVY TIANA ROSA

Sutejo

Dalam sebuah wawancara kecil dengan Kompas, seorang penulis perempuan berbakat pernah bilang begini: "Saya tidak ingin menyia-nyiakan talenta dari Tuhan dan menjadikan menulis sebagai salah satu bentuk ibadah." Salahkah? Tentu, tidak. Karena, memang kita diciptakan oleh Tuhan untuk beribadah. Mengikat ilmu dengan menuliskannya, dengan sendirinya ibadah.

Perempuan penulis itu adalah Helvy Tiana Rosa, yang saat ini dikenal sebagai penulis cerpen dan novel. Karyanya sudah dipublikasikan di majalah anak-anak sejak ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD). Lebih dari itu, konon, ia sudah mulai menulis catatan harian mulai kelas satu SD. (Ini tentu mengingatkan kita, tentang bagaimana pentingnya buku harian sebagai media berlatih, berasah, berempati, dan berekspresi dalam kepenulisan).

Menulis buku harian memang merupakan salah satu indikasi seseorang memiliki bakat kepenulisan. Di samping indikator lain seperti corat-coret, suka berkhayal, suka berenung, suka berpetualang, dan sejenis. Di sinilah, barangkali kemudian perempuan pengarang ini dinilai orang mempunyai bakat. Tak, hanya ini tampaknya yang mendorongnya berkarya. Secara alami, juga karena tuntutan ekonomi di masa sekolah dulu menjadikan Helvy Tiana Rosa semakin serius menekuni sastra. "Awalnya sejak SD, SMP, dan SMA saya menulis untuk mencari tambahan biaya sekolah, tetapi kemudian termotivasi untuk membagi sesuatu yang abadi dengan orang lain," begitulah akunya.

Kalau kamu bertanya, sudah berapa sih karya perempuan penulis ini? Paling tidak, saat ini tak kurang dari 35 buku karyanya sudah diterbitkan sejak tahun 1996. Dari 35 buku tersebut, sebanyak 20 buku merupakan karya sendiri dan 15 buku lainnya da¬lam bentuk antologi bersama. Umumnya karya Helvy mendapat sambutan. Oplah minimal pertama kali terbit rata-rata 5.000 hingga 10.000 eksemplar. "Yang gagal alhamdulillah belum ada, pasarnya cukup bagus," kata Helvy menjelaskan. Beberapa kali ia mendapat penghargaan. Cerita pendek Jaring-jaring Merah yang terdapat dalam buku Lelaki Kabul dan Boneka, misalnya, menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra Horison selama 10 tahun terakhir (1990-2000) dan mendapat Pena Award 2002. Puisinya berjudul Fisabilillah dalam antologi Sajadah Kata menjadi pemenang dalam Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional yang diadakan Yayasan Iqra.

Apa yang kita bisa pelajari dari Helvy Tiana Rosa? Pertama, menulis dapat dijadikan sarana ibadah. Artinya, dengan menulis dapat dipergunakan untuk menebarkan kebaikan? Bahkan, boleh jadi menulis dapat dijadikan sarana jihad yang menyejukkan. Untuk itu, jika Anda ingin “beribadah” tak ada salahnya jika menggiatkan menulis sejak dini untuk beribadah.

Kedua, dengan menulis popularitas dapat didongkrak, nama dapat dicari; ujungnya adalah uang memburu kita. Kata Adi W. Gunawan, ciptakanlah uang memburu Anda bukan Anda yang memburu uang. Helvy Tiana Rosa, karena itu, dapat dijadikan contoh mempesona.

Ketiga, menulis tidak pilih jenis kelamin. Seringkali, ada sebagian orang bilang, “Ah aku kan perempuan”. Ini sebuah mental block yang harus dirobohkan karena memang pandangan bias gender demikian tidak perlu terjadi. Sukses menulis, dengan sendirinya, juga tidak ditentukan oleh jenis kelamin.

Keempat, dari awal menulis populer ternyata dapat menjadi jembatan kepenulisan sastra yang serius. Hal ini, dapat dibuktikan dari pengalaman awal kepenulisan Helvy sampai kini yang telah banyak memperoleh penghargaan sastra serius. Jika kita menginginkan untuk mengembangkan kepenulisan jenis ini, maka berguru kepadanya adalah hal penting yang dapat kita lakukan.

Terakhir, menulis tentunya membutuhkan proses. Dengan demikian, keterampilan menulis tidaklah dapat diinstankan. Sekali lagi etos dan ulet adalah kunci pertama, kejelian dan kecakapan retorika adalah hal selanjutnya yang penting dibina. Jika kita mampu belajar dari Helvy Tiana Rosa ini, bukan hal ajaib jika suatu saat kita pun dapat memetik keberuntungan finansial yang luar biasa.

Pendek kata, sukses menulis juga sukses dalam finansial. Rumus sukses menulis ala Helvy, adalah menjadikannya sebagai jembatan ibadah adalah sebuah tujuan mulia yang dapat kita teladani oleh siapapun kita. Selamat mencoba, selamat berkarya!***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos