Kamis, 06 November 2008

MEMETIK METAFOR MENULIS EKA BUDIANTA*

Sutejo

Sungguh saya terbelalak dengan metafor menulis yang diungkapkan Eka Budianta! Tulisan itu seperti bom, cinta. Sebuah sisi lain pengalaman menulis yang menggetarkan. Bagaimana tidak? Bom dan cinta seperti dua hal yang jauh tetapi didekatkan dalam satu makna. Bom simbol teror yang membuat orang ngeri. Tetapi bom dalam konteks pandangan Eka Budianto tentu menyaran pada bagaimana tulisan mampu melemparkan teror mental. Jargon ini sebangun dengan apa yang diungkapkan Putu Wijaya. Karena karya sastranya sering dikenal dengan sastra teror. Sedangkan cinta, mengingatkan ruh hakikat tertinggi hubungan antarmanusia atau dengan khaliq adalah cinta, mahabbah. Cinta yang meluap, kata Abdul Hadi, akan alir dalam beragam bentuk yang menggerakkan.

“Mengajar menulis memerlukan lebih dari merangkai kata-kata!” tulis Eka Budianta dalam pengantar bukunya yang berjudul Senyum untuk Calon Penulis (Alvabeta, 2005). Implisit ungkapan ini adalah kita perlu bermain, bertamasya, berempati, bermeditasi, dst. Sebab, ketika kita menulis (mengarang) kita juga berimajinasi, berbagi pengalaman, berangan-angan, berkomunikasi. Bukankah kita dengan berpikir, berimajinasi, berenung hakikatnya belajar mengarang itu sendiri?

Dia menuturkan pengalamannya mengikuti lokakarya mengarang yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan Australia. Uniknya, selama dua hari sama sekali tidak diajari merangkai kalimat. Tetapi hanya dilatih untuk bertanya dan menjawab! Sampai-sampai seorang yang sangat terpelajar kecewa kemudian meninggalkan latihan, “Saya ingin tahu bagaimana memilih topik, menyusun kalimat, dan alinea. Bukan berkhayal dan memecahkan persoalan yang mengada-ada begini.”

Belajar dari kasus “manusia sok terpelajar” ini adalah bukankah awal dari semua tulisan adalah imajinasi. Latihan imajinasi ini penting. Einstein bahkan mengatakan imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan. Masalahnya adalah realita sosial masyarakat alergi dengan ini. Untuk itu, meletakkan kebiasaan imajinasi secara tepat dan bermanfaat adalah pintu bidang apa pun yang menarik untuk dipahami.

Di sinilah, maka yang terpenting modal penulis adalah: berpikir, berkhayal, berimajinasi, berempati, berenung, bertamasya, berpetualang, berselancar, bermeditasi, berandai-andai. Apa yang akan ditulis jika serangkai alat itu tidak terpunyai?

Dalam banyak kasus imajinasi adalah ikhwal utama yang mendorong seseorang terpanting dream kehidupannya. Tanpa imajinasi kehidupan akan kerontang seperti hutan di musim kemarau. Karena itu, jika imajinasi seseorang subur maka ibaratnya seperti hutan yang rimbun. Hutan rimbun akan memberikan ruang kehidupan akan segala satwa. Metafor satwa itu dengan sendirinya adalah orok-orok (ide) kepenulisan cemerlang.

Imajinasi yang benar akan teriringi oleh keyakinan mendalam. Sebuah basis penting dalam merengkuh ekspresi batin. Imajinasi dan keyakinan inilah kemudian yang memberikan motivasi tersendiri sehingga melahirkan tulisan (wujud ekspresi) yang seringkali serupa teror. Belajar dari bahasa teror Putu Wijaya, dalam akuannya, dia menulis alir saja. Yang terpenting baginya adalah imajinasi itu sendiri. Imajinasi yang bagaimana? Melompat. Karena itu, drama dan novel Putu Wijaya, sebagian pembaca akan menilai terpotong-potong. Tetapi, itu sesungguhnya ibarat musaik estetik yang kelindan dalam lompatan komunikasi.
Di sinilah, jika dasar utama kepenulisan adalah cinta, maka imajinasi yang terbangun adalah gerak cinta yang meluap pada realita. Cinta secara umum seringkali berkaitan dengan (a) cinta sesama manusia, (b) cinta lawan jenis, (c) cinta tanah air, dan (d) cinta keilahian. Dengan begitu cinta dalam konteks ini akan alirkan keberlibatan emosi, keterlibatan emosi akan membangun humanitas, dan humanitas akan lahirkan keharmonisan. Tulisan-tulisan yang bermakna paling tidak penting bermuara pada hal demikian.

Untuk itu, jika Anda ingin berkarya tentunya pemahaman akan makna cinta ini menjadi yang pertama untuk disematkan di dalam sanubari. Kenakalan pikir yang melahirkan teror-teror itu akan menjadi fondasi dan dinding bangunan. Sedangkan imajinasi akan menjadi atap dan langit bangunan itu sehingga memberikan keyamanan. Sebuah metafor unik yang dalam pandangan antropologis mengingatkan akan pentingnya kontekstualitas budaya di mana tulisan itu ber-sanad.

Mungkinkah kita yang baru memasuki pintu kepenulisan mampu melakukannya? Sangat mungkin. Bukankah cinta dan imajinasi adalah kodrat yang melekat? Persoalannya barangkali bagaimana menyemai dan menyuburkan keduanya di taman-taman kehidupan dan bagaimana merawatnya menjadi tumbuhan indah yang menghidupi?

Karena itu, latihan imajinasi sebagaimana dialami Eka Budianta ketika mengikuti pelatihan kepenulisan di Australia menarik untuk dikondisikan dalam praksis kehidupan kita. Mengapa? Untuk menyuburkan imajinasi sehingga berbuah cinta yang meneror. Bagaimana? Jika Anda kesulitan memahami ungkapan-ungkapan metaforik Eka Budianta ini barangkali menarik membaca tulisan serupa tentang ruh cinta dalam pengalaman Abdul Hadi di bagian kedua.
Ia akan menjadi jangkar dan jaring emosi yang menggerakkan!
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar