Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI MARIA A SARDJONO*

Sutejo

Membaca dan menulis bagi Maria A. Sardjono telah begitu mendarah daging. "Kakek saya dulu teman Marah Rusli, pengarang roman Siti Nurbaya," tutur perempuan kelahiran 22 April 1945 ini. Sejak masih berusia sangat dini, buku bukan merupakan benda langka ditemukan di rumah. Seluruh anggota keluarga memiliki kesukaan membaca.

Ia menulis sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, tulisan-tulisannya lebih banyak disimpan di laci meja. Kesukaan ini terus berlanjut. "Cerpen-cerpen yang saya tulis terus saja ada di dalam laci, enggak diapa-apain," kenang Maria. Sampai suatu hari, seorang kerabat berkunjung ke rumah dan membaca cerpen tersebut. Ia menyarankan agar cerpen tersebut dikirimkan ke majalah. "Ternyata tidak ada cerita-cerita yang dikembalikan," ungkap Maria. Sepanjang 30 tahun menulis, sudah 85 novel yang dia hasilkan.

Satu hal yang dirasakan Maria saat menga¬rang, ia begitu terhanyut dalam cerita. Ia tak pemah mampu membuat cerita horor. "Kalau selesai menulis cerita seram, komputer cepat-cepat dimatikan, dan saya lari ketakutan ke kamar," ungkapnya. Sebaliknya, setiap kali me¬nulis tentang dua insan yang sedang bercinta, penulis yang baru menyelesaikan studi S2 di bidang filsafat humaniora ini mengaku sering terangsang sendiri.

Apa yang dapat dipetik dari Maria A Sardjono? Pertama, kebiasaan membaca dan menulisnya sejak dini. Untuk itulah, jika kita ingin menulis memang ya, menulis. Barangkali, memang, tidak membutuhkan teori. Membiasakan menulis, karena itu, merupakan kunci pertama. Belajar dari tokoh ini maka hukum kesuksesan menulis adalah membudayakan baca tulis. Ini penting karena membaca adalah proses belajar yang tidak henti, proses meminta yang tak bertepi.

Hanya, membaca yang bagaimana dapat dioptimalkan? Membaca dalam konteks ini tentunya adalah membaca kritis. Membaca dalam ruang dialog atas kebermaknaan. Di sinilah proses penting itu hingga bermanfaat sebagai bahan penting kepenulisan. Alat yang dapat dimanfaatkan untuk membaca ini menarik kita untuk memiliki kartu bacaan. Hasil bacaan dikartukan sebagai penjurus bahan kepenulisan.

Kedua, keluarga berpengaruh dalam mendukung peningkatan kemampuan menulis. Sebagaimana halnya, Maria A Sardjono, yang dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing dengan buku, maka hal berikut yang penting untuk kita pelajari adalah bagaimana menciptakan rumah tangga kita adalah sekolah kedua. Di sinilah, barangkali, peran orang tua menjadi sangat menentukan dalam memfasilitasi dengan buku-buku bagi anak-anaknya. Jika kita menginginkan sukses menulis, hal penting yang tak boleh dilupakan adalah “rumah buku” itu sendiri.

Beruntung memang Maria A Sardjono yang sejak kecil memiliki lingkungan keluarga yang menyuburkan tradisi baca tulisnya. Jika Anda ingin mengembangkan kepenulisan syarat kondisi rumah buku adalah sawah lapangnya.

Ketiga, pentingnya bank tulisan. Dari pengalaman menulis Maria, di awal, hal unik yang dapat diambil adalah kebiasaan menulisnya yang pada awalnya tidak ada motivasi untuk dikirimkan ke media massa tetapi kemudian setelah bertemu seorang teman Maria disarankan untuk dikirimkan ke media. Pada saat itu, ternyata, Maria sudah memiliki 30 cerita. Hebatnya, semuanya tidak tertolak (dimuat). Jika kita ingin sukses menulis, maka kita perlu memiliki bank tulisan. Dalam bahasa perbankan, barangkali, kita perlu menabung tulisan. Sehingga, tak mengherankan jika suatu waktu kita memiliki kekayaan yang luar biasa.

Untuk itu, mengapa kita tidak meniru pengalaman unik penulis ini? Marilah, saya ajak Anda untuk merenungkan kebiasaan menarik dari penulis Maria A Sardjono yang sekilas namanya mirip laki-laki. Tetapi, penulis ini adalah perempuan.

Jika kita masih ragu akan kemampuan menulis, barangkali, penting terus menulis sehingga tersimpan sejumlah tulisan –yang entah—suatu waktu pasti kita memiliki saat untuk mempublikasinya. Sebuah kebiasaan yang mudah dilakukan, manakala, kebiasaan itu dikondisikan dalam keluarga yang menopang untuk pengembangannya. Permasalahan: mengapa kita tidak mengawali? Bukankan keinginan indah jika tidak dimulai hanya bikin resah? Sering, saya bertemu dengan teman (siswa dan mahasiswa) sangat tertarik dengan menulis tetapi mereka belum memfasilitasinya ala Maria A Sardjono ini.

Kini, tiba saatnya giliran Anda untuk menciptakannya dalam keluarga selanjutnya jangan berpaling sebelum rekening honor itu mengisi rekening pribadi Anda. Selamat berjuang membangun keluarga dengan tulis menulis!
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar