Kamis, 06 November 2008

BELAJAR STYLE PENGUCAPAN PUITIS DALAM PROSA AYU UTAMI

Sutejo*

Masih ingat dengan Ayu Utami? Perempuan inspiratif yang dinobatkan Korri Layun Rampan sebagai tokoh angkatan 2000 bidang prosa. Perempuan sensual ini, sebagaimana disinggung Budi Darma sebagai teman selingkuh seorang sastrawan andal Indonesia. Ia adalah perempuan inspiratif dalam perjalanan sastra Indonesia. Sampai-sampai Sapardi Djoko Damono mengatakan, masa depan sastra Indonesia ada di tangan perempuan. Dan, pada tahun 2004, misalnya, geger perbincangan sastrawangi sebagaimana dimuatkan dalam terbitan khusus Jurnal Prosa edisi 4.

Perempuan yang lahir di Bogor 21 November 1968 ini memiliki latar kewartawanan. Ia pernah bekerja di Matra, Forum Keadilan, D&R, dan Jurnal Kalam. Pernah mendirikan AJI bersama teman-teman. Intensitas dalam dunia kejurnalistikan ini, barangkali yang menginspirasikan dua novelnya kental dengan aroma politik Orde Baru. Prestasi kepenulisannya adalah (a) pemenang kepenulisan cerpen humor yang diadakan majalah Humor, (b) pemenang Sayembara Roman DKJ 1998, dan (c) penerima hadiah Prince Clause Award dari Pangeran Klause Kerajaan Belanda 2001.

Kebetulan saya sendiri menulis tesis dengan objek dua novel Ayu Utami: Saman dan Larung, kemudian dapat nilai 4,0. Karena itu, sedikit banyak juga mengritisi bagaimana proses kreatif perempuan sastrawan ini. Apa yang menarik dan dapat dijadikan pantulan ajar? Banyak. Dari pengalaman hidupnya dan akuan di berbagai media, hal itu dapat direfleksikan sebagai berikut (a) komunitas Utan Kayu sebagai kawah belajar, (b) menulis butuh research, (c) menulis butuh keterampilan menulis, (d) menulis butuh style khusus yang membedakan, (e) menulis butuh keberanian menyuakan sesuatu, sebagai refleksi sosial masyarakatnya, dan (f) menulis lintas batas tidak terkotak oleh ideologi (termasuk ideologi gaul).

Untuk inilah, maka mari kita berbincang untuk memantik sinyal menulis. Komunitas, sebagaimana sering saya singgung memang merupakan hal penting yang mendorong lahirnya motivasi dan pemodelan. Sebagaimana Yati Setiawan dengan komunitas rumah bersama suaminya, Mardiluhung dan Nirwan Dewanto dengan komunitas Utan Kayu, Sitok Srengenge, Isbedy Setyawan, Umbu Landu Paranggi yang banyak lahirkan para penulis termasuk Emha Ainun Nadjib. Dengan begitu, komunitas –barangkali sebuah kemutlakan--. Eh, demikian juga Lang Fang dalam komunitas, meski tak seintensif komunitas lainnya, juga berkomunitas dengan Budi Darma (yang dalam akunya beberapa waktu lalu di Surabaya baru mengenal Budi Darma dalam tahun 2003).

Filosofi komunitas adalah filosofi berguru dan bersahabat. Berguru karena dalam komunitas kebiasaan berbagi akan menjadi komunikasi guru-murid dalam konteks pemaknaan dan pembacaannya. Bersahabat dalam makna memberi arti, karena itu, sahabat yang baik adalah mereka yang berani mengingatkan. Dalam kepenulisan hal ini tentunya akan intensif karena filosofi kepenulisan adalah filosofi dialog. Membaca sekalipun adalah proses pemaknaan dialogis.

Kedua, menulis sebagaimana halnya sebuah penelitian membutuhkan data informasi awal karena itu butuh survei minimal, bila perlu melakukan penelitian khusus. Hanya memang laporan penulisan seorang sastrawan, cerpenis, dan penyair berbeda dengan seorang peneliti formal yang melaporkannya secara kaku, secara metodologis, teoritis, dan hasilnya yang demikian “kaku”. Tak heran, jika banyak laporan penelitian tidak dibaca, sebaliknya hasil karya puisi dan cerpen novel mendapatkan tempat lebih dibandingkan dengan laporan penelitian itu. Karena itu, sebagaimana Saman dan Larung buah tangan Ayu Utami hakikatnya sebuah “laporan reseacrh” dalam bentuk imajinatif. Hal itu, sebagaimana akuannya dalam komunitas Utan Kayu yang banyak didukung oleh koleganya dalam mengumpulkan informasi melalui penelitian pustaka. Bahkan, setelah jadi pun draf tulisannya masih didiskusikan dalam komunitas Goenawan Mohammad di Utan Kayu.

Antara komunitas dan research, karena itu, seringkali merupakan dua sisi mata uang dalam sekeping logam. Artinya, penelitian memang dapat dilakukan rame-rame, sedangkan –sekali lagi—proses kreatif seringkali memang bersifat pribadi. Sebab, menulis kreatif adalah wilayah ambang sadar, sebagaimana hidup kita yang digerakkan oleh 88 persen pikiran ambang sadar ini. Bahan kepenulisan dengan demikian, adalah bahan-bahan tertimbun dalam pikiran bawah sadar yang mengendap dalam perjalanan hidup, dan refleksi hidup, dan dalam laku hidup yang seringkali pula –bahkan— tidak dapat divisualisasikan dalam pikiran sadar.

Keterampilan berbahasa (khususnya menulis) merupakan hal mendasar yang seringkali mendorong orang sukses dalam menulis fiksi. Bre Redana, Ida Ayu Oka Rusmini, Taufik Ikram Jamil, Seno Gumira Adjidarma, dan Ayu Utami sendiri adalah beberapa contoh yang pengalaman kebahasaan selama dalam dunia kejurnalistikan memberikan warna penting dalam penulisan fiksinya. Untuk ini, memang menulis hakikatnya tidak terlepas dari keterampilan berbahasa itu sendiri. Karena itu, jika kita pengin menulis secara hebat, maka hal penting untuk menajamkan pengalaman berbahasa merupakan pilihan tercepat dan akurat untuk menghasilkan karya.

Keempat, menulis butuh style khusus yang membedakan. Pengalaman Ayu Utami bereksperimen mengubah bahasa prosa berbalut bahasa puisi menimbulkan keunikan sehingga dapat pujian dari banyak kalangan. Kemampuan berbahasa berbeda ini, tentu, menuntut latihan dan keberanian. Kekhasan itu paling tidak tampak pada bagaimana kekhasan Ahmad Tohari yang kental lokalitas dan narasi yang kuat dalam menggambarkan dan melukiskan tokoh. Putu Wijaya dengan bahasa teror lewat dialog-dialog yang mencengangkan. Demikian juga bahasa alir Budi Darma bak pendongeng ulung yang membius pembaca melalui tokoh-tokoh yang hidup. Seno Gumira Adjidarma dengan realisme yang kuat dan naturalisme eksperimentasi sesekali. Pramudya Ananta Toer dengan style realisme yang kuat hingga diusulkan masuk nominasi nobel kesusasteraan. Nukila Amal dengan bahasa puitis prosa beraroma mantra.

Puncak kepenulisan fiksi harapannya memang kemampuan menemukan kekhasan pengucapan itu. Akan tetapi, memang tidak semua penulis berhasil. Banyak juga mereka yang tetap terpengaruh oleh bayang-bayang seniornya atau sastrawan yang menjadi idolanya. Untuk itu, jika Anda ingin optimal mengembangkan kepenulisan prosa menarik berguru pada beberapa sastrawan di atas. Artinya, tidak sekadar melihat perbedaan tetapi mencoba menemukan bagaimana perbedaan (kekhasan) itu dilakukan.

Dua hal lain yang menonjol dalam proses kreatif Ayu Utami adalah kentalnya menyuarakan aspek sosial dalam karyanya, di samping cermin luas pergaulannya. Multibidang tercermin dalam kedua novel itu, baik itu aspek politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Semua bidang itu, nyaris berkelindan seperti anyaman tikar pandan yang menarik dipandang. Sebuah orkestasi aspek sosial yang menarik direfleksikan jika kita sepakat akan jargon karya sastra merupakan cermin dari refleksi sosial masyarakatnya. Dalam pandangan sosilogis memang, ada pandangan bahwa kekuatan teks sastra tergantung sejauhmana aspek sosiologis itu alir di dalamnya. Hal ini mengingatkan protes Putu Wijaya kepada HB Jassin tentang penobatan Daniel Dakidae atas monumentalitas Para Priyayi yang ditulis Umar Kayam.

Estetika sosiologis ini tentu terbuka untuk diperdebatkan. Karena memang karya sastra bukanlah ilmu sosiologi, maka keimplisitan dan kompleksitas sosialnya akan menjadi daya tarik perbincangan. Dengan begitu, harapannya kekuatan sosiologis tidak mengabaikan estetika teks itu sendiri. Namun jika menyisir bahasa sosiologis dalam Larung dan Saman, tampaknya khas dan tidak mengganggu totalitas karya. Jika Anda ingin menuliskan aspektualitas sosiologis ini alir dalam karya tentu menarik mengekor atau memodelinya. Bagaimana bahasa “pemberontakan” yang hidup lewat tokoh-tokoh progresif yang rata-rata aktivis pergerakan.

Kesimpulannya: jika jalan menulis adalah jalan menikung penuh liku maka memang sangatlah membutuhkan keberanian. Dari pengalaman Ayu Utami, seorang jurnalis akan mampu mendorong tumbuhnya keberanian itu sendiri. Untuk ini, maka mari kita tingkatkan keberanian menulis dengan kekuatan research sehingga akurasi informasi dan pesan sosial akan menjadi senjata estetis yang menarik untuk direnungkan.

Melangkah itu indah memang, dan berkarya itu hakikatnya melukis pesona. Sebuah pesona sosial yang tidak dapat dinikmati dalam laporan penelitian yang kaku dan memuakkan! Penulisan fiksi, tentu akan menjadi alternatif kreatif tetapi pernik estetik tetap terjaga. Bagaimana dengan Anda?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar