Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI OATES

Sutejo

Joyce Carol Oates (Oates) adalah seorang penulis produktif yang telah menulis 70 puluh novel, koleksi puisi, dan cerita pendek. Beberapa diantaranya telah memenangkan hadiah tertinggi di bidangnya. Them mememangkan National Book Award (1970) untuk fiksi; A Garden of Earthly Delights (1970) dan Expensive People (1969) dinominasikan untuk National Book Award; What I Live For (1994) dinominasikan untuk Pulitzer Prize dan PEN/Faulkner Award for Fiction. Dia juga penerima hadiah O’Henry Special Award for Continuing Achievement.

Apa yang dapat dipelajari di Oates ini? Pertama, dia menulis tidak menggunakan mesin ketik (atau komputer) tetapi dengan menulis tangan. Kedua, sebelum menulis buku (termasuk puisi-puisi yang berarti) terlebih dulu dia banyak menulis tentang sesuatu. Ketiga, tidak peduli terhadap kritik (negatif) atas karya-karyanya.

”Semua penulis,” akunya, ”menemukan diri mereka berdentangan setiap saat, dari waktu ke waktu; kupikir pengalaman adalah suatu pembebasan yang luar biasa: setelah kematian pertama tak akan ada (kematian) lainnya. Seorang penulis yang telah menerbitkan buku sebanyak yang saya lakukan berarti penulis itu telah berkembang, sesuatu yang memang dibutuhkan –sesuatu yang tersembunyi seperti seekor badak yang menyembunyikan culanya, sementara di dalam dirinya bercokol kelemahan, keragu-raguan yang penuh harapan.” (George Plimton, 2007:334-335).

Ada hal menarik dari pengalaman penulis besar ini. Kalau selama ini banyak orang beralasan tidak mampu menulis karena tidak memiliki sarana komputer atau mesin ketik, maka logika pengalaman kepenulisan Oates ini akan menjadi kritik tajam yang menghunjam. Tokoh ini memberi contoh menjawab alibi klise yang seringkali menjadi lagu rutin ketika ajakan menulis ini kita tebarkan. Hal ini, tentu, mengingatkan pengalaman seorang Profesor dari Bandung yang sangat produktif berkarya, yang ternyata kemudian beliau juga menuliskan semua buku lewat tulisan tangan. Beliau adalah seorang pendidik yang dikenal dengan nama: Prof. Dr. Henry Guntut Tarigan. Tidak banyak yang tahu, kala beliau menulis skrip buku dalam tulis tangannya, tetapi dalam akunya dalam sebuah media beberapa tahun lalu, ”dia menuliskannya dengan menulis tangan.” Luar biasa! Inilah makna pertama yang dapat kita jinjing tinggi.

Matra makna belajar menulis lain yang dapat dicerna adalah bahwa awal kepenulisan karya Oates selalu diwali dengan menuliskannya tentang sesuatu. Filosofi belajarnya adalah latih refleksi kritis untuk menggali ekspresi batin dan pikir. Dengan begitu, barangkali akan mengeram, mengendap, dan memunculkan inkubasi ide --yang kemudian— menjalar menjadi pendar karya. Semacam pergulatan permenungan yang dipantik dengan kebiasaan sadar-tanggap. Dan, dalam tradisi pengalaman banyak penulis, memang inilah, embrio orok sebuah karya. Danarto, misalnya, selalu mengungkapkan pengalaman realitas ini dengan menuliskannya dalam buku harian. Untuk ini, jika kita termotivasi berkarya (menulis) tentu, membiasakan mengungkapkan sesuatu akan menjadi pintu penting lahirnya orok-orok karya kita yang memesona.

Dan makna belajar berkarya ketiga yang menarik diambil adalah bahwa kritik negatif atas karya penting untuk ”diabaikan”. Abai dan ”tidak peduli” dalam konteks ini adalah transformasi dari filosofi karya (tulis) hakikatnya merupakan kegagalan yang indah. Sebuah falsafah yang akan menggerakkan, memberikan daya ubah, dan karena kodratinya, dimensionalitas karya adalah wajar. Komentar dan kritik seringkali karena ”kacamata” yang digunakan sering berbeda, --dan memang—bukanlah sebuah ritus kudus penggunaan kacamata kuda.

Sebagaimana tasbih Oantes sendiri, yang selalu tak pernah puas terhadap karya. Dan karenanya, kritik atas karya, adalah biasa. Cuek yang menyimpan daya ubah dalam berkarya, sebangun makna qanaah dalam memaknai takdir yang kita terima dalam tabir relijius kemusliman kita. Pasrah dan qanaah sebagai belajar berselancar memetik i’tibar. Sebuah ruh perjalanan kepenulisan yang akan mengantarkan kita pada belalantara makna, bukan sekadar kosa kata yang terbaca.

Kegagalan karena itu, jika kita pahami makna kritik atas karya, maka tokoh-tokoh legendaris (tasbih sosok kehidupan) macam Leonardo da Vinci, Issac Newton, Thomas A. Edison, Einstein, dan Bill Gates adalah pelaku (ngelmu) yang –paling tidak— juga menerapkan pesan metaforik kegagalan yang indah ini. Sekaligus mereka adalah sosok kritik atas ”kemuakan dengan sekolah”, karena itu, drop out atau dikeluarkan (Eko Laksono, 2007:235). Sebuah realita yang mengejutkan, sekaligus menyakitkan. Di sinilah, tentu, pentingnya upaya mendorong sekolah untuk mampu menciptakan kultur yang ”tidak mengungkung” tetapi justru mampu menyediakan budaya ”krasan” sehingga lahirlah peran. Sebuah mimpi di tengah kolonialisasi pendidikan yang dipagut oleh kapitalisasi dan instanisasi.

Dunia menulis dan berkarya dengan sendirinya adalah sebuah pintu terbuka (wajib kritik) yang tentu berbeda dengan tradisi sekolah kita. Otoritas pembelajar adalah semacam pewaris mental Siti Jenar dalam memendar kenyakinannya dalam berlaku. Kritik dan ”hukuman” adalah pembabtisan yang wajar, tetapi etos dan nyali kenyakinannya adalah mutiara zaman –yang entah— kapan kilau itu bersinar.

Sebuah dimensionalitas hidup yang tidak dalam kacamata tunggal! Mari, belajar menulis dalam pigura makna pesan Oantes. Sebuah keikhlasan dalam penilaian negatif orang. Laku Syeikh Siti Jenar dalam tamasya keyakinan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar