Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI INTAN PARAMADITHA*

Sutejo

Anda kenal dengan Intan Paramaditha? Wah, rugi jika tidak mengenalnya. Seorang perempuan cantik, cerdas, otak encer, pandai menulis, dan latar belakang pendidikan yang menyakinkan: sastra Inggris UI kemudian mengabdi di almamaternya. Jika anda penasaran, carilah kumpulan cerpennya yang berjudul Sihir Perempuan (KataKita, 2005). Bagaimana background perjalanan proses kreatifnya? Yang jelas masih muda, dia lahir 15 November 1979 di Bandung.

Sementara, kita sering mendengar keraguan melangkah para penulis pemula karena takut ditolak media. Ngapain kalau bercinta, mengungkapkan cinta, ditolak, tidak takut? Banyak penulis sudah berpesan agar kita tidak usah gelisah dengan tulisan yang ditolak. “Wajar, kok!” kata Ucu Agustin. Beni Setia pun, penulis senior yang kini tinggal di Caruban juga punya pandangan yang sama. Bahkan, sepuluh tahun yang lalu ketika bermain di rumahnya, penulis sederhana ini menganalogkan profesi menulis dengan menjual jasa. Ditolak, biasa.

Hal ini pulalah yang menggerakkan Intan merengkuh persalinan karya. “Ditolak ya saya baca ulang, saya kirim ke media lain, atau saya edit lagi, atau saya simpan dalam laci. Saya buat lagi cerpen baru, ditolak, yang saya kirim lagi.” Begitulah ungkap Intan Paramadhita dalam MataBaca (edisi September hal. 15-16). Dengan begitu, hal pertama yang menyentak kita sebagai bekal kepenulisan awal adalah “Jangan takut ditolak!”. Padahal, pengalaman Intan ini sudah menulis sejak duduk di SD, yang sempat menulis cerita misteri setebal 40 halaman yang mirip-mirip cerita Agatha Cristie.

Dalam konteks pengalaman ditolak ini ada beberapa kemungkinan yang dapat kita pelajari (a) ketertolakan itu dimungkinkan karena style yang tidak cocok dengan selera visi media dan redakturnya, (b) karena melampui ruang/ kolom yang tersedia, (c) tema tidak lagi aktual (kadang media massa sangat mempertimbangkan aktualitas cerita), dan (d) penulis tidak konsisten atas gaya dan menulis aneka ragam karya. Untuk pemula hal ini akan mengganggu. Untuk itu, jika kita ingin sukses menembus media perlu memasuki dari satu pintu dulu, baru ketika sudah kokoh barangkali kita bisa merambah pada materi kepenulisan lainnya.

Pengalaman hidup lainnya yang menarik adalah: (a) sejak SD dikenal sebagai siswi yang paling mahir mengetik, (b) lahir dari keluarga yang memanjakan bacaan dari cerita Grimm, H.C. Andersen sampai pada cerita misterinya Agatha Cristie, (c) ibunya membelikan mesin ketik, (d) pengalaman pertama tulisannya dimuat di Bobo ketika di SD berjudul Tim yang Beruntung, (e) karya cerpennya merupakan penyamaran cerita perempuan dari beragam sisi, sebuah cara lain memandang feminisme, dan (f) ide cerita dapat diperoleh dari mana saja.

Belajar dari akuan ini maka kemampuan mengetik penulis juga berpengaruh atas kelancaran karya yang dihasilkannya. Memang ada beberapa penulis yang tidak mengetik tetapi dituliskan orang lain macam Ratna Indraswari Ibrahim. Atau ada juga –konon— dalam menuliskannya ditulis tangan. Dalam konteks kemajuan teknologi yang demikian tentunya hal ini akan mengurangi nilai kompetisi kita dengan penulis lainnya.
Kelahiran Indah dalam keluarga yang memanjakan buku tentunya tidak dapat diirikan. Dalam pandangan inner feng sui, hal ini merupakan keberuntungan dari langit. Tetapi, untuk kita yang tidak mengalaminya tak usah cemas. Kita dapat mengondisikannya sendiri.

Ibu indah yang membelikan mesin ketik juga merupakan keberuntungan lain. Kadang-kadang kita penulis pemula yang lahir dari “dunia yatim piatu” harus berjuang untuk memperolehnya. Tetapi sekarang semua dapat teratasi karena rental telah menjamur dalam masyarakat kita.

Dengan begitu, yang agak berbeda dengan pengarang lain adalah cara memandang karya sebagai “cara lain” menggauli feminisme. Meski tak sekeras Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami, misalnya, paradigma “gerakan” feminisme ini terasa juga. Dan ini, tentu, berbeda juga dengan Nukila Amal dan Dinar Rahayu yang dalam berkarya tidak memiliki pretensi kecuali mengalir. Tak mengherankan kalau kemudian, dia pun mengaku bahwa karya-karyanya merupakan penyamaran dari cerita-cerita tentang perempuan. Hal ini mengingatkan akan pengalaman penulis wanita lain yang juga tidak bisa melepaskan dari sudut pandang keperempuannya macam Nova Riyanti Yusuf.

Ketercukupan sarana dan kesempatan, barangkali itulah yang menguntungkan Intan. Bukankah kini ia sedang studi di University of California San Diego, AS? Bukankah sejak kecil ia dimanja keluarga dengan tersedianya buku, eh tak itu saja, tetapi juga difalitasi dengan mesin ketik ketika dia usia SD. Menulis, karena itu, memang membutuhkan keduanya. Dan jika kita menginginkannya, menanamkan dan memfalitasi ruang keluarga dengan hal-hal itu adalah suatu hal yang memesona.

Sebuah kritik yang perlu dicermati dari Intan Paramadhita tentang perjalanan kepenulisan Indonesia adalah adanya pandangan media dari sudut pandang patriarkhi, perempuan yang lahir sebagai penulis selalu perempuan dalam keadaan serba salah. “Bias gender membuat steriotype penulis perempuan yang dibesarkan oleh penulis laki-laki. Seperti ada ketakutan laki-laki, yang dengan kehadiran penulis perempuan...” Benarkah demikian? Sebuah otokritik yang barangkali tidak perlu dijawab, tetapi senantiasa diinternalisasikan sepanjang waktu. Siapa pun kita, tentu laki-laki dan perempuan, dengan hadirnya para penulis perempuan penting dianggap semacam lahirnya budaya tanding yang akan menggairahkan perjalanan kepenulisan di Indonesia. Siapa pun kita.

Hal terakhir dalam pengalaman Paramadhita adalah adanya akuan (dan ini banyak diungkapkan penulis lain), bahwa ide tulisan bisa berasal dari mana saja. Sebuah kelaziman memang. Dan karena itu, jika kita akan memasuki wilayah kepenulisan menarik untuk mengoleksi ide dalam segala peta dan jangkar hidup lahir-psikis kita. Karena memang, wilayah inilah, yang akan produktif menelorkan ide-ide sebuah tulisan. Pandora jiwa, hutan pengalaman, dan padang pengetahuan akan merupakan sumber investasi penggalian ide yang tidak akan berhenti. Setiap Anda, tentu, memiliki ketiganya. Karena itu, hem, tunggu apalagi. Jika ide belum masak, barangkali kita bisa belajar dari Asma Nadia dengan “memasaknya” lewat membaca dan observasi.

Bagaimana dengan Anda? Tirukan dan lakukan. Latihlah dan uletlah. Meskipun kita tak seberuntung Indah ini tetapi alat ukur dalam perjalanan kepenulisan adalah ketekunan di satu sisi dan kreativitas pada sisi yang lain.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

2 komentar:

  1. Mas Sutejo, saya termasuk penggemar tulisan Mas Sutejo. Buat saya, membacanya memuaskan kehausan saya akan biografi penulis yg ditulis secara ringan (macam blog ini).

    Tetapi, untuk tulisan kali ini, kenapa bisa sampai terjadi kesalahan penulisan nama penulis yg bersangkutan? Saya pikir salah ketik, tetapi ke bawah, nama tetap berubah (dari INTAN KE INDAH). Kasian kan pengarang yang bersangkutan?

    Saya jadi kecewa nih Mas.. hehe padahal penulisannya udah enak dibaca... :)

    Salam dan terus berkarya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak. Semoga bermanfaat. Amin. Salam

      Hapus