Kamis, 06 November 2008

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA

Sutejo*

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).

Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.

Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.

Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.

Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.

Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.

Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.

Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.

Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.

Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.

Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.

Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar