Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI KURNIA EFFENDI*

Sutejo

Dalam laporan gagas utama Mata Baca, edisi September 2005 (hal. 10-11), diungkapkan beberapa pengalaman yang kemudian menjadi tips menarik seorang cerpenis muda Indonesia yang sangat handal. Ia adalah Kurnia Effendi, yang lahir di Tegal Jawa Tengah 20 Oktober 1960. Berikut merupakan tips menarik itu: (a) membuat 10 file sekaligus untuk 10 calon cerpennya, (b) terinspirasi indera visual kemudian menyusur ke audio, (c) kala mood hilang melakukan kegiatan rutin atau mengerjakan sesuatu yang kita suka, (d) disiplin dalam menulis merupakan keharusan tetapi ingat jangan melakukan diri kita seperti robot, dan (e) jika naskah ditolak kita perlu arif menerimanya, anggap cerpen itu tidak cocok untuk media yang bersangkutan.

Bandingkan kemudian hal ini dengan apa yang di-tips-kan Hamsad Rangkuti. Ia menyarankan pada kita begini (a) mulailah meninggalkan beberapa kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan menulis, (b) banyaklah membaca karena semakin banyak yang bisa kita peroleh, (c) dialog dan narasi akan datang susul-menyusul, begitu latar, tokoh dan peristiwa ditemukan. Bedakan kan? Memang menulis itu bersifat personal sebenarnya. Unik.

Nah, sekarang marilah kita berguru pada Kurnia Effendi. Pengalaman menarik yang dapat diambil dari teknik 10 file 10 judul adalah bisa jadi memang ketika menulis sebuah cerpen, sedang alur kreatif terjadi muncul ide baru, dan ketika menulis lagi, muncul ide lagi. Kalau yang ini wajar dan banyak terjadi. Tetapi pengalaman Kurnia ini menarik, buka file 10 nulis judul cerpen 10. Gak masalah! Coba tirukan aja, manakala Anda bisa melakukannya seperti itu berarti memang hal itu cocok buat Anda.

Masalahnya memang ide itu bisa muncul saling berkaitan. Ide yang satu melahirkan ide lainnya. Sebuah keniscayaan yang menarik untuk dicoba. Mungkin Anda terinspirasi tentang Perempuan Bersepatu Laras. Sekaligus, mungkin Anda akan memetik ide tentang Perempuan Berbibir Besi. Muncul lagi, misalnya (a) Perempuan Bertangan Besi, (b) Perempuan Penakluk, (c) Perempuan Bercadar, (d) Perempuan Bersenjata, (e) Perempuan Teroris, (f) Perempuan Bercelurit, dan (g) Perempuan Bertato. Ini hanyalah kemungkinan judul yang akan menjadi file judul Anda ketika berimajinasi tentang sosok perempuan-perempuan penakluk dalam berbagai ragamnya. Bukankah perempuan adalah inspirasi yang tak pernah habis? Dalam segala dimensi mereka seperti generator penggerak segala gerak kehidupan.

Ingat teknik menulis ATM (amati, tirukan, dan modifikasikan)! Hal ini juga berlaku pada proses kreatif bukan pada sekadar karya. Dengan demikian kemungkinan itu memang sangat mungkin terjadi. Sekarang saja, misalnya, saya punya ide tentang wanita yang begitu menggerakkan. Kita coba yang lain, maka secara spontan pula saya bisa buka file 10 dengan judul cerpen 10. Inilah kisahnya (a) file 1: Perempuan Gemini, (b) file 2: Perempuan Bercadar, (c) file 3: Perempuan Penambang, (d) file 4: Perempuan Bersarung Besi, (e) file 5: Perempuan Bertahi Lalat di Dada, (f) file 6: Ikal, (g) file 7: Mata Perempuan Leo, (h) file 8: Perempuan Tusuk Sate, (i) file 9: Perempuan Helder, dan (j) file 10: Perempuanku Tanpa Kelamin. Mudahkah?

Persoalannya, judul-judul itu akan menari-nari dengan sub-ide pengembangan yang bervariasi pula. Mungkin benar awalnya seorang perempuan, tetapi dalam perjalanan ide yang beranak bisa jadi menyuguhkan ragam perempuan, dan itu akan menjadi anak-anak ide yang tentu harus difasilitasi oleh “rahim” yang sama. Bukankah kita lahir dari rahim yang sama bedanya adalah rumah sakitnya? Karena itu, jangan kuatir terhadap pengalaman empirik Kurnia Effendi yang mampu menulis ide dan judul sekali duduk 10 buah. Ini mengingatkan akan pentingnya (a) membuat daftar ide, (b) daftar judul, dan (c) daftar peristiwa.

Kepekaan masing-masing indera seorang penulis memang berbeda, dan kalau kita belajar dari kasus Kurnia Effendi ini yang mencontohkan kasus tsunami di Aceh. “Saya terinspirasi tsunami dari perasaan seorang anak yang ditinggal pergi ayah-putus-asanya.” Kemudian dia spontan teringat lagu Leo Kristi yang berjudul Laut Lepas Kita Pergi. Trans-inderawi ini biasa. Tergantung kecenderungan sensitivitas masing-masing dan itulah akan membukakan pintu ide, yang kemudian memancing pada ide lanjutannya. Bisa jadi, orang hanya mencium bau parfum, misalnya, sudah terinspirasi beraneka ragam imaji yang mendorong untuk penuangan sebuah karya. Entah puisi, entah cerpen. Semuanya tergantung pada ketersediaan “stok” imajinasi yang mengantarkan di pintu ruang cerpen atau karya lainnya.

Belajar dari Kurnia Efendi ini pintu masuk imajinasi adalah indera visual. Karena itu, bukalah lebar-lebar pandangan mata (bertaut mata hati) pada realita. Realita itu kemudian akan alirkan imaji-imaji indera lainnya. Sebuah kemolekan, misalnya, akan mengingatkan indera penciuman. Biasanya sensualitas berbalut dengan keharuman. Sekaligus mengingatkan imaji gerak karena liuk goda dalam langkah adalah daya tarik yang ditebarkan oleh si sensualis. Begitu seterusnya.

Ketiga, perlunya kita tak perlu memaksa ketika mood hilang. Pesan menarik Kurnia Effendi adalah perlunya kita mengisi dengan kegiatan lain, boleh rutin atau hobi kesukaan yang akan menyegarkan. Dalam pengalaman orang lain, disinggung juga, kemungkinan mood hilang karena terbatasnya material. Jika ini yang terjadi, dapat dipecahkan dengan membaca tema-tema yang sama. Tetapi jika ini pun tak mempan maka saran Kurnia ini menarik menjadi pilihannya. Sebab, mood sebagaimana diungkapkan Budi Darma adalah ruh keterbiusan maka ketika keterbiusan hilang mau tidak mau gerak persalinan pun jadi terhambat. Gak usah tegang, gak usah bimbang. Tinggalkan dengan melakukan aktivitas pemancing macam membaca dan berenung.

Keempat, untuk mewujudkan apa pun membutuhkan disiplin tinggi, demikian juga dengan kegiatan menulis. Saran Kurnia tentunya di tips yang ini adalah penting disiplin, baik waktu, masalah, maupun hal lainnya. Untuk apa? Sekali lagi untuk (a) melatih memanaj waktu, (b) bertanggung jawab, (c) membangun etos, dan (d) melatih kesadaran. Bidang apa pun, khusus di bidang bisnis, misalnya, disiplin merupakan penyangga dasar. Jika tidak korporasi bisnis bisa boboh. Jika kita analogkan menulis sebagai bisnis korporet maka kedisiplinan tinggi akan menjadi taruhannya.

Terakhir, tentang penolakan naskah. Betul, tak usah tersinggung karena hal itu merupakan hal wajar. Semua penulis pernah ditolah. Pahami saja bahwa hal itu tidak cocok dengan style yang mereka (redaktur budaya) pegang. Simpan, baca, edit, dan bila perlu lemparkan ke media yang lain. Hal ini sebagai strategi karena --kadang—berkaitan dengan aktualitas. Sebuah godaan fakta yang menjadi imajinasi. Budi Darma, misalnya, pernah menulis Pilot Bejo ketika realita sosial lagi hangat disoroti kasus jatuhnya Adam Air.

Sekarang, lakukanlah sebagian tips boleh, semua juga boleh. Ingat, hal itu bersifat individual, karena itu, jangan dipaksakan! Luwes mengalir seperti alir air adalah resep alami kepenulisan. Bukankah bawah sadar menggerakkan hidup kita sebesar 88 persennya? Demikian tentu dunia kepenulisan ini.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar