Kamis, 06 November 2008

DONGENG YUNANI: ETOS KEPENULISAN UCU AGUSTIN*

Sutejo

Banyak penulis muda yang menarik untuk ditelusuri pengalaman proses kreatifnya. Beberapa hal menarik itu biasanya berkaitan dengan bagaimana mendapatkan ide, mengolah, dan hal-hal lain yang mendukung penulisan karya mereka. Gagas utama MataBaca, edisi September 2005 (hal. 10-11), meliput salah satu pengalaman kreatif Ucu Agustin. Perempuan yang terlahir di Sukabumi 19 Agustus 1979 ini memilih garis hidup dengan menulis, sebagaimana halnya Hamsad Rangkuti, Kurnia Effendi, Isbedy Setiawan, Agus Noor, dan Eka Kurniawan.

Berikut pengalaman kreatifnya: (a) banyak terinspirasi oleh dongeng Yunani dan latar Pasundan, (b) menulis cerpen sebagai jalan keluar dari kegundahan, (c) menulis cerpen seperti menulis diare, (d) awal kepenulisannya berangkat dari puisi sejak dia berada di pesantren, (e) menulis cerpen membutuhkan waktu khusus dan perlu konsentrasi, dan (f) bila naskah ditolak gak kecewa karena hal itu merupakan kewajaran.

Oke, sekarang mari kita selancari pengalaman Ucu ini untuk mengail makna kreatif bagi kita. Pentingnya menggali dari mitos, begitulah kira-kira resep pertama Ucu jika diformulasikan dengan bahasa kita. Dongeng Yunani dan mitos Pasundan, tentu kalau kita di Jawa menarik untuk mencermati mitos-mitos Jawa yang begitu mengakar. Atau cerita-cerita rakyat yang menggeliat setiap saat. Jangan alergi, bahan dan inspirasi menulis memang sangat luas. Belajar dari pengalaman Ucu ini tentu menggauli mitos dan falsafah Jawa adalah embrio cerpen yang menarik untuk dieksplorasi.

Banyak memang penulis yang terinspirasi oleh dongeng dan mitos-mitos kultural dalam karyanya. Kuntowijoyo, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono adalah segelintir sastrawan yang tergerakkan oleh mitos Jawa. Ayu Utami terinspirasi oleh “mitos” alkitab. Remy Sylado tergerakkan oleh mitos tanah leluhurnya. Joni Ariadinata dengan Lampor-nya sebagai cerpen terbaik Kompas 1992 adalah gerak mitos. Danarto dengan Rintrik adalah sublimisasi dari mitos sufistik. Jika Anda ingin mengeksplorasi kultural ini akan menjadi warna kultural dalam karya Anda. Dalam konteks mutakhir, mitos dan keragaman kultur ini terus ditesuri kearifan lokalnya.

Seringkali dibincangkan, bahwa dalam aliran sastra ada aliran ekspresionisme. Aliran ini tentu paralel dan sebangun dengan pengalaman Ucu yang menjadikan cerpen sebagai jalan keluar dari kegundahan. Katarsis adalah teorinya. Karena itu, kalau Anda gundah gulana, menulislah. Sebuah diari awalnya, kemudian kembangkanlah menjadi cerita, inilah pengalaman Ucu. Mengapa kita tidak melakukannya? Kegundahan psikis dalam segala dimensi biasanya memang tak terwakilkan dalam untai kata biasa dan bagi Ucu cerpen adalah jembatan kegundahan itu.

Ketiga, karena menulis cerpen seperti menulis diary maka sebenarnya tidaklah sulit kalau kita sudah memiliki kebiasaan menulis diari. Karena di diary sudah ada tokoh, tempat, dan peristiwa di dalamnya; maka tugas kita tinggalah merangkai menjadi cerita yang menarik dibumbuhi dengan berbagai imajinasi yang nakal sekalipun gak papa. Karena dalam diari seringkali berupa puisi, nggak apalah. Tuliskan saja, ungkapkan saja. Pelan-pelan kemudian proses itu akan mengalir, dan sebagaimana Isbedy yang mengawalinya dengan menulis puisi, juga Tjahjono Widianto yang mengawali menulis puisi sekarang juga menulis cerpen.

Ada keuntungan mengawali kepenulisan dari puisi. Paling tidak kebiasaan hemat kata, hemat bahasa, akan menjadi kekuatan tersendiri bagi penulis cerpen berawal dari puisi. Kita kita mencermati pengalaman kreatif Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan Taufik Ikram Jamil; maka justru hal itu merupakan kekuatan bahasa yang berbeda. Problemnya, bisa jadi memang alur dan alir bahasa cerita tak sealir cerita yang sejak awal menekuni cerpen macam M. Shoim Anwar atau Seno Gumira Adjidarma. Tapi nggak papa, toh semua ada manfaat dan mudlorotnya.

Jika kita memang ingin maksimal dalam menulis (khususnya cerpen) sebagaimana pesan Ucu kita perlu menyediakan waktu khusus. Artinya, memang tidak bisa sambil lalu. Memang ada pengarang yang dapat menuliskan kapan saja dan di mana saja, tetapi yang demikian tidaklah banyak. Riyono Pratiktya dan Putu Wijaya adalah dua contoh penulis yang dapat melakukan menulis cerpen tanpa terkendala oleh situasi dan tamu. Tapi untuk kita, barangkali lain soalnya. Karena itu, jika kita ingin mengembangkan menulis ini secara maksimal penting untuk ikhlas menyediakan waktu, mungkin ruang khusus, dan fasilitas khusus. Hal ini semata agar situasi kepenulisan dapat mendorong dan membantu lahir dan alir tulisan lebih baik.

Satu pesan menarik untuk pemula, ketika tulisan ditolak nggak usah gelisah. Semua orang mengalaminya. “Wajar, kok!” kata Ucu Agustin. Dengan demikian memang profesi menulis seperti penjual jasa atau penjual jajan. Menawarkan barang tanpa pembeli, mungkin terjadi. Yang menjadi kunci tentu bagaimana keuletan kita dapat terawat sehingga ke depan dapat bermimpi sukses merengkuh dunia kepenulisan ini dengan senyum merekah. Masalahnya hanyalah waktu yang menjadi saksi, dan keuletan kita yang akan menjadi tali kesuksesan itu. Mudah-mudahan kita dapat memetik iktibar baik dari Ucu Agustin untuk bekal memasuki profesi bebas umur, bebas kategori ini dengan penuh dan sepenuh hati.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar