Kamis, 06 November 2008

MENYISIR KEPENULISAN PROFETIK ABDUL HADI

Sutejo*

Pada tengah Juni 2008, saya sempat ngobrol bersama Abdul Hadi sebelum menjadi pembicara dalam rangkaian diskusi hantaran pengukuhan guru besarnya. Abdul Hadi sendiri adalah pelopor sastra profetik –yang sampai sekarang—tetap konsisten dengan pilihan pengucapan dan corak kekaryaannya. Pada acara diskusi di Universitas Paramadina Jakarta itu saya menyebutnya nabi, karena secara filosofis kepenyairan di Yunani adalah “proses kenabian”. Penyair adalah nabi kehidupan karena menyuarakan ruh-ruh kenabian. Budi Darma menyebutnya dengan rhapsodist: orang yang bergagasan cemerlang dan berbahasa secara cermerlang pula.

Lelaki profetik itu pernah mengikuti International Writing Iowa tahun 1973-74 dan lulus Ph.D. dari Universiti Sains Malasyia dengan disertasi Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Syaikh Hamzah Fansuri (1995). Pada 1978 dia mendapat hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta; 1979 memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia; 1985 memperoleh Hadiah Sastra ASEAN (Sea Write Award) dari pemerintah Thailand; buku esainya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999) memperoleh Hadiah Buku Terbaik 2000 dari Yayasan Buku Utama; dan 2003 mendapat Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di Kuala Lumpur.

Beberapa poin berikut adalah hasil refleksi dan pembacaan atas pengalaman kreatifnya, baik itu langsung maupun tidak. Sebuah cermin yang dapat ditatap maknanya dalam menapaki dunia kepenulisan: (a) dia banyak memperoleh ide saat membaca al-Qur’an, (b) dia banyak mengamati realita sosial hingga muncul refleksi profetiknya, (c) aura liris-profetik karya-karya adalah pilihan pengucapan yang konsisten, (d) corak multikulturalisme sebagai ladang kreatif, (e) gerakan profetik dengan mengembalikan makna karya sastra sebagai gerakan kembali ke sumber, dan (f) pengalaman pembacaannya atas teks-teks sastra sufi tampaknya memengaruhinya untuk berkarya.

Menulis bagi Pada awal 1980-an, Abdul Hadi (ingat saya) adalah sastrawan yang memopulerkan sastra profetik. Sekaligus merupakan pilihan pengucapannya sebagai penyair. Sebuah upaya untuk kembali ke akar kehidupan, dan kembali ke sumber dalam bahasa Danarto. Bukankah “kesufian” adalah kodrat umat manusia dalam graduasi yang berbeda? Orang Jawa, menyebutnya agama agemining ati, karena itu, bersastra (yang profetik) tentunya merupakan salah satu “pakaian kehidupan” itu sendiri. Sastra profetik sendiri adalah semacam “genre” atau aliran sastra yang memandang bahwa karya sastra memiliki muara moralitas tersembunyi, yang alir profetiknya semacam oase transendental untuk mengobati kehausan dalam kehidupan. Dalam konteks sastra profetik ini, sebagian orang akan menyebutnya dengan sastra sufistik atau sastra transendental.

Dalam konteks mutakhir muncul gairah sastra Islami dengan puncak Ayat-Ayat Cinta sebagai puncak pentasbihannya, akan menjadi jembatan (transisi apresiasi) menuju pergulatan optimal atas keberadaan sastra profetik yang diusungnya. Sebab, sastra profetik seringkali menggunakan simbol-simbol estetik (bahasa metafora) –yang tentunya— tidak sama manakala kita berhadapan dengan teks Ayat-Ayat Cinta.

Sementara itu, di bangku-bangku sekolah kita temukan nyaris guru-guru sastra tak beranjak dari problem masa lampaunya: jengah di padang estetika sastra dan gundah di tengah sawah pembelajaran yang berubah. Problem guru sastra adalah problem “orang tua” yang tak jelas nasabnya, tak jelas pula pola asuhnya. Guru sastra adalah produk kognifikasi estetika sastra, karena pembelajaran sastra bukanlah pergulatan tetapi verbalisme informasi estetik. Belum lagi, dalam praksisnya, guru seringkali tidak berani beranjak dari dunia lamanya. Sastra terpandang sebagai si anak liar, anak belantara yang tak jelas buminya. Padahal, dalam sejarah negara berbudaya, sastra merupakan pintu masuk bagi warga yang berbudaya. Negara macam Inggris, Jerman, Jepang, Cina, Amerika, Perancis adalah contoh-contoh itu. Belum lagi Yunani sebagai bangsa sumber ilmu adalah muara estetika sastra pula.

Dalam konteks membumikan sastra profetik (paradigma kesenian Abdul Hadi ini), sebagai penulis pemula misalnya, kita penting untuk mengenali, menghayati dan –barangkali—menjadi corak ini sebagai pola diikuti dengan pengucapan yang matang. Makna di balik pilihan demikian adalah makna pesan tersembunyi yang digerakkan teks sastra. Dunia sastra dengan sendirinya adalah jembatan budaya di satu sisi dan di sisi lain merupakan jembatan layang untuk menanamkan berbagai kepentingan. Gagap sosiologis masyarakat kita, dengan demikian, merupakan bagian dari kegagalan pembelajaran sastra secara tidak langsung.

Sebab, realitas sosial dalam pandangan sosiologi sastra merupakan sebab musabab lahirnya sebuah karya sastra (puisi). Ignas Kleden, berpandangan bahwa hubungan kausalitas itu sedemikian kuatnya sehingga teks sastra tidak lain adalah refleksi (superstruktur) dari struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya. Georg Lukacs dalam Ignas Kleden, mengungkapkan bahwa fungsi refleksi-imaji karya sastra dapat berperanan sebagai pantulan kembali dari situasi masyarakatnya (Wiederspiegelung), baik menjadi semacam salinan atau kopi (Abbild) suatu struktur sosial, maupun menjadi tiruan atau mimesis (Nachahmung) masyarakat. Refleksi ini dengan sendirinya, bukan sekadar reproduksi suatu realitas sosial menurut berbagai kesan yang masuk dari luar ke dalam persepsi tetapi juga mengandung respons dan reaksi aktif terhadap impresi tersebut. Dan, Abdul Hadi dalam berbagai pergulatan sosial dalam menapaki perjalanan ruangnya macam Rotterdam, London, Hamburg, Zurich, Baghdad, Teheran, Istambul, Tokyo, Seoul, Kyoto, Taiwan, Dacca, Bangkok, Manila, New Delhi, Singapura, dan Kuala Lumpur; telah meletakkan bingkai multikultural itu dengan profetik sebagai sumbunya.

Dalam konteks historis sosiologi Melayu, maka keberadaan sastra profetik (sufistik) ini tidak sulit ditemukan. Hamzah Fansuri, misalnya, sebagai simbol sastra Melayu yang paling populer, ternyata memiliki hubungan dalam konteks abad 20-an. Bahkan, tentunya sampai sekarang hal itu dapat ditelusuri dalam berbagai karya, baik puisi maupun fiksi. Akar sosiologis tentang genre ini tentunya sudah mendarah daging. Bagi Abdul Hadi, kegetolannya dalam sastra Melayu memang semacam pilihan untuk (a) mengabadikan histori perjalanan sastra yang sebenarnya sudah tua, dan (b) membumikan cara dan teori sastra yang berbeda dengan kecenderungan sastra Indonesia yang beroreantasi Barat.

Abdul Hadi, seperti apa yang dipesankan Sutardji Calzaum Bahri, “Dul, jadilah dirimu sendiri. Bukan antek Barat.” Dan, memang Abdul Hadi telah merentas karakter teori dan teks sastra dengan pola sendiri. Termasuk pola penafsiran hermeneutik dengan metode ta’wil yang ditawarkannya. Hal itu dilakukan, barangkali karena konteks sosilogis yang mengalirinya adalah muara multikultural yang –sesungguhnya sudah realita yang menarik—untuk ditarik pada makna yang komprehensif. Sebab, baginya kehidupan itu tidak dapat dipilah-pilah sebagaimana realita sekarang.
***

Ketika pengalaman keislaman menguat yang ditandai dengan maraknya buku-buku Islami, pilihan corak sastra profetik (dalam realita multikultural) sangatlah menarik. Sewindu terakhir persoalan spiritualitas menguat seiring dengan rumitnya persoalan hidup yang semakin merebak, baik persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum, psikologi, pendidikan, dan agama. Bahkan, agama seringkali dinilai bukan sebagai sumber kedamaian tetapi muara persoalan. Berbagai bentuk kekerasan di Indonesia, misalnya, seringkali disebabkan oleh persoalan agama ini. Dalam konteks inilah, maka spiritualitas –sungguh—menjadi oase di padang gurun kekeringan jiwa. Spirit yang merujuk pada semangat kebaikan, menggerakkan, dan menemukan. Bukan membedakan. Puisi, misalnya, sebagaimana pilihan tema Abdul Hadi dapat menjadi contoh dalam gerakan sastra profetik itu.

Sejak 2000 bermunculan konsep-konsep spiritualitas bersifat interdisipliner: spiritual quation-nya Ian Marshal dan Ranah Johar, ESQ Ary Ginandjar, SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) Ahmad Faiz Zainuddin, dan masih banyak lagi. Ada buku lain, Spiritual Reading, yang mengisahkan bagaimana secara historis umat Islam sesungguhnya telah membumikan baca tulis sehingga dalam perjalanan peradaban abad 4 sampai awal belasan. Meskipun konsep spiritual beragam maknanya, tetapi yang hakiki spiritual mengarah pada makna spirit kebaikan yang universal. Banyak orang yang tidak beragama tetapi mereka memiliki spiritualitas yang tinggi. Untuk komunitas masyarakat macam Tengger, Baduy, Bisu, dan Samin adalah contoh konkrit yang memancarkan spiritualitas itu. Prinsip perikehidupan Samin (sebenarnya mereka menamakan dirinya Sedulur Sikep) tentang kebaikan, misalnya, mereka memformulasikan secara sederhana: kesamaan antara rembug karo kasunyatan.

Dalam konteks penguatan spiritualitas profetik ini, maka sungguh menarik mendiskusikan sastra profetik itu dalam banyak ragam. Yang pertama-tama, jika kita ingin menulis jenis karya yang profetik maka, penting untuk belajar pada sastrawan macam Danarto, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Kuntowijoyo, dan sebagainya di ruang-ruang kelas. Paling tidak, sastrawan ini, dinilai kuat dan kental nilai sufistiknya dalam kecenderungan karyanya.

Jika kita menjatuhkan pilihan pada pengucapan lirik bertema profetik maka hal berikut menarik untuk dipikirkan: (a) perlunya kita memiliki penguasaan atas simbol bahasa, (b) penguasaan simbol budaya, dan (c) penguasaan simbol estetika sastra. Masalahnya, bahasa, budaya, dan estetika yang bagaimana? Yang bersifat profetik. Artinya, filosofi dan gerak sifat kenabian yang alir di dalamnya.

Secara sosial, Abdul Hadi, sejak kecil memang sudah bergulat dengan teks-teks bersifat sufisme. Abdul Hadi sejak muda sudah bergulat dengan puisi. Subijantoro Atmosuwito, menuliskan Abdul Hadi sebagai born as a poet. Sejak kecil ia sudah bergulat dengan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lainnya. Dia juga banyak bergulat dengan pemikiran dan karya sastra sufi Timur Tengah dan Melayu menjadikan Abdul Hadi pelopor di garis sastra profetik ini. Dalam bahasa Subijantoro, Abdul Hadi adalah penyair yang sangat prolifik, menjurus pada penemuan pribadi, dan mungkin calon tokoh terkuat dalam sejarah sastra mendatang (ingat, ini dituliskan Subijantoro sekitar 1989).

Tidak heran, jika kemudian kepenulisan Abdul Hadi dipandang memiliki posisi penting. Paling tidak hal itu disebabkan oleh: (a) sebagai salah satu penyair putera Madura yang representatif, (b) dia dipandang mampu mempertahankan perpuisian liris di jejak pendahulunya macam Amir Hamzah, Chairil, dan Sitor Situmorang, dan (c) ada eksperimentasi yang dilakukannya untuk mengrinstalisasi pengertian falsafi (profetik atau sufistik, penulis). Dengan begitu, maka penelusuran falsafi dalam konteks sastra profetik menarik untuk mengaitkannya dalam lingkup religiustias latar dan pergulatannya.

Larik-larik puisi berikut menggambarkan bagaimana pembacaan nilai-nilai kesufian menjadi bingkai kepenyairannya.

Ruh meratap dan bersedih, sayang
menggetar dalam permainan api
maha dahsyat ini
Ruh tiada tidur, mengembara dengan sayapnya
kudus dan putih

Hutan-hutan hangus terbakar
Ruh terbang dan minum arak
Dikoyak-koyak keinginan
Ruh meratap dan bersedih, sayang
Dari puisi Ruh.

Dalam pengakuannya kompleksitas hidup di dunia ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Sehingga, fenomena hidup hakikatnya merupakan kaitan yang bersifat makro dan saling terkait. Dan, pucak penggeraknya adalah ruh profetik itu. Dalam memberikan pengantar terjemahan Matsnawi, Abdul Hadi mengungkapkan bahwa para sufi (termasuk penyair profetik), lebih dan sering tergerak oleh apa yang disebut mahabbah dan ‘isyq (cinta yang berlipat ganda sehingga menimbulkan energi kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai bukti cinta yang mendalam).

Seorang penyair sufistik, dengan demikian, berkarya merupakan perwujudan dari ‘isyq itu sendiri. Tidak heran, ruh ‘isyq ini alir dalam segala wajah, bentuk, dan wujud. Meminjam pemahaman ini, maka menafsirkan larik-larik: /Ruh meratap dan bersedih, sayang/ menggetar dalam permainan api/ maha dahsyat ini/ Ruh tiada tidur, mengembara dengan sayapnya/ kudus dan putih// Hutan-hutan hangus terbakar/ Ruh terbang dan minum arak/ Dikoyak-koyak keinginan/ Ruh meratap dan bersedih, sayang//

Ruh dalam konteks bait-bait itu, tentunya mengingatkan akan apa yang diungkapkan Abdul Hadi bahwa penyair –karena cintanya pada Tuhan-- (karena Alam misalnya juga ayat dan perwujudan Tuhan itu sendiri) sebagai representasi ruh (idealisme kesucian hati) yang pasti tergerak oleh kepincangan realitas. Frase “permainan api”, “maha dahsyat” dan larik “Hutan-hutan hangus terbakar” dan “Dikoyak-koyak keinginan” menggambarkan keserakahan manusia ketika tidak bersahabat dengan hutan. Frase permainan api tentu misalnya, mengingatkan tentang beragam kemungkinan: (a) hutan yang sengaja dibakar untuk kepentingan perusahaan tertentu, dan (b) kelalaian manusia dalam mengelola hutan karena kemarau sehingga terbakar.

Kesadaran kudus (ruh), kesadaran untuk menahan diri, misalnya, dalam larik-larik itu direpresentasikan dengan diksi “ruh” secara berulang. Beragam makna tentang ruh, tentu, menjadi estetika tersendiri dalam pemahaman atas sebuah puisi. Yang terpenting, misalnya, bagi seorang guru bagaimana menyampaikan pesan religius akan penting perwujudan cinta terhadap alam.

Sebagai perbandingan, Hamid Jabbar yang juga mengalami pergulatan sosiologis Islami tampak demikian menonjol pula nuansa sufisme di dalam karya-karyanya. Secara sosiologis dia diasuh oleh iklim sosial yang kental dengan aroma kultural, kaya dengan khazanah budaya, seni tradisi, dan lingkungan yang relijius. Puisi-puisi Hamid Jabbar dengan sendirinya merupakan refleksi dari kehidupan yang dialaminya. “…Lalu kenangan saya di surau,” begitu ungkap Hamid Jabbar, “di pengajian yang disampaikan ayah saya, mengingatkan kepada kisah Nabi Ibrahim, yaitu ke sesaat sebelum dilemparkannya Nabi Ibrahim ke dalam api unggun.... Ketika itu, saya ingat pula bahwa ada perintah Allah dalam Al-Qur’an, secara tersurat mengingatkan bahwa apa pun yang engkau perlukan, mintalah selalu kepada Allah.”

Dalam pandangan Horace, dulce (indah) dan utile (bermanfaat) , maka puisi-puisi Abdul Hadi, tidak saja sebuah keindahan puisi tetapi juga menawarkan manfaat relijius. Sebab, ragam tema puisi Hamid Jabbar mengimajikan dunia yang oleh Heidegger disebutnya dengan Yang Empat-Lipat (Geviert), yang satu diantaranya adalah “tuhan-tuhan”. Tuhan-tuhan ini hanya dimungkinkan muncul di dalam dimensi (hadirat) ketuhanan, dan hadirat ketuhanan dimungkinkan hanya di dalam dimensi yang Suci (the Holy), dan hanya dari kebenaran Ada-lah esensi dari yang-Suci dapat dipikirkan. Barangkali, sufistikisasi puisi Hamid Jabbar tak kalah dengan sastrawan macam Fariduddin Attar, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rummi, Rabiah Al-Adawiyah yang oleh Maman S. Mahayana dinilai berhasil mengemas pesan agama (relijius) ini ke dalam estetika sastra.
***

Dalam menulis sastra profetik, karena itu, barangkali penting dipahami penyairnya sendiri mengasah pengalaman profetiknya. Abdul Hadi dalam banyak karyanya, tampaklah bagaimana relijiusitas (sence of religi), dalam wujudnya, mencakup pengakuan kebesaran Tuhan (God’s glory), perasaan dosa (guilt feeling), dan perasaan takut kepada-Nya (fear to God). Rasa takut, pengakuan atas kebesaran Tuhan, dan rasa berdosa demikian, misalnya, dapat dijadikan pintu kepenulisan. Bagaimana dengan Anda? Jangan alergi, sebab religius itu sesungguhnya bukanlah label-label keislaman tetapi lebih dari itu hakikatnya sesuatu yang merupakan entitas dari ruh kesejatian hidup yang tunggal.

Dua puisi Abdul Hadi WM berikut, dapat dijadikan cermin bagaimana inspirasi pengalaman pribadi dan pergulatan atas kemakrifatan hidup menjadi pilar kepenulisannya. Puisi pertama, jelas-jelas terinspirasi oleh kalam Tuhan dalam surah Qaf:6 yang berbunyi: “Tuhan lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri”. Juga pada Al-Baqarah:115: “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Tuhan.” Dalam berbagai tema dan setting sastra, dua ayat ini tentunya mengingatkan bahwa tangan-tangan dan mata Tuhan demikian memenuhi. Sebuah ruh gerak religi agar senantiasa ingat, waspada, dan “menyatu” dalam kerlingnya. Puncak dari puisi pertama misalnya, dalam gelap Tuhan sekalipun, nyala (metaforik: makna, petunjuk, hikmah) dapat dipetik. Frase “lampu padammu” barangkali metafora dari hukuman, kebuntuan hidup, kesusahan, dan lain sebagainya.

Tuhan, Kita Begitu Dekat

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu

1976
(dalam Rachmad Djoko Pradopo, 1991:27)

Pengalaman multikultural Abdul Hadi memang menggerakkan dalam kepenyairannya. Hal itu, pernah dibincangkan bersama penulis pada sebuah kala di Universitas Paramadina. Baginya, pengalaman kultural adalah sebuah kekayaan yang luar biasa. Dan puisi Meditasi III sesungguhnya merupakan endapan atas pengalaman sosialnya ketika menemukan realita sosial keagamaan yang penuh klaim akan keabsahan Tuhan masing-masing. Hal ini tampak secara filosofis dalam puisi itu. Puncaknya, bahkan Abdul Hadi menyentil di dalam tubuh manusia (sebagai pengalaman sufistik) merupakan rumah semayam Tuhan.

Meditasi III

Akupun sudah letih naik turun candi, keluar masuk gereja
dan mesjid. Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya.
“Musa, Musa!” akulah Tuhan orang Israel!” teriaknya.
Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula:
“Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.”
Aku termenung. Apa kekurangan orang Jawa?
Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha
jadi seorang dukun Madura.
Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati.
Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri
di sebuah flat karena aku pun adalah rumah-Nya.
Dikutip dari Bani Sudardi, 2003:147.

Puncak puisi ini, sesungguhnya mengingatkan satu pertanyaan penting: “Mengapa umat sering memperebutkan Tuhan?” Sampai-sampai, suatu kali, penulis temukan semacam “protes kecil” penulis buku yang mengungkapkan oratoris begini: “Tuhan, sebenarnya agamamu apa?” Sebuah oase permenungan, ketika dalam puisi itu, Tuhan seakan diperebutkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Sementara, di ujung puisi itu, penyair mengingatkan “setiap tempat” adalah rumah-Nya. Sebuah puncak kesadaran trasenden yang menarik untuk ditanamkan, terutama di dalam konteks berbangsa yang multikulturalisme.

Dalam kasus puisi-puisi pengalaman sufistik lainnya macam Hamid Jabbar, misalnya, (yang terkumpul dalam Indonesiaku), beberapa puisi profetik tampak pada: Hidup dalam Maut (hal. 218), Pergi ke Hilang Waktu (hal. 219), Sehilang-hilangnya (hal. 220), Berkubur dalam Dengkur? (hal. 221), Ke Puncak Diam (hal. 226), 1 Jam Menjelang Kau Pulang (hal. 227), Mata, Mata Tunggal yang Selalu Memandang (hal. 227), Suluh Padam (hal. 227), Terbiar Belajar Mati (hal. 228), Kakiku Rumah Berjalan (hal. 228), Sampit (hal. 229), Kemerdekaan (hal. 229), Kota & Kampung Hidup-Matimu (hal. 230-231), dan Reguk Hampa Muntahkan Luka (hal. 232).

Puisi-puisi itu ditulisnya dalam keadaan belum usai, karena ditemukan di HP-nya pada saat dia mencapai “puncak profetiknya”. Ia menyatu dengan Tuhannya dalam tamasya baca-batinnya di Dies Natalis Universitas Islam Negeri, 29 Mei 2004 (empat tahun lalu). Diam (suwung), meminjam tradisi Hindu adalah saat relijius yang disebut dalam bahasa Sansekerta-nya sebagai sunyata, yang berarti “kekosongan” –yang dalam pemaknaan Goenawan Mohammad— ia sinonim dengan pengertian ”realitas yang lebih mulia”. Kondisi ini terpancarkan dalam puisinya berjudul Ke Puncak Diam berikut.

Ke Puncak Diam

setiap langkah adalah darah
derap gairah merambah punah

nadi-nadi di bumi tubuh ruh ini
jalan pendakian sunyi tak henti

nuju puncak segala mungkin
yang entahlah tetap mungkin


melagukan segala nyanyi
lagu rindu peneruka abadi

yang bersipongang ngngngngggg
dari lengang ke lengang ngngg

biar muaranya tetaplah punah
tapi alangkah indah alangkah

setiap langkah adalah darah
mengucap kejadian pasrah

yang bersipongang ngngngngggg
dari lengang ke lengang ngngg

ke dalam jeram hati terdalam
alirkan salam ke puncak diam

Bantimurung, 30 Agustus 2003

Sebagai bahan permenungan kita, dapat diilustrasikan sebagai berikut. “Bunda Teresa bersahabat dengan diam”, begitulah tulis Goenawan Mohammad. “Hening” (diam, penulis) memang sebuah pengakuan tentang Tuhan sebagai yang tak terungkapkan dalam bahasa –sebab Ia senantiasa misteri yang kekal--. Secara metaforik, karena itu, judul “Ke Puncak Diam” adalah kematian. Ini sekaligus mengimajikan perjalanan penyair ke puncak kepenyairannya. Larik-larik /setiap langkah adalah darah/ derap gairah merambah punah//. Diksi darah bisa bermakna hidup tetapi dalam konteks itu berarti kematian karena diikuti dengan ungkapan “merambah punah”. Apalagi, bait ke-2, diimajikan penyair dengan gambaran umum kodrat perjalanan hidup manusia sebagai “jalan pendakian sunyi tak henti”. Hidup hanyalah perjalanan menuju mati. Hal itu, semakin magis karena aliterasi /h/ dalam larik itu –secara teoritik—mengimajikan kepedihan dan kedukaan.

Bait ke-3, diimajikan sebagai perjalanan menuju puncak dalam setting waktu berkemungkinan. Bukankah kedatangan (ketibaan) di puncak diam rahasia Tuhan?: /nuju puncak segala mungkin/ yang entahlah tetap mungkin//. Ini dipertegas dengan bait ke-4: /melagukan segala nyanyi/ lagu rindu peneruka abadi//. Idiom “segala sunyi” dan lagu rindu peneruka abadi mengimajikan kematian yang baik adalah kerinduan setiap makhluk. Sedangkan, “segala sunyi” sendiri menyaran pada hakikat segala realita hidup yang tidakberarti. Sebuah kesadaran –yang tidak saja “kesunyian ontologis”, tetapi juga “kesunyian antropologis”-- pinjam istilah Arif B. Prasetyo.

Bait ke-5 menggambarkan kelengangan yang secara semantik sebangun dengan kecenderungan kata yang sering dipakai Hamid Jabbar, semisal sunyi, sepi, pasrah, diam, tidur, dan pergi. Lengang, karena itu, secara metaforis adalah sebuah jalan hening menuju kepasrahan. Tampak bagaimana intensifnya penyair menggambarkan asal kematian (diksi muara) tetap tidak berarti (diksi punah) yang diikuti dengan diksi “alangkah” dua kali, menggambarkan begitu indah langkah “menuju pasrah”. Kutipan bait ke-7 berikut menggambarkannya: /setiap langkah adalah darah/ mengucap kejadian pasrah// yang diikuti penggambaran setting suasana lengang pada bait ke-8. Puncak perjalanan kematian itu seperti tergambar dalam bait terakhir:

ke dalam jeram hati terdalam
alirkan salam ke puncak diam

Ungkapan “jeram hati” menggambarkan telah terjadi personifikasi yang intensif, bahwa hati bergerak deras menuju kedalaman batin yang mengantarkan keselamatan (salam) ke puncak diam (kematian). Sebab, jeram secara leksikal bermakna aliran air yang deras dan menurun. Hati diasosiasikan bak aliran deras menuju kedalaman sebelum merangkak kembali ke puncak diam. Idiomatik “puncak diam”, hakikatnya, metaforis dari segala perjalanan hidup manusia. Demikianlah, memang, dalam perjalanan thariqah, hening (dzikir) dengan diam merupakan puncak menyatunya hamba dengan sang Khaliq.

Begitulah, kepenulisan Abdul Hadi tergerakkan oleh kekuatan Makrokosmos yang subtil. Pergulatannya dalam merengkuh ide saat membaca al-Qur’an begitu tampak. Pergumulannya dengan realitas sosial menuntunnya pada bilik refleksi yang profetik. Pengucapan liris-profetik adalah cermin konsistennya kekaryaannya sepanjang sejarah. Dalam banyak kasus puisinya, corak multikulturalisme tampak sebagai ladang kreatif yang membingkai. Puncaknya, kepenulisannya dalam bingkai profetik telah mengembalikan makna berkarya sebagai gerakan kembali ke sumber. Sebuah pengalaman kesufian yang tampaknya memengaruhinya dalam gerak dan pandangan estetiknya.
***

Walhasil, apa yang dapat dipelajari dari kepenyairan Abdul Hadi WM bagi kepenulisan Anda? Pertama, bahwa berkarya hakikatnya adalah belajar membaca totalitas kehidupan yang estetik. Menulis, karena itu, ekspresi totalitas itu sehingga keutuhan diri menjadi mimpi. Hidup bukanlah potongan atau pisahan atas komponen struktur hidup tetapi gelayut kelindan dalam suprastruktur yang tersruktur. Pandangan makrokosmos dalam hukum keterkaitan begitu menggerakkannya dalam karya-karyanya. Kemanunggalan dengan alam misalnya, adalah realitas total yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia itu sendiri. Di sinilah maka substansi mahabah atau ‘isyq yang diistilahkan Abdul Hadi. Sebuah gelora cinta yang meluap hingga rambah dalam gerak dan karya.

Kedua, pergulatan sufisme kepenulisannya alir dari pengalaman hidup dan penyatuan diri dalam bingkai multikulturaisme. Kesejatian sufisme dalam berkarya bukanlah label dan simbol agama tertentu. Tetapi, alir ke ruh puncak yang bersifat transendental tetapi berwujud dalam beraragam realita yang mengemuka. Kepenulisan Abdul Hadi adalah potret wihdatul wujud dalam segala rupa. Kemanunggalan sifat yang menyaran pada hakikat kejadian adalah kodrat tuhan. Dalam bahasa Abu Bakar, dia pernah berpesan bahwa tak pernah Abu Bakar dalam melihat realita kecuali Tuhan ada di sana. Dalam karya penulisan yang kita ciptakan, karena itu, menarik menghadirkan ruh sufisme ini sebagai bentuk penghambaan abadi. Menghati.

Pengalaman kepenulisan Abdul Hadi ini tampaknya berkaitan erat dengan hal pertama. Ajaran kebaikan universal alir dalam segala sisi dan segi kebudayaan. Semacam postmodernisme barangkali. Riak Tuhani mau tidak mau menjadi gerak karya-karya Abdul Hadi. Pada dimensi ini, maka hal terpenting tentunya mengingatkan kita pada penyadaran Hyang Tunggal dalam segala realita. Puisi Meditasi merupakan contoh terpenting di samping Tuhan, Kita Begitu Dekat. Dalam ajaran sufisme dikenal bahwa Tuhan alir dalam urat nadi manusia. Di sisi lain Tuhan juga dimetaforikkan berada pikiran manusia itu sendiri.

Ketiga, estetika karya kepenulisan hakikatnya adalah kesadaran filosofis sebagai fundasinya. Dengan demikian apa pun karya kita akan menajamkan tentang jargon sastra untuk masyarakat, sastra dalam kepentingan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan secara makro. Bukan ajaran klaim-klaim tertutup atas kebenaran estetis tetapi inklusivisme teks yang memberikan ruang kemungkinan dan mengail makna secara tersembunyi.

Keempat, pemahaman atas sumber ilmu, Qur’an dan Hadis, merupakan kemutlakan dalam alur penciptakan teks sufistik-profetik. Bagaimana mungkin alirkan sufisme yang profetik tanpa memahami sumbernya? Sebuah oratoris komunikasi yang menyadarkan kita bahwa kekekalan makna adalah otoritas Hyang Maha Tunggal. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi hening, suwung, sepi, yang bersifat transendental-dialogis.

Kebiasaan membaca Qur’an, karena itu, banyak menginspirasi berbagai karyanya. Bagi Abdul Hadi, Qur’an merupakan sumber segala keilmuan, termasuk karya sastra. Di sinilah, maka menarik menjadikannya bilik renung dalam berkarya. Sebuah sumber yang tentunya tak kan pernah kering. Dalam konteks ini, Abdul Hadi pernah mengungkapkan pentingnya kembali ke akar dan kembali pula pada sumber. Bukankah Qur’an dan Hadis adalah sumber segala sumber? Akar segala akar kehidupan?

Kelima, dalam berkarya Abdul Hadi ternyata banyak diilhami pula dalam perjalanannya. Perjalanannya ke berbagai negara dan pergulatannya dengan berbagai lapisan senantiasa memantikkan inspirasi religius dalam berkarya. Sebuah tamasya kepenulisan yang bersifat ruhani. Sebuah alir perjalanan yang menarik ditiru dan pada titik penting menggerakkan untuk mengabadikannya. Ujungnya, di satu sisi senantiasa akan menjadi cermin merenungkan eksistensi kemanusiaan dan pada sisi lain akan memancarkan cahaya terang bagi penulis muda.

Bagaimana dengan Anda? Menepis sangka atas ketidak membuminya puisi-puisi Abdul Hadi sebagaimana kritik Sukron Kamil adalah kecerobohan pandangan karena tidak mengaitkan filosofi transendental dalam kemajemukan kultur yang ada.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
------------------------------------------------
Tulisan ini diolah dari makalah presentasi penulis dalam acara diksusi Tapak Budaya Paramadina Pengukuhan Guru Besar Abdul Hadi WM di Universitas Paramadina, Jakarta tanggal 9 Juni 2008.
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esay-Esay Sastra dan Budaya, Jakarta: Freedom Institute dan Grafiti (2004), hal. 9
Ibid.
Lihat, Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus (1999), hal. 4
Subijantoro Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas Sastra, Bandung: Sinar Baru (1989), hal. 42.
Ibid.
Ibid. hal. 42-43.
Abdul Hadi WM , “Pesan Profetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rummi” pengantar buku Matsnawi, Yogjakarta: Bentang (2006). Hal. vi.
Taufik Ismail, “Jalan Berliku-liku Tanah Airku, Penuh Rambu-rambu Indonesiaku” sebagai “Kata Pengantar” dalam Indonesiaku. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Menengah Depdiknas (2005), hal. x
Hamid Jabbar, “Proses Kreatif Saya” dalam Horison edisi Maret, XXXVIII/3/2004, Kakilangit, hal. 13.
Budi Darma, “Esai adalah Sebuah Jendela Terbuka” dalam Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Rosda (2005), hal.xi
Haidar Bagir, “Sekumpulan Tulisan dengan Banyak Sekali ‘Barangkali’”, pengantar dalam Catatan Pinggir 6, Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO (2006), hal.xxi (bagian catatan kaki).
Ibid.
Maman S. Mahayana, “Dakwah Agama dalam Sastra” dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Oreantasi Kritik Jakarta: Bening Publising, (2005), hal. 170
Y.B.Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Yogjakarta: Kanisius (1988). hal. 11
Lihat Goenawan Mohammad, “Diam” dalam Catatan Pinggir 5, Jakarta: Grafiti (2002), hal. 405
Goenawan Mohammad, Ibid.
Arief B. Prasetyo, “Semalam di Malaya: Tentang Anatomi Sunyi dalam Simfoni Perjalanan Suhaimi Haji Muhammad” dalam Dendy Sugono dan Budi Darma (Ed), Jendela Terbuka: Antologi Esri Mastera, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Rosdakarya Bandung (2005). Hal. 32. Esay ini memperbincangkan fenomena “sunyi” yang demikian dominan dipergunakan penyair Malasyia. Semacam “alam sunyi” yang menyaran pada kesenantiasaan hidup yang terbelah dalam konflik antara apa yang wujud di luar batin dan yang mewujud di dalam batin.

*)Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar