Kamis, 06 November 2008

Anand Krishna: Menulis Ibarat Melahirkan

Sutejo

Berawal dari penerbitan rekaman ceramah-ceramahnya tentang meditasi dalam bentuk buku pada tahun 1990, Anand Krishna lalu menjadi penulis buku yang sangat produktif. Hingga tahun ini telah 57 judul buku karya Anand dicetak, selain 7 judul buku audio dan 3 judul dalam bentuk VCD. Apabila dipukul rata selama 14 tahun, berarti setiap tahun ia dapat menulis sekitar empat judul buku! Meski demikian, ada tahun-tahun yang memperlihatkan ia memang sangat produktif seperti pada tahun 1999. Menurut Anand, tahun itu ia mampu menghasilkan 15 buku cetak dan audio.

Bagaimana hal itu dapat terjadi? Lelaki pengagum Soekarno itu menyebutkan bahwa hal ini dikarenakan oleh apa yang akan ditulisnya itu memang sudah lama menempel di kepalanya. Seluruh isi kepala yang menumpuk itu adalah buah dari ratusan buku yang telah dibaca sebelumnya dan tinggal dikeluarkan saja. "Kalau sedang menulis, rasa-rasanya seperti perempuan hendak melahirkan, tidak bisa ditahan-tahan lagi. Semuanya harus dikeluarkan segera," katanya.

Selain itu, produktivitas dalam menulis juga terjadi karena ia punya cukup banyak waktu. Saat ini, praktis kegiatan utamanya adalah mengajar meditasi, baik di rumahnya, di daerah Sunter maupun di Ciawi, dan menulis. Waktu cukup banyak itu dimilikinya karena sudah se¬lama 16 tahun ia membiasakan diri hanya tidur selama empat jam dalam sehari dan selalu selektif dalam memilih undangan untuk menjadi pembicara.

Apa yang dapat diambil dari Anand Krishna? Uh, luar biasa. Pertama, menyediakan banyak waktu dengan manajemen meminimalisir kegiatan. Seringkali, memang, kita tidak baik dalam mengelola kegiatan. Prinsip proporsionalitas dan mendahulukan yang lebih penting belum dimanaj dengan baik. Amanat penting dari pengalaman Anand, dengan sendirinya, adalah bagaimana kita memiliki manajemen kegiatan sehingga tetap positif untuk fasilitasi pengembangan kepenulisan.

Kedua, penggalian endapan pikiran hasil pembacaan yang sudah ada dalam pikiran. Di samping kebiasaan membaca yang luar biasa, bagi Anand, proses pengendapan membaca tentunya terproses di bawah sadar sehingga kental di dalam pikiran. Untuk ini, penting dipikirkan oleh kita calon penulis agar bagaimana membiasakan membaca dalam kegiatan sehari-hari. Jika mungkin, menjadikan membaca sebagai makanan pokok yang penting untuk diciptakan setiap hari.

Ketiga, menulis membutuhkan waktu tak pernah kompromi dalam pelahirannya. Sampai-sampai, Anand menyebutnya menulis itu seperti proses melahirkan. Artinya, masalah waktu tentunya tidak bisa ditawar-tawar. Untuk itu, yang penting dipikirkan adalah bagaimana kita mampu menyediakan ”sepenuh waktu” bagi calon anak berupa orok tulisan. Dengan begitu, maka, proses persalinan pun dapat lancar dan mendapat fasilitasi yang lumayan.

Keempat, profesi apapun tampaknya tidaklah tabu untuk membudayakan kepenulisan. Bahkan, sebagaimana saya singgung dalam tulisan yang lain, hal itu dapat mampu meningkatkan kesuksesan di bidang profesi yang kita geluti. Anand Khrisna adalah contoh penting sukses di bidang trainer di samping bidang kepenulisan. 57 buku lahir sejak tahun 1999 adalah bukti empirik yang luar biasa. Bahkan dalam satu tahun (1999) dia mampu melahirkan 15 buku!

Bagaimana dengan Anda? Sukses menulis tentu tak terlepas dari kemampuan membaca. Entah, suatu waktu hasil membaca itu akan seperti ”orok yang masak”, yang tinggal menunggu waktu persalinan. Ok, selamat mengandung untuk melahirkan ”anak-anak” yang cerdas di masa depan!***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI BERTRAND RUSSEL

Sutejo*

Dalam buku Menulis itu Indah (Jendela, 2002) memuat tulisan Bertrand Russel dengan judul Bagaimana Saya Menulis (hal. 8-20). Belajar menulis atau sukses menulis orang lain (terlebih ia sastrawan dunia) dapatlah dipelajari pribadi, kiat, dan tips-nya dalam menulis. Bagaimana rahasia Russel?

Akuan berikut sebagai payung renung untuk memasuki dunia menulis yang luas: (a) ia tidak tahu bagaimana menulis yang baik, (b) sampai usia 21 tahun ia mengikuti gaya John Stuart Mill, (c) pada usia 21 tahun itu pula ia berkeyakinan bahwa menulis adalah meniru teknik para “dewa menulis” (Flaubert dan Walter Fater), (d) menemukan kekeliruan dalam satu aspek ia menuliskan kembali secara keseluruhan, (e) dia menemukan cara menulis secara bertahap, (f) belajar dari kesalahan, (g) apa yang ia tulis adalah yang ia yakini sebagai wahyu, (h) memanfaatkan pengalaman ovantour (berpetualang), (i) peniruan terhadap karya orang lain merupakan sesuatu yang berbahaya, (j) semua gaya bagus manakala mencerminkan kedalaman ekspresi kedalaman penulisnya, dan (k) dia punya tiga saran menulis yang diambil dari Pearsall Smith (iparnya).

Lain ladang lain pula tanamannya, begitulah barangkali yang pertama-tama dapat dimaknai dari pengalaman Russel. Seorang penulis dunia, ternyata begitu mempraktekkan pesan orang lain. Pesan penting yang dia lakukan adalah tiga saran dari iparnya (a) jangan menggunakan kalimat yang panjang jika kalimat pendek bisa dipakai, (b) jika ingin membuat pernyataan berisi beragam kualifikasi, taruhlah kualifikasi itu ke dalam kalimat terpisah, dan (c) jangan biarkan anak kalimat membaca pembaca pada dugaan yang bertentangan dengan akhir kalimat kita. Wah, pesan ini seperti seorang guru bahasa Indonesia saja.

Tapi begitulah, memang, jika kita jujur bidang apa pun, kemampuan menuangkan pikiran merupakan kemutlakan. Hanya orang yang pongah dan menganggap tidak penting bahasalah yang bilang begitu. Dalam amatan saya, ada dua hal yang dapat diterapkan dalam semua bidang (a) keunggulan kemampuan berpikir, dan (b) kemampaun membaca dan menulis.

Tiga saran dari ipar Russel itu, sesungguhnya dapat disederhanakan begini. Buatlah kalimat dalam tulisan pendek-pendek saja, sebab kecenderungan kalimat panjang berpotensi salah lebih besar, karena itu berpengaruh pada makna. Tiga saran itu, karenanya, menyarankan agar kita berhati-hati dalam membuat kalimat panjang baik itu bersifat kualifikatif maupun kalimat turunan. Untuk itu, jika Anda memasuki praksis kepenulisan mutlak bersentuhan dengan “aturan” ini.

Kedua, tidak usah berpikir tentang karya yang baik, pokoknya berkaryalah. Sebagaimana akuan Russel dalam perjalanan panjang kepenulisannya pun tidak paham bagaimana karya yang baik. Biarkan penilaian menjadi hak prerogatif pembaca, dan biarkan Anda tidak terusik oleh komentar pembaca. Ingat pengalaman Langit Kresna Hariadi ketika menuliskan 5 novel Gajahmada begitu banyak kritik berkaitan dengan data sejarah. “Biarkan anjing menggonggong kafilah (menulis) tetap berlari”. Bukankah novel Gajahmada kemudian bestseller padahal sebelumnya nyaris tidak ada penerbit yang sanggup menerbitkannya.

Flaubert, Walter Fater, dan John Stuar Mill menyebut ketiganya guru, “dewa-dewa”. Belajar dari gaya orang lain. Meskipun akhirnya dia berpesan meniru gaya orang lain hakikatnya berbahaya. Akuan ini menerbitkan pembelajaran begini: (i) meniru gaya orang lain menghilangkan kreativitas unik seorang penulis, dan (ii) jika tidak hati-hati kita akan terjebak pada pola orang lain padahal kepenulisan adalah keunikan-keunikan individu yang menarik untuk difasilitasi. Bolehlah, Anda meniru gaya orang lain, hal ini semata-mata untuk membuat alir kata kalimat lancar dan cepat, tetapi pada titik tertentu “tugu kepenulisan” Anda penting untuk didirikan.

Dalam proses menulis, setelah meniru gaya orang lain kita akan menemukan cara menulis “yang cocok” secara bertahap sekaligus menemukan kesalahan. Belajar dari kesalahan adalah kearifan berilmu. Meskipun ilmu menulis banyak tetapi tak jarang orang justru terjebak teori dan sama sekali tidak melangkah. Dosen menulis banyak tetapi karya tulis seringkali jiplak. Kesalahan dalam menulis adalah wajar, dan sebagaimana Russel, hal itu ditemukan setelah sekian lama menulis. Aib? Tentu bukan justru sebaliknya akan melahirkan kearifan dalam kepenulisan. Di sinilah, Russel sampai pada akuannya, “Aku menemukan tahap menulis itu secara bertahap.” Sebuah mutiara kejujuran yang menggerakkan siapa pun kita yang akan masuk lorong dan gua kepenulisan.

Selanjutnya, bahwa menulis itu diyakini sebagai wahyu. Ungkapan berlebihan? Tidak. Larik itu sesungguhnya bermakna begini, bahwa proses kepenulisan itu berlangsung pada saat tertentu, mooding, trans. Artinya, tidak sembarang waktu kita dapat melakukannya. Tetapi, semuanya tergantung situasi bawah sadar yang menggerakkan itu. Untuk inilah, maka jika kita ingin mengembangkan kepenulisan kondisi mood ini layak untuk dirindu dan disyukuri. Sebab, tidak semua orang mengalami dan menemukan sembarang waktu. Kegelisahan mendalam dan keinginan untuk mengungkapkan adalah pintu mooding itu.

Akhirnya, apa yang terpenting dalam menulis? Apa pun gaya yang kita pilih, yang terpenting adalah bagaimana tulisan itu dapat mencerminkan ekspresi terdalam kejiwaan dan kepribadian kita sebagai penulis. Petualangan Russel ketika menulis The Free man’s Worship adalah buah petualangan yang lama di Cumbridge hingga di Roma Italia. Saat advontur itulah dia merasakan kondisi trance, sesak, sebuah kenikmatan dunia imajinasi berbingkai realitas.

Dengan demikian, berguru pada pengalaman Bertrand Russel, tentu kita memasuki padang kejujuran tanpa batas, ruang-ruang kearifan tanpa sekat. Bukankah belajar (apa pun itu) hakikatnya proses. Dan di balik pengalaman proses kreatif Russel kita menemuakan proses, kesalahan, dan kearifan lain menarik dan memantik. Berpikir terbuka, kacamata insklusif, adalah modal lain dalam belajar dari sukses orang lain. Setuju?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI SAFIR SENDUK

Sutejo

“Nggak perlu bakat untuk bisa menulis!” begitulah judul kolom Proses Kreatif Mata Baca (April 2006:38-39). Saya percaya, lanjutnya, bahwa bakat itu memang ada. Tapi, saya lebih percaya bahwa keberhasilan seseorang dimulai karena dia mau mencoba dan berusaha menggali bakatnya, seberapa pun besarnya bakat tersebut. Bahkan kalau seseorang tidak punya bakat sekalipun, asal dia mau bekerja keras, maka pada beberapa profesi, seringkali dia akan tetap bisa berhasil walaupun dia tidak punya bakat.

Mengapa Safir Senduk bisa menulis artikel dan berita jurnalistik? Beginilah jawabnya, (a) karena sejak kecil dia terbiasa melihat ibunya menulis sehingga alam bawah sadarnya ikut membuatnya mau menulis, dan (b) dia juga menghadiri seminar dan pelatihan tentang cara menulis ang baik, dan (c) dia melatih, melatih, dan melatihnya dengan melakukan berulang-ulang hingga betul bisa dan terbiasa.

Sampai sekarang, Safir sudah menulis enam buku (a) Merancang Program Pensiun, (b) Mengantisipasi Risiko, (c) Mengelola Keuangan Keluarga, (d) Mengatur Pengeluaran Secara Bijak, dan (e) Mencari Uang Tambahan; semuanya diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo.
Menurut Safir, hanya ada lima langkah penting dalam menulis, yakni (a) memilih tema, (b) membuat kerangka, (c) membuat kerangka detail, (d) menulis, dan (e) baca lagi, dan baca lagi Mata Baca (April 2006:39).

Bagaimana dengan Anda? Marilah kita belajar dari Safir. Pertama, motivasi dan kerja berlatih yang luar biasa. Kenyakinannya akan tidak tergantungnya pada bakat adalah sebuah kejujuran yang menarik untuk kita tiru. Kebanyakan kita, selalu beralibi ketika diminta untuk menulis dengan alasan tidak bakat. Di mata, Safir, faktor terbesarnya adalah berlatih, berlatih, dan berlatih. Karena itu, marilah kita berlatih menulis. Karena menulis adalah keterampilan maka tidak ada cara lain kecuali mengembangkan keterampilan itu sendiri.

Kedua, adanya peran bawah sadar. Adi W Gunawan, dalam sebuah pelatihan pernah mengatakan, bahwa kehidupan kita 88% dikendalikan oleh bawah sadar. Pengalaman Safir, yang setiap saat melihat ibunya menulis, secara tidak langsung masuk ke pengalaman bawah sadar, dan karena itu, pada suatu waktu menjadi kekuatan yang ”luar biasa”. Di sinilah, barangkali penting kita menciptakan kondisi yang inspiratif: (a) bergaul dengan penulis, (b) berguru pada para penulis, dan (c) memfasilitasi rumah kita dengan sarana buku-buku sehingga menjadi kekuatan bawah sadar yang menggetarkan.

Ketiga, tentang langkah menulis yang sangat praktis. Apa yang diungkapkannya, secara umum, nyaris sudah diajarkan di bangku sekolah (dan kuliah). Permasalahannya, mengapa sampai sarjana kita tidak banyak temukan penulis? Langkah praktis Safir, karena itu, menarik untuk kita latihkan dalam praktik setiap hari.

Marilah kita awali dengan senantiasa merenungkan tema kehidupan apakah yang menarik untuk kita tulis. Setelah itu, alangkah baiknya jika dibuku hariannya misalnya, kita sempatkan untuk menuliskan kerangka tulisan dan detailnya dengan seksama. Baru jika kesempatan memungkinkan, pengembangan penulisan kita lakukan. Baca, baca, dan baca lagi sebagai proses editing pribadi. Sederhana kan?

Nah, tunggu apalagi. Sebuah jembatan emas dalam dunia bawah sadar itu akan menuntun kita pada hari esok yang menjanjikan. Menulis, bukankah dapat dijadikan gantungan hidup di hari depan?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI OKA RUSMINI*

Sutejo

Perempuan kasta Brahmana ini ikhlas melepaskan “kebrahmanaan” dengan menikah seorang lelaki bernama Arief B Prasetya, seorang sastrawan muda yang kokoh karena komunitas andal di Utan Kayu bersama Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Sitok Srengenge, dan lain sebagainya. Karya-karya Oka lebih banyak berbicara masalah sosiologis adat Bali yang dikritisinya. Sebuah upaya protes untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam menggugat cultur dan adat masyarakat Bali dengan berbagai hal yang kurang menguntungkan wanita. Di Jurnal Perempuan, bahkan Oka Rumini pernah dikukuhkan sebagai sosok perempuan yang teguh dan (terus) melakukan perlawanan!

Apa yang dapat dipelajari dalam pengalaman sastrawan Ida Ayu Oka ini? Berikut merupakan refleksi menarik yang penting dipertimbangkan untuk mendiskusikan keberlasungan kepenulisan kita di masa depan: (a) realitas sosial (utamanya perempuan Bali) menggerakkan inspirasi para tokohnya, (b) pengalaman kewartawanan mendorong lahirnya ide itu karena bertemu dengan berbagai lapisan sosial, (c) pengalaman keperempuannya yang menjadi muara (penentu) karyanya, dan (d) tidak terikat pada penulis tertentu dalam berkarya.

Meskipun Oka membaca banyak karya sastrawan macam Nh. Dini, Leila S. Chudori, Umar Kayam, Ahmad Tohari, dan Budi Darma; misalnya, dia menemukan sisi rumpang yang tidak dieksplorasikan. Untuk inilah, hal ini barangkali yang dapat dikaitkan dengan penulis-penulis lainnya. Sebuah belajar melalui karya orang lain untuk menemukan “makna lain” sehingga inspiratif untuk penulisan berikutnya. Eksplorasi kerumpangan itu, dia mencontohkannya begini: Ketika membaca Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, muncullah pertanyaan dasar yang menggerakkanya, “Apakah mungkin wanita Bali mengungkapkannya seperti Pariyem?”

Berangkat dari realitas (tema) keperempuannya, yang seksis misalnya, memang sangat diuntungkan oleh era industrialisasi yang praktis menggempur kemutakhiran yang didukung keberpihakan gender ini. Tidak heran, hal demikian menjadi inspirasi penting, karena bagaimana bagaimanapun wanita dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi isu sentral kehidupan mutakhir dengan berbagai sisiknya. Tidak mengherankan jika hal ini menggerakkan para penulis perempuan lain macam Nukila Amal, Dwi Lestari, Djanar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan lain sebagainya. Artinya, ketika hal ini (aspektualitas seks) menguat, maka konsep industrialiasinya tidak dapat terlepaskan.

Karya sastra memang sejatinya dapat menjadi cermin realitas sosial. Tak heran jika Oka Rusmini begitu getol mengungkapkan sisi sisip lain konteks sosial masyarakat dalam keragaman dimensinya. Sebuah upaya mengungkapkan kritik di satu sisi dan pada sisi lain upaya spiritual berbasis multikultural untuk alirkan nilai-nilai universal yang mestinya dijunjung. Di sinilah, maka pandangan sosiologi senantiasa mengritisi pada latar sosiologis pengarang sebagai alat bantu dalam menafsirkan aspek sosial kemasyarakatan dalam karya.

Hal kedua yang menarik, sebagaimana yang dialami oleh Ayu Utami, Seno Gumira Adji Darma, dan Taufik Ikram Jamil yang membantu suksesnya seorang dalam berkarya adalah pengalaman kewartawanannya sebelum menjadi sastrawan (pengarang). Tidak saja itu, tetapi juga pengalaman liputan lapangan memberikan inspirasi banyak sebagai seorang pengarang. Dengan begitu, bagaimanapun memang dalam berkarya pengalaman lapang seseorang akan mendorong eksplorasi dan intensifikasi penulisannya.

Kejurnalistikan memang banyak andil atas produktivitas dan kualitas seorang sastrawan. Dalam perjalanan sastra Indonesia kita kenal Mochtar Lubis sebagai jurnalis ulung sekaligus sastrawan agung. Latar kewartawanan ini mengingatkan akan pentingnya penelusuran informasi sebagai detail bahan di dalam pikiran. Apalagi, dalam rumus kejurnalistikan ada beberapa hal yang bersifat of the record. Di sinilah hal penting yang seringkali menggerakkan karena memang hal itu tidak mungkin diberitakan formal tetapi menjadi refleksi menarik dalam kekaryaan. Di samping memang kewartawanan memberikan pengalaman lintas batas, lintas sosial, lintas kultural, lintas etnis, dan lintas waktu. Sebuah kekayaan batin yang jika dieramkan akan menjadi investasi besar dalam dunia kepenulisan.

Ketiga, realita kewanitaannya menggerakkan kepenulisannya menyaran pada ralita sosial dan religius yang seringkali sangat patriarkhis. Subordinatif! Tidak jarang juga bahkan hegemoni. Lewat jendela karya dimungkinan impresi dan refleksi batin dapat diekspresikan secara estetis. Wilayah etik yang hegemonik menjadi sangkur perjuangan untuk melemparkan pesan terselubung. Ini merupakan keniscayaan karena teks sastra di satu sisi hakikatnya merupakan ekspresi batin sastawannya dan refleksi sosial pengarang pada sisi lainnya.

Terakhir, bagaimana pengalaman Oka Rusmini yang tidak mau terikat pada pengarang tertentu. Artinya, semuanya mungkin memberikan inspirasi dan memberikan ruang-ruang rumpang (lowong) yang tidak tergarap oleh pengarang lainnya. Dengan begitu, kemampuan analitis seorang Oka Rusmini sesungguhnya berperan penting. Menyeliai sesuatu yang rumpang, tentu dibutuhkan kemampuan analitis dan apresiasi yang tinggi pula.

Jika kita mau belajar menulis dari Oka Rusmini ini, maka keterikatan pada seseorang pengarang (epigon) tidaklah disarankan, sebaliknya seluas mungkin kita membaca karya orang lain untuk menemukan kerumpangan lahan garapan. Kedua, bagaimana aspektualitas budaya yang melekat pada kehidupan kita merupakan lahan subur kepengarangan. Dan selanjutnya, sisi peran dan siapa kita akan menentukan pandangan kita dalam menulis dan berkarya. Karena kita bukan wartawan, maka kita dapat meningkatkan pergulatan kebahasaan kita dan petualangan kita dengan berbagai hal yang bermakna. Mudah-mudahan kita dapat memetik makna dari pengalaman Oka Rusmini sebagai sang Ida Ayu yang terus menggugat ketidakadilan adat dan sosial masyarakat melalui berbagai karya dan tulisannya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR DARI IMAJI KEPENULISAN TAUFIK ISMAIL

Sutejo*

Membaca Taufik Ismail dalam konteks pengalaman kreafi adalah sesuatu yang kompleks dan menarik. Di samping sebagai penyair protes awalnya, Taufik berujung pada puisi-puisi imajis. Pengalaman kepenulisan Taufik pada awalnya digerakkan oleh (a) kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan kemahasiswaan dan (b) bagaimana keprihatinannya alir ketika melihat kepincangan sosial di awal persalinan Orde Baru yang pucuknya adalah politik kesenian Manikebu.

Jika ditelusur hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan kepenulisannya bergerak pada (a) kisaran imaji konseptual atas kepedihan realita bangsa yang mengerikan, (b) keprihatan realita baca tulis yang naif di dunia pendidikan, dan (c) giat-gerak dalam berbagai kegiatan produktif melalui gerakan baca dan cipta sastra baik di kalangan guru maupun siswa. Pola-pola pelatihan yang dilakukannya mengingatkan akan pentingnya pelatihan kepenulisan di satu sisi dan penggalakan tradisi baca di sisi yang lain. Lebih dari itu, kemudian bagaimana pentingnya tumbuhnya kesadaran generasi, etos, dan pentingnya empati kemanusiaan. Semua itu membingkai dalam gerak dan motivasi pendampingan kepenulisan yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang melibatkan para sastrawan, Departemen Pendidikan Nasional, dan sponsor dari luar negeri.

Dalam eksiklopedia politik Indonesia kita kenal Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sebagai Guru Bangsa tetapi kemudian redup perlahan termakan waktu. Di halaman lain, eksiklopedia politik itu juga tertuliskan Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai guru bangsa sampai beliau wafat. Besaran peran kedua tokoh itu dalam kehidupan berbangsa telah mengukuhkannya sebagai guru bangsa. Dalam eksiklopedia sastra Indonesia barangkali tidak berlebihan jika Taufik Ismail (selanjutnya disebut Taufik) dikukuhkan sebagai Guru Bangsa bidang pendidikan sastra. Hal ini, bukan saja karena karya-karyanya yang boleh dibilang monumental tetapi juga sepak terjang Taufik dalam pendidikan sastra yang memesona. Tanpa Taufik barangkali gerakan pembumian sastra di sekolah tidak akan sedramatis sekarang.

Sosok Taufik lebih dari itu dalam perjalananan sastra Indonesia adalah fenomena unik yang menarik untuk dijadikan cermin. Paling tidak jika diidentifikasi akan jadi (i) cermin unik profesi kesastrawanan yang “lintas bidang”; (ii) cermin sejarah karena dalam karya-karyanya kaya dengan aspek sosial kemasyarakatan yang menghistoris; (iii) cermin gerakan pemberantas buta sastra dan rabun novel anak bangsa; (iv) cermin pengucapan yang bersifat “imaji konseptual” dalam sikapi realita pahit bangsa, (v) cermin pengucapan puisi yang “komunikatif” tetapi filosofis, (vi) cermin bagaimana arifnya seorang sastrawan “berbuat” bukan meratap-ratap, dan (vii) cermin bagaimana konsistensi seorang “nabi yang tanpa wahyu” sehingga layak dianugerahi doktor honoris causa pada bidangnya.

Dalam halaman-halaman cermin ini tampak eksistensialisme seorang Taufik dalam penemuan dirinya –yang sebagaimana faham filsafat eksistensialisme—kemudian tidak berhenti pada eksistensi diri tetapi rambah dalam humanisme yang jauh lebih luas. Sebab, tanggung jawab atas eksistensi diri hakikatnya juga merupakan pertanggungjawaban atas realitas dan humanitas yang melingkupinya. Ekspresi puisi-puisinya adalah cermin eksistensi itu di satu sisi dan pada sisi lain gerak-lakunya dalam pendidikan sastra adalah perwujudan eksistensinya juga.

Sementara itu, salah seorang filosuf eksistensialisme adalah Kierkegaard (di samping: Nietzshe, Berdyaev, Jasper, dan Sartre). Eksistensialisme sendiri lahir merupakan kritik atas materialisme dan idealisme. Kebendaan dan idealisme logis ternyata tak mampu mengantarkan pamahaman hakikat kehidupan, yang baginya terasa pahit. Kepahitan itu dalam konteks kehidupan sosial kebangsaan Kierkegaard mencakupi wilayah keluarga, cinta, dan pengalaman sosialnya. Pengalaman itu menggiringnya memahami hakikat eksistensi kehidupan yang harus bersandar pada Tuhan. Selanjutnya, bidang rambah (kegemaran) eksistensialisme itu adalah eksistensi, ketakutan, hidup, mati, harapan, putus asa dan soal-soal lainnya; yang semua itu nyaris merupakan potret kehidupan yang dialami Bapak eksistensialisme itu. Taufik seakan memerankan kesadaran itu: (i) memprotes faham kebendaan Orde Baru lewat Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI); (ii) merontontokkan idealisme logis Orde Lama lewat Tirani dan Benteng; dan (iii) menyuguhkan “imaji konseptual” sebagai perwujudan eksistensialismenya sebagai anak bangsa dengan gerakan pembumian sastra.

Kesadaran eksistensinya sebagai manusia tampaknya memang telah dia rengkuh sejak kanak-kanak. Baginya, perwujudan eksistensi itu tidak ada lain kecuali menjadi sastrawan. Di sinilah barangkali yang menggerakkan Taufik kecil bercita-cita jadi sastrawan. Saat itulah, dia begitu banyak berguru pada sosok dokter lain yang sastrawan: Asrul Sani, Marah Rusli, dan A. Muis. Ketiganya, dalam akuan Taufik adalah seniornya. Taufik sangat terinspirasi bagaimana “sebaiknya” menjadi sastrawan. Perlu kekokohan profesi di satu sisi dan perlunya kekayaan pengalaman kehidupan pada sisi lainnya. Sebab, memang dalam perjalanan kebudayaan yang sudah tua macam Yunani, misalnya, sastrawan adalah sebuah kehormatan profesi yang bahkan disejajarkan dengan “nabi”. Budi Darma menyebutnya dengan rhapsodist, orang yang bergagasan cermerlang dan berbahasa secara cermerlang pula.

Gerakan pembumian sastra –sebagai contoh ke-rhapsodist-an Taufik--, secara filosofis eksistensialis mengingatkan akan gerak lampau bangsa-bangsa berkebudayaan maju macam Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, Jepang dan Cina. Mereka merangkak dan bergerak maju karena kecintaannya kepada karya sastra kemudian alir dalam bidang keilmuan lainnya. Sebuah eksistensi berbangsa yang memesona. Hal ini lahir lewat sentuhan sosial Taufik dengan dunia Internasional. Misalnya adalah pengalaman Taufik ketika bertemu dengan Lee Kuan Yew (1979) yang mengumpulkan bawahannya untuk pentingnya berbahasa yang secara sederhana dan baik. Atau, pengalamannya Anwar Ibrahim yang selalu membelikan oleh-oleh buku kepada koleganya.

Sementara itu, Taufik ketika melihat pendidikan sastra kita selama 30 tahun sampailah dia pada kesimpulan bahwa telah terjadi semacam keterpencilan sastra kita di masyarakat, posisi sastra Indonesia yang cuma di trotoar peradaban bangsa, dan masalah petikan puisi dan novel kita yang tidak berada di dalam hati dan tidak terucapkan dalam pidato para pemuka negara, serta minimnya jumlah doktor sastra. Artinya, pembelajaran sastra sebagai jendela awal pembumian tradisi membaca pun belum tercipta maka pembumian membaca dan menulis sebagai pintu peradapan pun jelas jauh dari perubahan.

Taufik seakan mau berbuat dan berbicara bahwa eksistensi manusia yang pertama-tama adalah membaca dan menulis. Hal itu dilakukan tidak saja dalam gerakan pendidikan sastra yang dilakukan secara nasional melalui Depdiknas-Horison-Ford Foundation tetapi juga melalui puisi-puisinya yang inspiratif. Puisi Kupu-Kupu di Dalam Buku (KKdDB), misalnya, merupakan imaji eksistensi akan pentingnya tradisi membaca bagi anak bangsa. Sebagai ilustrasi, barangkali menarik untuk dikutipkan puisi tersebut.

KUPU-KUPU DI DALAM BUKU

Ketika duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu
praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di
sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri
mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan
yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya
terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di
negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang
terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka
berdiri beraturan di depan pembayaran, dan aku
bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya
Tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa
Menjawab keingintahuan puterinya, kemudian katanya,
"tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang
kupu-kupu," dan aku bertanya di negeri mana
gerangan aku sekarang,

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bisa dan ruang
tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan
perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan
buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang
tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.

Begitu membaca puisi KKdDB ini, maka sikap (tone) Taufik demikian menonjol sehingga penting untuk mengungkapkan semacam imaji konseptual akan pentingnya membaca. Sebuah ekspresi eksistensialisme dari kodrat manusia yang di dalam Al-Qur’an pun memang diwajibkan untuk membaca. Konteks kewajiban membaca tentunya eksistensinya dari amanat agama. Dari judulnya saja, secara metaforik menggambarkan bagaimana mungkin secara harfiah kupu-kupu ada di dalam rak buku. Diksi “kupu-kupu”, karena itu, menyaran pada konotasi makna proses dalam kehidupan ini. Bukankah kupu-kupu sebelum menjadi kupu-kupu melalui sebuah proses yang panjang? Sebuah metamorfose sempurna: telur jadi ulat, ulat jadi kepompong, baru kepompong menjadi kupu-kupu. Begitu memcermati isi puisi KKdDB, sontak sampai pada konotasi bahwa bagaimana urgensitas membaca sebagai “proses menjadi kupu-kupu”. Sebuah paradoks yang menarik terhadap budaya membaca di Indonesia.

Eksistensi “kupu-kupu”, dengan begitu mengingatkan kita akan konotasi makna sebuah proses menjadi kupu-kupu. Semacam sebuah pertapaan panjang mencapai sempurna (keindahan). Kesempurnaan eksistensi budaya bangsa adalah sebuah proses membaca yang menjadi (tiada henti) sehingga melahirkan budaya membaca dalam segala lini kehidupan.

Sebuah imaji konseptual menunjukkan sikap kritis Taufik dalam melontarkan konsep eksistnsialisme akan budaya baca yang sama sekali tidak berakar dalam kehidupan berbangsa kita. Dengan gaya pengucapan oratoris, di akhir bait pertama sampai keempat diakhir dengan larik sederhana tetapi menarik: /… di negeri mana gerangan aku sekarang./

Seluruh puisi KKdDB tidak sulit dipahami karena diakhiri dengan ungkapan larik oratoris /… di negeri mana gerangan aku sekarang./. Artinya, itu memang bukan terjadi di negeri ini. Tetapi, di sinilah justru menjadi kekuatan puisi ini yang menunjukkan sikap penyair akan pentingnya permasalahan membaca bagi bangsa Indonesia. Bait terakhir berikut memperkuat sikap (tone) Taufik terhadap permasalahan yang diangkatnya. //Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bisa dan ruang/ tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan/ perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan/ buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang/ tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.//

Pada keempat bait pertama puisi KKdDB, pemilihan diksi memang tidak tampak menonjol tetapi bagaimana imaji konseptual berbalut gaya pengucapan oratoris diungkapkan Taufik dengan demikian mengena. Sebuah sikap kerinduan yang mendalam akan bagaimana budaya membaca dapat membumi di masayarakat kita. Di sinilah, barangkali menarik mengaitkan sikap tematik penyair ini dengan puisi lain yang secara diksional kuat dipilih Taufik dengan mengungkapkannya begini: …/ Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi/ Tapi mata kami 'kan nyalang bila menonton televisi./"

Sikap kritis eksistensialis Taufik juga ditunjukkan dalam puisinya yang berjudul Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang (PTdM) (MAJOI, 2003:172-174). Dengan gaya pengucapan narasi berbalut dialog, eksistensialisme diri Taufik terekspresikan dengan cermat masuk ke jantung problematik pendidikan kita: membaca dan kreativitas. Puisi PTdM, karena itu, menggambarkan bagaimana imaji konseptual diungkapkan Taufik lebih tajam dari KKdDB. Puisi itu mengimajikan suatu realita ironis yang bermula dari tugas guru untuk belajar tatabahasa sekaligus mengarang dengan mengangkat satu kalimat: "Mengeritik itu boleh, asal membangun". Kelas menjadi sunyi, dengan imaji visual yang kental Taufik kemudian melukiskan bagaimana anak-anak ada yang bermain pensil dan bolpoin, ada yang meletakkan ibu jari di dahi, ada yang salah tingkah.

Anak-anak tidak ada yang berani beranjak dari kata-kata yang ada, mereka hanya membolak-balik saja. Kreativitas berpikir tumpul, keberanian tidak ada, belajar mereka hanyalah menghafal bukan memahami, apalagi mengaplikasikan sebuah konsep. Sebuah imaji abstrak yang bermuara pada realita ironis dunia pendidikan.

Puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan, kata Taufik, maka sang penyair mengingatkan kita (bangsa Indonesia), bahwa telah terjadi kesalahan besar dalam dunia pendidikan. Pendidikan kita adalah hafalan. Tradisi dunia pendidikan kita adalah kelisanan bukan membaca. Ungkapan-ungkapan baru seperti "rabun novel", "rabun cerpen", "rabun drama" dan "rabun puisi" hakikatnya menyurukkan kita pada tidak adanya budaya baca. Tidak ada tradisi bernalar, berargumentasi dan berdemokrasi.

Permilihan diksi-diksi semacam "rabun novel", "rabun cerpen", "rabun drama" dan "rabun puisi" demikian menjadi demikian hidup (concret) yang dapat mempertajam pembacaan atas puisi KKdDB. Taufik seakan mau berkata dengan imaji konseptual yang komunikatif melalui puisi KKdDB. Realita yang tersembunyi dalam puisi itu seakan mengingatkan atas "hasil" kemampuan membaca siswa SD kita memang menempati posisi terendah di antara negara-negara Asean. Sebuah laporan hasil studi kemampuan membaca yang dilakukan organisasi IEA, di mana Indonesia menduduki ranking ke-38 dari 39 peserta studi. Pun, Taufik pernah melakukan survey tentang kewajiban siswa SMA di beberapa negara sampai lulus mereka temukan diwajibkan 5-30 judul buku sastra. Survey itu dilakukan di negara: Thailand, Singapura, Malasyia, Brunei Darussalam, Rusia, Kanada, Jepang, Swiss, Jerman Barat, Perancis, Belanda, AS, Hindia Belanda. Indonesia tidak ada kewajiban itu.

Di sinilah, eksistensi diri Taufik sebagai manusia Indonesia tergerak karena pemerintah tidak memiliki visi pembumian sastra. Sementara itu, guru sendiri belum juga memiliki tradisi ini. Jika kita percaya akan pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka anak-anak yang bagaimanakah yang kita impikan ke depan jika guru-guru, orang tua, dan bangsa kita tidak memiliki tradisi membaca? Apalagi dalam peribahasa yang lain diungkapkan, “guru kencing berdiri murid kencing berlari” (bukankah orang tua dan pejabat kita hakikatnya adalah guru bagi generasinya?). Jika dua peribahasa ini kita jadikan cermin, tentunya akan menanggung malu dalam setiap langkah profesi, dalam hidup berhari, karena bangsa kita belum jadikan membaca kebutuhan pokok sebagaimana kita membutuhkan makan untuk kesehatan fisik kita.

Walhasil, jika guru, siswa dan bangsa kita tidak mau membaca bukanlah guru yang sehat secara keilmuan (bahkan psikologis). Kalau guru-guru yang berdiri di depan kelas, misalnya, bukanlah guru yang sehat secara keilmuan, anak-anak zaman yang akan terlahir pun bukanlah anak-anak yang sehat secara keilmuan pula. Untuk inilah, maka dipandang penting untuk membudayakan membaca bagi bangsa kita. Jika kita melihat kehidupan makro bangsa, impian tentang tradisi membaca adalah sebuah ironi. Sosok Taufik, karena itu, adalah guru bangsa –yang satu setengah dasawarsa— telah menyadari akan pentingnya membaca dan menulis bagi sebuah bangsa.

Tak heran, jika Taufik melakukan gerakan membaca ini melalui cinta sastra dengan berbagai kegiatannya: Kakilangit, MMAS, SBSB, SBSB, LMCP dan LMKS. Sebuah gerak yang filosofis. Konsistensi Taufik, tidak saja berhenti di situ, tetapi dalam beberapa puisinya yang terkumpul dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI, 2003). Sebuah esay budaya yang inspiratif tentang membaca dan menulis ini ia tuangkan dalam Kontribusi Sastrawan bagi Pendidikan Bangsa yang bercerita tentang (i) pengalamannya bertemu dengan Anwar Ibrahim dan Lee Kuan Yew yang getol membudayakan baca tulis pada bawahannya dan (ii) sejumlah program yang dia gulirkan untuk menindaklanjuti pembumian baca tulis lewat sastra.

Gerakan dan ekspresi eksistensinya dalam beberapa puisi tentang membaca itu seakan mau berkata betapa pentingnya membaca sebagai gerakan rekreasi hati. Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah) dan Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).”

Lalu, Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi yang indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair: //Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita/ Juga gelas yang dituankan dan ditenggak/ Maka hiburan dan rekreasi kami adalah/ Berdiskusi dan menelaah kitab.//

Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa jika dikaitkan dengan gerakan ekspresi eksistensi Taufik. Bayangkanlah, andaikan para guru dan siswa menjadikan kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitasnya. Misalnya, andaikan guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Tempat wisata secara fisik seperti laut dan gunung, pemandangan seindah apa pun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung bersama kelembutan Sang Khaliq.

Andaikan setiap bulan, misalnya, guru-guru kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 20 tahun; maka minimal 5400 tempat wisata itu telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja, para guru yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 5.400.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan.

Gerakan Taufik itu dengan demikian merupakan gugatan atas kecenderungan masyarakat kita masih memandang baca tulis dengan sebelah mata. Sebuah kritik kepada para guru yang belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Sebuah eksistensi diri yang alir dalam gerak humanis. Guru dan masyarakat kita yang masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan Taufik paralel dengan Ibnu Duraid, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.

Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting untuk membudayakan wisata hati ini. Bahasa Taufik pada beberapa puisi-puisinya seperti tempat tamasya hati penuh nilai filosofis. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan sebagaimana diamanatkan dalam puisinya berjudul Kupu-Kupu dalam Rak Buku. Tak mengherankan, hemat penulis, jika Taufik adalah sosok sastrawan unik yang –boleh jadi—menjadi guru bangsa sejati. Dalam kasus gerak dan teks puisi Taufik sesungguhnya merupakan refleksi eksistensialisme dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Imaji ironis alir dalam larik-larik menarik.
***

Dari gerak dan teks Taufik dari sisi gerakan membaca, yang secara eksistensial merupakan ruh perubahan suatu bangsa maka dapat dipetik hal penting menarik berikut. Pertama, perlunya penanaman kesadaran akan kebutuhan membaca bagi suatu bangsa. Jika dalam banyak kasus, guru misalnya, sering terjebak dalam ketidaksadaran akan kewajiban membaca, maka langkah inilah yang paling penting (fungsional) untuk ditempuh. Tengoklah, kebiasaan guru yang menugaskan para siswa untuk pentingnya menabung dalam menulis, tetapi dalam praksis guru terjebak (dalam ketidaksadaran) kebiasaan suka hutang. Ambil lain contoh, guru sering menugaskan siswa-siswinya menulis (entah itu cerpen, ilmiah, atau ilmiah populer), tetapi mereka sendiri tidak menulis. Untuk itu, menanamkan kesadaran –hemat penulis— seperti melukis di atas batu.

Kedua, perlunya menjadikan membaca sebagai kewajiban profesi. Artinya, jika kesadaran bangsa akan membaca belum tersentuh maka kecil kemungkinan meletakkan membaca sebagai kewajiban tentunya akan dipandang sebagai guyonan yang tidak berdasar. Padahal, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-qalam).

Dengan demikian, membaca dalam konteks surat Al-‘Alaq, sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit—karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan.

Ketiga, pentingnya mengawinkan membaca dengan menulis. Sebagaimana isyarat surat Al-‘Alaq, yang menyandingkannya membaca dengan pena, secara metaforik menuntun kita akan pentingnya kemampuan menulis sebagai sarana pembelajaran terpenting. Ingat ayat keempat: yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Pena (kalam, menulis), dengan sendirinya, akan meneguhkan proses dialogis dalam pembacaan sebelum terekspresikan dalam tulisan (di sinilah tentu makna mengajar yang ditasbihkan Tuhan itu).

Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikiran Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam) dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).

Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban manusia.

Keempat, pentingnya pengorbanan untuk memfasilitasi budaya membaca para guru. Ketika pengorbanan nyaring dan ringan diucapkan oleh elit politik, maka dalam konteks mutakhir, para guru penting untuk mengaplikasikannya dalam profesi. Artinya, membaca membutuhkan pengorbanan waktu, finansial, dan budaya itu sendiri. Negara-negara maju seperti AS, Jerman, Inggris telah menjadi membaca sebagai budaya agung yang disanjung puja. Hal ini, ditandai dengan munculnya berbagai fasilitasi penghargaan atas kebiasaan berkarya (menulis) sebagai ekspresi hasil pergulatan membaca (dan berpikir). Sementara itu di Asia, fakta pengorbanan bangsa telah ditunjukkan oleh Singapura, Malasyia, Korea, dan Jepang sebagai pelopor tradisi pengorbanan jenis ini.

Belajar dari pengorbanan pemerintah Jepang dalam mengubah bangsanya menjadi bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298). Sebuah strategi membangun bangsa, yang nyaris belum tertandingi oleh negara manapun. Sampai-sampai, Eko Laksono mengukuhkan Jepang sebagai bangsa pembaca yang terhebat di dunia (hal. 410). Untuk inilah, maka pentingnya pengorbanan para guru untuk menyisihkan finansialnya dalam membudayakan membaca. Sebab, mengandalkan negara untuk memfasilitasi buku (dalam konteks mutakhir) adalah kecengengan guru bagaimana si kecil merindukan mainan pada orang tuanya. Kemiskinan orang tua (bangsa) hanya akan menambah derita panjang akan mimpi indah untuk berubah di masa depan.

Kelima, pentingnya strategi guru dalam membaca agar efektif. Membaca para guru bukan sekadar pemahaman tetapi sudah wilayah membaca cepat dan kritis. Artinya, membaca yang sudah dilandasi oleh efisiensi waktu sehingga dibutuhkan teknik jitu dalam berburu pemahaman. Sedangkan, membaca kritis, menyarankan terjadinya kebiasaan dialogis dalam membaca. Membaca adalah interaksi aktif antara pembaca dan penulis, semacam diskusi sepi. Pergulatan ke puncak hening, perjalanan mendaki memetik ruh untuk disematkan pada tunas-tunas bangsa sehingga lahirkan generasi berkualitas.

Beberapa hal di atas, tentunya dapat dieksplorasi lebih jauh untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Namun yang paling filosofis adalah jika budaya membaca telah tercipta maka budaya menulis dapat diimpikan. Keduanya menjadi semacam tabir pandora yang akan memancarkan aura bagi bangsanya. Cakra jantung berselambu makna, jangkar emosi menjadi tali yang setiap waktu akan menjadi pengikat makna gerak dalam membangun pemikiran dan peradaban.

Membudayakan membaca, karena itu, seperti menerjemahkan tamsil Andreas Harefa sebagai manusia pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2005). Dalam logika hipnosis, kebiasaan membaca dalam kondisi rileks (alfa) adalah pengukir dunia bawah sadar yang akan menguasai tubuh pembaca 88 persennya. Jika para guru menjadikan budaya membaca dan menulis sebagai teknik imersi maka di limit waktu perubahan besar bangsa ini di masa depan akan tercipta. Karena guru telah menjadikan perisai ilmu sebagai pedang yang setiap waktu dikilau ulang untuk menumbangkan keangkuhan peradaban.

Karena membaca dan menulis merupakan sarana penting dalam berilmu, maka akankah kita nafikan pesan Nabi yang berpuluh abad telah berpesan, ”Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang di langit”. Dapatkah kemudian kita maknai bahwa berilmu itu hakikatnya ibadah itu sendiri? Karena ilmu adalah bulan purnama dan ahli ibadah adalah bintang-bintangnya. Salahkah kemudian, jika analog paparan sebelumnya (dalam ”fiqih siasah”), kemudian penulis simpulkan: membaca dan menulis hukumnya wajib bagi para guru?

Bahasa Taufik pada beberapa puisi-puisinya seperti tempat tamasya hati penuh nilai filosofis eksistensialis. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita di masa depan akan bangsa yang alir akan eksistensi bangsa berbudaya dengan membaca. Taufik karena itu, telah menjadi guru bangsa sejati. Dalam gerak dan larik puisinya sesungguhnya merupakan refleksi eksistensialisme dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Semacam wisata eksistensialisme di balik berbagai realitas ironis keindonesiaan.
***

Akhirnya, apa yang dapat dipetik dari fenomena Taufik untuk mendorong naluri kepenulisan Anda? Pertama, secara realistis sosok Taufik akan menjadi inspirasi gerak dalam membumikan baca tulis. Siapa pun kita. Terlebih, jika kita adalah pengawal dunia pendidikan yang merupakan tombak perubahan bangsa. Artinya, jiwa pengorbanan dalam melakukan gerakan baca-tulis adalah cermin penting yang wajib di pajang di kamar-kamar hati kita untuk membangun perubahan di masa depan.

Kedua, pelibatan berbagai tokoh sastrawan sesuai dengan wilayah mengingatkan nuansa lokalitas sebagai bingkai berkarya. Nuansa lokalitas yang dalam bahasa Maman S. Mahayana sebagai realita kultural –yang selalu mengirimkan pesan kearifan--. Karya yang baik adalah karya yang mencerminkan nilai kultural ini sehingga universalitas nilainya dapat dipetik. Di samping, hal itu dipandang mampu merekatkan pemahaman atas manusia berbudaya sebagai target dalam pembumian baca tulis (sastra). Mengapa? Karena sastra adalah ruang nilai, ruang diskusi, dan ruang lembut yang senantiasa alirkan proses pemaknaan yang tak pernah terputus.

Ketiga, pelibatan komunitas dalam berbagai kegiatan Taufik mengingatkan tentang pentingnya komunitas sebagai ruang kepenulisan. Komunitas akan antarkan kita pada kesiapan untuk berbagi, berdiskusi, dan terbuka dalam melihat fenomena kemudian menjadi bahan dasar penting penulisan selanjutnya. Komunitas, karena itu, adalah semacam hutan pertapaan untuk saling mengasah “kesaktian” hati. Komunitas akan menjadi tempat lempang untuk saling memandang dan menggerakkan. Sebagaimana pengalaman komunitas lainnya, maka komunitas itu akan memfasilitasi keterbukaan di satu sisi dan menumbuhkan etos pada sisi lainnya.

Keempat, karena melibatkan para sastrawan dengan sendirinya hakikatnya belajar bagaimana sastrawan berkarya. Di sinilah, ruh pemodelan akan alir secara tidak langsung. Biasanya, mereka tidak sekadar unjuk performansi kesastraan tetapi juga membuka “rahasia dapur” kepenulisannya. Keragaman pengalaman para sastrawan akan menjadi semacam tanaman indah di taman kepenulisan yang setiap saat akan alirkan harum wangi menggairahkan. Jika kita optimalkan memanfaatkannya akan lahirkan orok-orok epigon –yang diujung hari— akan berubah diri kepenulisan yang utuh yang berbeda dengan modelnya. Di sinilah, termasuk para sastrawan biasanya juga memberikan resep tertentu untuk mengatasi kemungkinan penyakit kepenulisan yang diidap oleh rata-rata penulis pemula.

Kelima, latar belakang pendidikan bukanlah ukuran dalam kepenulisan. Berkaca dari pengalaman Taufik yang berlatar kedokteran, maka menyadarkan kita bahwa kepenulisan tidaklah memandang profesi. Bahkan, kepenulisan akan dapat menjadi jendela emas dalam membangun keberhasilan. Di sinilah, maka kita jujur memandangnya ada pelajaran penting itu untuk kita implementasikan dalam kekarya kepenulisan ke depan. Sebagaimana pengalaman para enterpreneur, menulis merupakan “senjata terpenting” dalam berbagai gerak dan sepaknya. Ahli-ahli motivasi demikian juga.

Keenam, pentingnya mendekatkan karya sastra sebagai jendela membaca dan menulis sejak dini. Di sinilah, maka kebiasaan membaca dalam urutan praktis seringkali diawali dengan kesukaan membaca karya fiksi, baru rambah pada bidang-bidang bacaan lainnya. Pengalaman Yohannes Surya, misalnya, juga bagaimana ia bergulat hangat dengan bacaan fiksi awalnya. Setelah itu, rambah pada bidang-bidang lain, terakhir pada bidang fisika yang dia geluti. Mengapa fiksi? Katanya, buku fiksi dapat merangsang imajinasi sehingga subur di satu sisi dan pada sisi lain buku fiksi seringkali mengajarkan strategi hidup yang menarik. Sebuah pengakuan yang tentunya mendasar untuk memantik kesadaran.

Terakhir, metaforik dari gerakan Taufik itu maka menyadarkan pada kita akan fungsionalisasi jaringan dalam berkarya. Networking akan menjadi jembatan estetis jika dioptimalkan. Problem penulis pemula adalah minusnya jaringan ini. Dengan demikian rata-rata sastrawan yang relatif memiliki jaringan dengan berbagai pihak akan membantu energi kepenulisan yang tersalurkan. Masalahnya terletak pada bagaimana membangun etika jaringan yang beradab? Jaringan yang tidak saling membunuh dan menciptakan iklim kompetisi secara sehat. Pengalaman menunjukkan, ternyata ada juga para pemula yang tidak siap sehingga menciptakan trik-trik yang tidak produktif untuk pengembangan kepenulisannya.

Untuk inilah, maka jika Anda memasuki dunia kepenulisan ala Taufik makna gerakan berkarya adalah filosofi pertama. Contoh karya-karya yang diapresiasikan dalam tulisan ini, hanya sekadar pendamping untuk membangkitkan nilai estetis di samping pentingnya pendakian makna yang tersembunyi di balik gunung karya-karya yang tercipta.

Melangkahlah untuk menemukan semua itu. Belajar pada Taufik akan alirkan pijar lampu penerang kepenulisan Anda di suatu kala.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA

Sutejo*

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).

Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.

Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.

Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.

Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.

Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.

Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.

Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.

Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.

Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.

Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.

Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Arswendo Atmowiloto: Menulis agar Percaya Diri

Sutejo

Kalau ada penulis yang merasa tidak mampu melakukan kegiatan apa pun se¬lain menulis, itulah Arswendo Atmowi¬loto. Sejak SMA, ia sudah mulai menulis untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bentuk tulisannya adalah cerpen-cerpen remaja. Kemampuannya baru teruji ketika ia yang masih tinggal di sebuah kampung di Solo memenangi lomba cerpen yang diadakan salah satu koran terkemuka di Jakarta pada akhir 1960-an. Kemenangan ini dijadikannya pertanda bahwa menulis adalah jalan hidupnya.

Alasannya sederhana saja. Menurut penulis buku laris Mengarang Itu Gampang ini, ia ha¬nya diperhitungkan oleh kawan-kawannya semasa sekolah dulu karena ia pandai mengarang. Dalam kegiatan lain, seperti olahraga, ia hampir-hampir dianggap tidak ada. Oleh karena itu, menulis menjadi kegiatan yang membentuk kepercayaan dirinya.

Kepiawaian merangkai kalimat dan mengolah cerita dia buktikan saat masih menjadi redaktur majalah remaja Hai. Saat itu, ia mengasuh dan menulis sekitar 13 rubrik sekaligus, seperti ce¬rita bersambung Imung, Kiki, Senopati Pamungkas, dan Keluarga Cemara. Seluruh judul rubrik ini kemudian menjadi judul buku-bukunya.

Meskipun belum pernah menghitung secara serius, Arswendo memperkirakan sekitar 200 judul buku telah lahir dari tangannya hingga saat ini. Seri Imung saja telah dicetak 20 judul buku, sedangkan Kiki 9 judul, dan Keluarga Cemara telah terbit 8 judul. Belum judul-judul lain, seperti Mengarang Itu Gampang, Telaah Televisi, Menghitung Hari, Abal-abal, Canting, Dua Ibu, dan Sirkus. Paling tidak, dari ratusan judul itu, tiga di antaranya diangkat menjadi cerita sinetron, yaitu Imung, Canting, dan Keluarga Cemara.

Wuih! Luar biasa, 200 buku lebih? Itulah buah ketekunan yang diraih Arswendo. Sebab, di awal kepenulisannya, ketika pertama kali karya cerpennya dimuat atas ide cinta kepada teman sekelasnya, ternyata sang ”kekasih” tak mempercayai hingga sang kekasih sudah digaet orang. Pada waktu itu, amarah pun melonjak dengan banyak menulis puisi dan cerpen, namun sial setelah itu lama tak dimuat. Ada pesan menarik dari pengakuannya saat itu, yakni: ”Andaikan aku putus asa ketika itu, barangkali aku tidak jadi penulis.”

Di balik realita demikian, maka ada etos yang dapat dipetik, ada nyali yang penting dicermati. Menulis membutuhkan keduanya agar dapat memperoleh hasil maksimal. Arswendo adalah contoh menarik untuk diteladani. Ketika ia merasa bahwa ia tidak memiliki kemampuan lain kecuali menulis, maka dia memanfaatkannya untuk mencapai hasil yang maksimal.

Untuk itu, jika Anda ingin mengembangkan keterampilan hal terawal yang mutlak difasilitasi adalah keuletan dan etos ini. Meskipun, pada awalnya berangkat dari masalah cinta, tetapi dalam perkembangannya Arswendo banyak menuliskan masalah-masalah sosial, film, budaya, dan lain sebagainya.

Karena itu, penting dipikirkan untuk mengawali bagaimana menulis kuat di salah satu aspek baru merambah pada hal-hal lain. Selamat berkarya, mari kita belajar dari Arswendo! Berawal dari fiksi tak masalah, toh kemudian dapat menulis apapun. Fiksi, memang, seringkali menjadi pintu besar kepenulisan seseorang.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

REMI SYLADO: MELUKIS KEHIDUPAN LEWAT KATA

Sutejo*

Ada ungkapan menarik dari Remy Silado, “Orang mengamati kehidupan lalu menyimpan dalam daya kreatif. Sewaktu-waktu bisa dia panggil untuk dijadikan tulisan.” (Mata Baca, edisi September 2005:8). Realita, karena itu, adalah kekuatan alam yang dapat berdaya magis bagi pemilik daya kreatif. Ia sebentuk cakra kehidupan yang senantiasa memancarkan makna. Kehidupan itu menjadi semacam tempat rekreasi mata, kemudian menjadi rekreasi hati jika kita meminjam ungkapan Ibnu Duraid.

Sebab, Ibnu Duraid ketika para sahabatnya banyak bercerita tentang keindahan alam dan realitanya, dia bilang bahwa “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir merupakan tempat rekreasi yang luar biasa. Mengapa? Memang, buku menjadi tempat ”meditasi”, berenung, dan berdialog tentang berbagai pernik kehidupan. Menulis dan membaca, tentu, merupakan sarana penting yang menghubungkan keduanya.

Kepekaan menangkap realitas, karenanya, sangat dibutuhkan oleh penulis. Meskipun, media misalnya, dalam pandangan Remy Silado, pertama-tama akan melihat nama, tetapi bukan berarti hal itu merupakan jaminan mutlak. Di sinilah, maka pentingnya kreativitas penulis untuk berani berbeda dengan yang lain. Lha, keberanian ini bisa dimulai dari main-main berbeda yang dapat dimuat di buletin maupun majalah dinding sekolah (kampus).

Meskipun memang, ada teori bahwa di dalam menulis yang termudah adalah pengekoran tetapi tentunya, yang dibutuhkan adalah pengekoran yang kreatif. Jika tidak kita hanya akan menjadi fotokopi saja dari para penulis yang lainnya. Bakat nyleneh dibutuhkan. Baik itu dalam pengungkapan maupun dalam membuat lompatan berbahasa. Istilah Remy Silado, bagaimana bahasa dan kalimat yang disusun juga beraroma rasa tertentu (wah, tentu, yang ini bukan aroma stroberi, apel, atau apokat). Tetapi, bagaimana bahasa dan kalimat itu bernas; menghindari bahasa manerisme (klise).

Untuk itulah, maka keberanian memilih kata yang jarang dipergunakan juga tantangan berani yang perlu dipilih penulis. Begitulah, Remy Silado bermula di masa SMP sering mendapat tugas menulis cerpen dari guru bahasa Indonesianya. Dengan, pengalaman ini ia semakin tertantang untuk kreatif memilih dan melakukan sesuatu bahasa yang berbeda, baik rasa dan kata. Tak heran, ini kemudian yang melambungkannya menjadi penulis, seniman, pemusik yang luar biasa karyanya.

Ada pesan menarik, barangkali yang dapat dipetik, bahwa dalam pembelajaran di sekolah, maka guru bahasa Indonesia sebanyak mungkin memberikan pengasuhan dan pendampingan dalam kepenulisan ini. Sebuah ritus persalinan kata-kata yang hanya bisa lahir dari para ”ibu kandung” yang matang (baca: guru), yang akan memikat pembaca. Ibu kandung ini tentu adalah seorang penulis yang bertali rasa dengan realita, bercakra dalam imajinasi, dan berjangkar dalam sangkar hati.

Budaya cangkeman, budaya mulut (istilah Remy Sylado), sebaiknya mulai disimpan; budaya susun kata dan ungkap pikir dalam jernih rasa menjadi alternatif mendewasakan manusia. Jika para guru saja tersesat dalam jual beli karya ilmiah, maka ini merupakan pemunafikkan dari kodrat manusia ”sang penulis” (ingat: metaforik surat Al-’Alaq). Barangkali, ini akan menjadi ”dosa terbesar” lain yang ”tidak terampuni”. Karena ideologi gengsi dipuja dan manajemen isi dikebumikan. Sebuah realita pesakitan tapi dirayakan tanpa malu dan rasa, sehingga semakin mengerdilkan pikiran anak-anak zaman.

Jika kita mau berguru pada para penulis, katakanlah, Remy Sylado atau Ibnu Duraid yang disebutkan di awal tulisan ini; maka sebenarnya kita dapat mudah untuk melakukannya. Bukan terbalik, seakan-akan cerdik berkarya karena lolos kepangkatan sambil pamer pangkat kepada koleganya. Sebuah dusta yang akan melahirkan generasi penipu di masa depan. Sudah bukan rahasia umum, jika para guru banyak pergi ke ”mesin jahit intelektual” untuk berbagai kepentingan: pangkat dan sertifikasi.

Marilah kita ajari mereka untuk belajar olah kata, memasak kalimat dengan bumbu kehidupan, sehingga antara hati dan kata anak-anak zaman ini tidak semakin buram. Perjalanan seribu kilometer, tentu, dialawali dari langkah pertama (dalam dunia motivasi hal ini sudah menjadi filosofi gerak). Jika perjalanan kreativitas kepenulisan anak bangsa ini kita tebarkan, langkah kesadaran untuk tidak gemar menipu adalah alternatif langkah pertama itu.

Melangkahlah anak-anakku, generasi kata yang tidak terhenti oleh sindiran orang tak pendidikan, ”Ah, teori!” Jadikanlah, diri kita museum kehidupan yang setiap saat sejarah dapat digugah, kenyataan dapat dirasa, dan perubahan dapat dicerna. Karena cermin kehidupan begitu mudah kita temukan dalam karya anak-anak yang tenang, senang, bercengkerama di musium kehidupan. Rawatlah generasiku, musium kehidupan ini untuk monumen sukses Anda di masa depan! Begitulah, barangkali bahasa motivasi jika kita petik dari bahasa metaforik Remy Sylado. Kehidupan katanya, menyimpan daya kreatif. Hidup harus kreatif, terlebih menulis wajib kreatif.

Pendek kata, jika kita berguru pada Aristoteles dengan teori mimetik-nya, sesungguhnya secara historis makna museum kehidupan yang berdaya kreatif ini adalah pesan terus penting dibumikan. Puluhan buku –yang cenderung berbeda dari Remy Sylado— adalah wujud kreativitasnya. Cau Bau Kan, Kerudung Merah Kirmidzi, Kerygma dan Martyria adalah contoh buku-bukunya yang khas dalam pemilihan diksinya. Sebuah pemantik untuk menelisik di satu sisi dan di sisi lain memberikan ”ruang kreatif” yang tak bertepi.

Permasalahannya adalah bagaimana membumikan makna kreatif ini bagi kita? Semuanya, memang tergantung kita. Tetapi, jika kita menyadari keberhasilan hidup yang dipilih seseorang sesungguhnya buah gerak dari idola yang telah mengendap ke bawah sadar kita. Karena itu, endapkanlah menjadi bagian bawah sadar sehingga akan mengkarakter. Karakterisasi seorang penulis, pada akhirnya, adalah ujung yang ”mutlak” harus kita temukan. Begitulah kemudian jika kita sudah tersadar: ternyata gaya masing-masing penulis sungguh beragam. Budi Darma, Putu Wijaya, Remy Sylado, Kuntowijoyo, Seno Gumira Adji Darma, Ayu Utami, Joni Ariadinata, dan puluhan penulis muda lainnya.

Kilauan karya mereka sesungguhnya jendela yang terbuka. Pintu kehidupan bagi bangsa yang besar dan sadar. Dan, pijar penuntun bagi kita yang terkesima oleh dunia kreatif yang menyadarkan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI OATES

Sutejo

Joyce Carol Oates (Oates) adalah seorang penulis produktif yang telah menulis 70 puluh novel, koleksi puisi, dan cerita pendek. Beberapa diantaranya telah memenangkan hadiah tertinggi di bidangnya. Them mememangkan National Book Award (1970) untuk fiksi; A Garden of Earthly Delights (1970) dan Expensive People (1969) dinominasikan untuk National Book Award; What I Live For (1994) dinominasikan untuk Pulitzer Prize dan PEN/Faulkner Award for Fiction. Dia juga penerima hadiah O’Henry Special Award for Continuing Achievement.

Apa yang dapat dipelajari di Oates ini? Pertama, dia menulis tidak menggunakan mesin ketik (atau komputer) tetapi dengan menulis tangan. Kedua, sebelum menulis buku (termasuk puisi-puisi yang berarti) terlebih dulu dia banyak menulis tentang sesuatu. Ketiga, tidak peduli terhadap kritik (negatif) atas karya-karyanya.

”Semua penulis,” akunya, ”menemukan diri mereka berdentangan setiap saat, dari waktu ke waktu; kupikir pengalaman adalah suatu pembebasan yang luar biasa: setelah kematian pertama tak akan ada (kematian) lainnya. Seorang penulis yang telah menerbitkan buku sebanyak yang saya lakukan berarti penulis itu telah berkembang, sesuatu yang memang dibutuhkan –sesuatu yang tersembunyi seperti seekor badak yang menyembunyikan culanya, sementara di dalam dirinya bercokol kelemahan, keragu-raguan yang penuh harapan.” (George Plimton, 2007:334-335).

Ada hal menarik dari pengalaman penulis besar ini. Kalau selama ini banyak orang beralasan tidak mampu menulis karena tidak memiliki sarana komputer atau mesin ketik, maka logika pengalaman kepenulisan Oates ini akan menjadi kritik tajam yang menghunjam. Tokoh ini memberi contoh menjawab alibi klise yang seringkali menjadi lagu rutin ketika ajakan menulis ini kita tebarkan. Hal ini, tentu, mengingatkan pengalaman seorang Profesor dari Bandung yang sangat produktif berkarya, yang ternyata kemudian beliau juga menuliskan semua buku lewat tulisan tangan. Beliau adalah seorang pendidik yang dikenal dengan nama: Prof. Dr. Henry Guntut Tarigan. Tidak banyak yang tahu, kala beliau menulis skrip buku dalam tulis tangannya, tetapi dalam akunya dalam sebuah media beberapa tahun lalu, ”dia menuliskannya dengan menulis tangan.” Luar biasa! Inilah makna pertama yang dapat kita jinjing tinggi.

Matra makna belajar menulis lain yang dapat dicerna adalah bahwa awal kepenulisan karya Oates selalu diwali dengan menuliskannya tentang sesuatu. Filosofi belajarnya adalah latih refleksi kritis untuk menggali ekspresi batin dan pikir. Dengan begitu, barangkali akan mengeram, mengendap, dan memunculkan inkubasi ide --yang kemudian— menjalar menjadi pendar karya. Semacam pergulatan permenungan yang dipantik dengan kebiasaan sadar-tanggap. Dan, dalam tradisi pengalaman banyak penulis, memang inilah, embrio orok sebuah karya. Danarto, misalnya, selalu mengungkapkan pengalaman realitas ini dengan menuliskannya dalam buku harian. Untuk ini, jika kita termotivasi berkarya (menulis) tentu, membiasakan mengungkapkan sesuatu akan menjadi pintu penting lahirnya orok-orok karya kita yang memesona.

Dan makna belajar berkarya ketiga yang menarik diambil adalah bahwa kritik negatif atas karya penting untuk ”diabaikan”. Abai dan ”tidak peduli” dalam konteks ini adalah transformasi dari filosofi karya (tulis) hakikatnya merupakan kegagalan yang indah. Sebuah falsafah yang akan menggerakkan, memberikan daya ubah, dan karena kodratinya, dimensionalitas karya adalah wajar. Komentar dan kritik seringkali karena ”kacamata” yang digunakan sering berbeda, --dan memang—bukanlah sebuah ritus kudus penggunaan kacamata kuda.

Sebagaimana tasbih Oantes sendiri, yang selalu tak pernah puas terhadap karya. Dan karenanya, kritik atas karya, adalah biasa. Cuek yang menyimpan daya ubah dalam berkarya, sebangun makna qanaah dalam memaknai takdir yang kita terima dalam tabir relijius kemusliman kita. Pasrah dan qanaah sebagai belajar berselancar memetik i’tibar. Sebuah ruh perjalanan kepenulisan yang akan mengantarkan kita pada belalantara makna, bukan sekadar kosa kata yang terbaca.

Kegagalan karena itu, jika kita pahami makna kritik atas karya, maka tokoh-tokoh legendaris (tasbih sosok kehidupan) macam Leonardo da Vinci, Issac Newton, Thomas A. Edison, Einstein, dan Bill Gates adalah pelaku (ngelmu) yang –paling tidak— juga menerapkan pesan metaforik kegagalan yang indah ini. Sekaligus mereka adalah sosok kritik atas ”kemuakan dengan sekolah”, karena itu, drop out atau dikeluarkan (Eko Laksono, 2007:235). Sebuah realita yang mengejutkan, sekaligus menyakitkan. Di sinilah, tentu, pentingnya upaya mendorong sekolah untuk mampu menciptakan kultur yang ”tidak mengungkung” tetapi justru mampu menyediakan budaya ”krasan” sehingga lahirlah peran. Sebuah mimpi di tengah kolonialisasi pendidikan yang dipagut oleh kapitalisasi dan instanisasi.

Dunia menulis dan berkarya dengan sendirinya adalah sebuah pintu terbuka (wajib kritik) yang tentu berbeda dengan tradisi sekolah kita. Otoritas pembelajar adalah semacam pewaris mental Siti Jenar dalam memendar kenyakinannya dalam berlaku. Kritik dan ”hukuman” adalah pembabtisan yang wajar, tetapi etos dan nyali kenyakinannya adalah mutiara zaman –yang entah— kapan kilau itu bersinar.

Sebuah dimensionalitas hidup yang tidak dalam kacamata tunggal! Mari, belajar menulis dalam pigura makna pesan Oantes. Sebuah keikhlasan dalam penilaian negatif orang. Laku Syeikh Siti Jenar dalam tamasya keyakinan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Ibnu Taimiyah: Tempat Rekreasi Terindah

Sutejo

Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah), sedang Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).”

Lalu Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair:

Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita
Juga gelas yang dituankan dan ditenggak
Maka hiburan dan rekreasi kami adalah
Berdiskusi dan menelaah kitab. (Spiritual Writing, 2007:162)

Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa. Bayangkanlah, andaikan masyarakat kita menjadi kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitas dari masyarakat kita. Akan tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Sebagaimana di awal tulisan ini, maka wisata tempat pemandangan seindah apapun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung.

Andaikan setiap bulan misalnya, kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 10 tahun; maka minimal 660 tempat wisata telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 660.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan. Di tingkat kabupaten.

Fatalnya, masyarakat kita masih memandang hal ini dengan sebelah mata. Bahkan, para guru pun belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Guru dan masyarkat kita masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan, Ibnu Duraid ini, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengna konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.

Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting kita budayakan wisata hati ini. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan.

Jika masyarakat pembelajar terbentuk seperti impan Andreas Harefa dalam bukunya, Menjadi Manusia Pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2005); maka semangat dan motivasi berubah masyarakat kita akan luar biasa. Tradisi lisan masyarakat pelan-pelan akan tergantikan dengan impian yang demikian. Kapan kita akan berubah ke wisata hati jenis ini? Tentunya, dapat kita mulai hari ini, minggu ini, atau bulan ini. Jangan ditunda pada bulan depan, sehingga perubahan pada keluarga dan masyarakat kita akan cepat tercipta. Mudah-mudahan.

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI MARIA A SARDJONO*

Sutejo

Membaca dan menulis bagi Maria A. Sardjono telah begitu mendarah daging. "Kakek saya dulu teman Marah Rusli, pengarang roman Siti Nurbaya," tutur perempuan kelahiran 22 April 1945 ini. Sejak masih berusia sangat dini, buku bukan merupakan benda langka ditemukan di rumah. Seluruh anggota keluarga memiliki kesukaan membaca.

Ia menulis sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, tulisan-tulisannya lebih banyak disimpan di laci meja. Kesukaan ini terus berlanjut. "Cerpen-cerpen yang saya tulis terus saja ada di dalam laci, enggak diapa-apain," kenang Maria. Sampai suatu hari, seorang kerabat berkunjung ke rumah dan membaca cerpen tersebut. Ia menyarankan agar cerpen tersebut dikirimkan ke majalah. "Ternyata tidak ada cerita-cerita yang dikembalikan," ungkap Maria. Sepanjang 30 tahun menulis, sudah 85 novel yang dia hasilkan.

Satu hal yang dirasakan Maria saat menga¬rang, ia begitu terhanyut dalam cerita. Ia tak pemah mampu membuat cerita horor. "Kalau selesai menulis cerita seram, komputer cepat-cepat dimatikan, dan saya lari ketakutan ke kamar," ungkapnya. Sebaliknya, setiap kali me¬nulis tentang dua insan yang sedang bercinta, penulis yang baru menyelesaikan studi S2 di bidang filsafat humaniora ini mengaku sering terangsang sendiri.

Apa yang dapat dipetik dari Maria A Sardjono? Pertama, kebiasaan membaca dan menulisnya sejak dini. Untuk itulah, jika kita ingin menulis memang ya, menulis. Barangkali, memang, tidak membutuhkan teori. Membiasakan menulis, karena itu, merupakan kunci pertama. Belajar dari tokoh ini maka hukum kesuksesan menulis adalah membudayakan baca tulis. Ini penting karena membaca adalah proses belajar yang tidak henti, proses meminta yang tak bertepi.

Hanya, membaca yang bagaimana dapat dioptimalkan? Membaca dalam konteks ini tentunya adalah membaca kritis. Membaca dalam ruang dialog atas kebermaknaan. Di sinilah proses penting itu hingga bermanfaat sebagai bahan penting kepenulisan. Alat yang dapat dimanfaatkan untuk membaca ini menarik kita untuk memiliki kartu bacaan. Hasil bacaan dikartukan sebagai penjurus bahan kepenulisan.

Kedua, keluarga berpengaruh dalam mendukung peningkatan kemampuan menulis. Sebagaimana halnya, Maria A Sardjono, yang dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing dengan buku, maka hal berikut yang penting untuk kita pelajari adalah bagaimana menciptakan rumah tangga kita adalah sekolah kedua. Di sinilah, barangkali, peran orang tua menjadi sangat menentukan dalam memfasilitasi dengan buku-buku bagi anak-anaknya. Jika kita menginginkan sukses menulis, hal penting yang tak boleh dilupakan adalah “rumah buku” itu sendiri.

Beruntung memang Maria A Sardjono yang sejak kecil memiliki lingkungan keluarga yang menyuburkan tradisi baca tulisnya. Jika Anda ingin mengembangkan kepenulisan syarat kondisi rumah buku adalah sawah lapangnya.

Ketiga, pentingnya bank tulisan. Dari pengalaman menulis Maria, di awal, hal unik yang dapat diambil adalah kebiasaan menulisnya yang pada awalnya tidak ada motivasi untuk dikirimkan ke media massa tetapi kemudian setelah bertemu seorang teman Maria disarankan untuk dikirimkan ke media. Pada saat itu, ternyata, Maria sudah memiliki 30 cerita. Hebatnya, semuanya tidak tertolak (dimuat). Jika kita ingin sukses menulis, maka kita perlu memiliki bank tulisan. Dalam bahasa perbankan, barangkali, kita perlu menabung tulisan. Sehingga, tak mengherankan jika suatu waktu kita memiliki kekayaan yang luar biasa.

Untuk itu, mengapa kita tidak meniru pengalaman unik penulis ini? Marilah, saya ajak Anda untuk merenungkan kebiasaan menarik dari penulis Maria A Sardjono yang sekilas namanya mirip laki-laki. Tetapi, penulis ini adalah perempuan.

Jika kita masih ragu akan kemampuan menulis, barangkali, penting terus menulis sehingga tersimpan sejumlah tulisan –yang entah—suatu waktu pasti kita memiliki saat untuk mempublikasinya. Sebuah kebiasaan yang mudah dilakukan, manakala, kebiasaan itu dikondisikan dalam keluarga yang menopang untuk pengembangannya. Permasalahan: mengapa kita tidak mengawali? Bukankan keinginan indah jika tidak dimulai hanya bikin resah? Sering, saya bertemu dengan teman (siswa dan mahasiswa) sangat tertarik dengan menulis tetapi mereka belum memfasilitasinya ala Maria A Sardjono ini.

Kini, tiba saatnya giliran Anda untuk menciptakannya dalam keluarga selanjutnya jangan berpaling sebelum rekening honor itu mengisi rekening pribadi Anda. Selamat berjuang membangun keluarga dengan tulis menulis!
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI ISBEDY SETIAWAN*

Sutejo

Nama penyair Lampung ini tampaknya tidak seakrab nama sastrawan kita macam Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Hamid Jabbar, Sutardji Calzoum Bahri, Wiji Thukul, dan lain sebagainya. Meskipun begitu dalam Isbedy adalah sastrawan yang tidak perlu lagi dipertanyakan komitmen dan eksistensinya dalam dunia kepenyairan (belakangan juga memasuki dunia cerpenis). Ada beberapa hal menarik dari pengakuannya. Meskipun lelaki ini mengaku bahwa menulis cerita pendek mulanya hanya untuk mengisi kejenuhan. Lama-lama keterusan. Bahkan, menjadi profesi dan tumpuan hidup (MataBaca, 2005:9). Kedua, dunia cerpen lebih menjanjikan. Ketiga, dalam menekuni kepenulisan dia berawal dari puisi. Keempat, karena “kebutuhan hidup” dia mencoba banyak menulis berbagai tulisan dari esai sastra, resensi buku, hingga cerpen.

Untuk ini, jika kita mau belajar dari pengalaman Isbedy Stiawan ini maka beragam hal menarik berikut penting direnungkan. Pertama, menulis puisi tidaklah dapat diremehkan. Pengalaman Isebedy ini menunjukkan bahwa dunia puisi merupakan pintu kepenulisannya. Artinya, memang menulis puisi pada awalnya menekankan pada ”kemenarikan kata dan larik”, maka memasuki dunia cerpen misalnya, tentu bukan persoalan yang susah. Para penyair yang juga menulis cerpen ini banyak seperti Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Sutardji Calzaum Bahri, Tjahjono Widianto, dan sebagainya. Pengalaman awal kepenulisan lewat puisi ini mengingatkan apa yang dialami oleh Azyumardi Azra sebelum kemudian terjebak pada kepenulisan ilmiah.

Dengan begitu, menulis puisi misalnya, jika dikondisikan sejak usia SMA akan menjadi pentu tergalinya bakat kepenulisan. Setelah itu, maka hal kedua yang dapat diambil adalah “bahwa bakat hanyalah memberikan ruang potensi”. Setelah itu, keterpaksaan akan terpenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorongnya untuk berbuat lebih banyak. Kebutuhan hidup, karena itu, akan mampu melahirkan etos usaha (berkarya) yang luar biasa. Hasilnya, memang tidak tanggung. Belajar dari kasus cerpen Isbedy misalnya, dia bilang, kalau dimuat di Koran dia dapat honor, dikumpulkan menjadi buku kemudian dia dapat honor juga. Sebuah penerimaan ganda yang hal itu relatif berbeda di bandingkan dengan dunia puisi.

Sekadar pemaknaan, bahwa kepenyairan sebagai pintu kepenulisan barangkali dapat dirasionalkan seperti ini. Bahwa penyair sangat dipengaruhi oleh imajinasi awalnya sebelum alir lewat kata berirama dan bermakna. Imajinasi pada prosesnya akan mengingatkan pesan sufistik Einstein yang mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Sumber segala ilmu kepenulisan tampaknya memang imajinasi. Di situlah kemudian mengalir dalam beragam bentuk tulisan setelah terjadi pematangan pada satu bidang tulisan. Ini wajar karena memang dunia kepenulisan sesungguhnya dunia yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Meminjam bahasa Abdul Hadi WM, hakikat kepenulisan dan substansi kehidupan adalah sesuatu yang komprehensif berkelindan antarsatu dengan yang lainnya. Bukan parsialisasi bidang yang hanya alirkan kejengahan dan kebimbangan.

Ketiga, bahwa kebermulaan dari iseng memang dapat melahirkan keberuntungan. Pengalaman Isebedy dalam mengisi “ruang beku” kepenyairan dengan menulis cerpen justru mengukuhkannya namanya yang kian meroket. Pada tahun 2005 saja misalnya, dia menerbitkan empat kumpulan cerpen yang menarik. Salah satunya adalah Kau Jadi Ikan. Isbedy Setiawan ini melengkapi tradisi penulis murni sebagaimana halnya Hamsad Rangkuti. Di sinilah, maka (berangkat dari pengalaman Isbedy) pintu-pintu genre tulisan lainnya ternyata hampir otomatis dapat ditulisnya. Pertanyaannya adalah apakah semua penulis (utamanya pemula) dapat melakukan seperti halnya Isbedy ini. Tentu jawabnya tidak. Semuanya tergantung pada proses pelakuan hidup penulis sendiri. Pesan tersirat dari perjalanan Isbedy ini adalah kelurusan dan etos yang tak henti berkarya. Kejenuhan berkarya dapat dialirkan pada hal lain yang juga bermakna.

Jika kita meminjam rumus sukses menulis A.A. Navis, maka terjumpailah bahwa bakat alam itu hanya berandil 20 persen saja sedangkan lainnya berupa etos, keuletan, dan kreativitas. Sebuah alarm yang senantiasanya mengingatkan bahwa menulis bukanlah turunan, tetapi sebuah upaya, sebuah ghirah, sebuah semangat yang berkobar-kobar. Menyala seperti gunung api yang siap mengalirkan panas dalam laku liku sungai kepenulisan di bawahnya.

Meski belum seberuntung Hamsad yang mendapatkan bonus Khatulistiwa Award, tetapi etos dan karyanya adalah jawaban atas bagaimana sebaiknya menjadi manusia. Sebagaimana disindirkan Hardjono WS bahwa ciri manusia adalah menulis kalau tidak menulis bukan manusia mendapatkan justifikasi alami karena kalau tidak menulis kebutuhan hidupnya jadi terganggu.

Jika kita pelajar, mahasiswa, atau guru misalnya, yang mau berkaca pada cermin personal Isbedy ini, maka rasa malu akan hinggap sepenuh waktu. Ketidakpastian hidupnya berubah motivasi karya yang luar biasa. Andaikan guru-guru kita, mahasiswa, dan siswa kita melakukannya, sebuah harapan luar biasa dapat dipuja. Mudah-mudahan pengalaman Isebedy demikian akan menjadi inspirasi kita manakala memutuskan jatuh cinta dengan dunia kepenulisan. Tunggu apalagi?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI MARDILUHUNG*

Sutejo

Ketika beberapa waktu lalu HU Mardiluhung menjadi pembicara di SMA Immersion Ponorogo, dia lebih banyak bercerita tentang apresiasi puisi dan bagaimana membaca puisi. Dalam perbincangan informal di rumah, di jelang pagi, Mardiluhung mengungkapkan beberapa hal menarik berkaitan dengan proses kreatifnya: (a) bahwa proses kreatif itu sebenarnya tidak bisa diceritakan, (b) bahwa menulis ternyata mengalami fase kritis (krisis), (c) menulis itu harus peka situasi karena itu sering mengamati kejadian sosial, dan (d) menulis itu butuh risearch.

Mardiluhung memang seorang guru, yakni pengajar di SMA NU Tuban. Tetapi, dalam dunia kepenulisan jika seseorang ingin belajar menulis maka dia pun guru menulis. Untuk itulah, kini ia hanya mengajar bahasa Indonesia khusus spesifikasi menulis. Setiap minggu satu jam pelajaran. Unik?

Saya sendiri tidak tahu mengapa Mardiluhung bilang bahwa menulis tidak dapat diceritakan. Mungkin karena proses seseorang menulis memang terjadi di bawah sadar, tetapi ini pun sebenarnya dalam teori relaksasi justru dapat ditelusur karena hal itu terjadi dalam wilayah gelombang alfa dan teta. Artinya, mimpi (teta) sekalipun dapat diceritakan apalagi proses kreatif yang berlangsung (kira-kira dalam wilayah alfa) kok tidak bisa diceritakan. Tapi bagaimanapun karena itu proses kreatif yang bersifat pribadi, personal, maka pengakuan seperti ini pun bukan hal aneh. Bukankah kepenulisan kreatif itu sendiri sebuah keanehan?

Pengalamannya tentang proses kreatif yang “unik” inilah, barangkali yang kemudian mengokohkan puisi-puisinya. Memang, HU lebih banyak menulis puisi daripada ulasan atau esai. Sepengetahuan saya, Mardiluhung baru menulis cerpen sekali. Tetapi untuk kepenyairannya dia boleh dibilang kokoh, jadi ikon angkatan 2000 yang dikukuhkan oleh Korri Layun Rampan. Di situlah, lagi dapat dipahami mengapa proses kreatif menulis puisinya tidak dapat diceritakan karena memang proses ini terjadi pada saat mooding. Istilah orang Jawa, dhong-dhongan. Lek ora pas dhong juga gak bisa.

Sebelum hadir di Ponorogo, saya memang sudah mengenal Mardiluhung tiga lahun lalu ketika di Bogor. Saat itu, memang ia sudah kelihatan “gendheng” di antara guru-guru bahasa Indonesia yang lain. Kegendhengan ini, kemudian dapat pembenaran dari Maman S. Mahayana yang mengatakan begini, “Jadi guru bahasa Indonesia memang harus gendheng”. Ungkapnya disambut riuh para guru yang gendheng pula. Saat itu pula, Taufik Ismail menceritakan pengalamannya diundang di Hongkong oleh para Cerpenis Urban di sana, sampai kemudian Taufik mempertanyakan motivasi menulis para guru.

Kedua, ternyata menulis seperti pula kehidupan pada umumnya. Artinya, mengalami krisis pula. Pengalaman Mardiluhung hampir 2-3 tahun dia mengalami krisis itu, yang anehnya memang tidak dapat dipaksakan (hal ini diceritakannya saat perjalanan Bogor-Ponorogo). Apa yang dilakukan? Ya, mengalir saja. Gak usah dipaksa, katanya. Pengarang dan sastrawan lainnya memang banyak juga yang mengalami hal demikian. Untuk itu, jika Anda nanti sudah mulai menulis, berjalan, tetapi kemudian mengalami krisis, gak usah risau. Memang hal itu terjadi secara “alami”.

Pada saat krisis ini, sepengetahuan saya memang ia sedang terlilit masalah hidup. Persoalan kesandung dalan alus, kecocok lancupan sing tanpa ngelancupi. Dia jatuh cinta lagi, dan aneh memang, seperti rekaman perjalanan dunia lucu yang seringkali membuat orang lain geli. Wajar? Ia, namun sebagaimana umumnya manusia, penulis pun bukan hal haram jatuh cinta meskipun sudah berkeluarga. Bukan penulis pun ternyata jauh lebih banyak, apalagi penulis memang kelebihan imajinasi.

Menulis menyatu dengan kondisi, inilah hal lain yang dapat dipelajari. Sebab memang menulis seringkali terpancing inspirasinya dari kehidupan realitas sosial. Tak heran, jika puisi-puisi Mardiluhung juga berbicara lokalitas Gresik dengan berbagai pernik kehidupannya. Tak heran jika ia berbicara juga tentang laut dan nelayan sebagaimana Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahhman dan penyair muda M. Faizi.

Terakhir, dan ini merupakan gejala penulisan karya sastra mutakhir adalah perlunya research dalam menulis, termasuk menulis puisi. Mardiluhung kini sedang menyelesaikan kumpulan puisi yang ditulis berdasarkan research lapangan di pulau Bawean. Sebuah reportase estetis? Mungkin. Tetapi juga tidak, karena karya sastra hakikatnya sebuah dunia tersendiri. Dunia imajinasi dengan tokoh imajinasi pula, sebuah dunia puisi dengan aku liris imajinasi pula, sebuah sapa pembaca dengan pembaca imajinasi pula.

Untuk ini, jika kita jujur belajar dari kepenulisan Mardiluhung barangkali kita perlu sesekali research, mengamati situasi lokal, peka krisis, dan gak usah terkejut ketika menulis kemudian ditanya tentang bagaimana proses kreatif kok tidak dapat menceritakannya. Sebagaimana pernah menjadi perdebatan tentang puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang, maka proses kreatif tidak penting untuk diceritakan. Menghilangkan dimensi penafsiran, karena sifat situasionalisasi hanyalah bersifat kilasan, karena itu, hanyalah bersifat inspiratif. Bukan potret.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

BELAJAR MENULIS DARI LANG FANG*

Sutejo

Pada tanggal 8 Desember 2007 di Unesa Surabaya kampus Lidah adalah acara Seminar Nasional Sastra Pop untuk mengiringi pelepasan Prof Budi Darma yang purna sebagai guru besar. Pada saat itu hadir, sederetan penulis, penyair, cerpenis macam: Lang Fang, Yati Setiawan, Mashuri, Audex, Kurnia Fabiola, dan Budi Darma sendiri. Rencana, Saparto Broto juga hadir sebagai pembicara. Tapi saat itu tidak dapat hadir karena ada kepentingan keluarga di Jakarta.

Acara itu, di samping berbicara bagaimana Budi Darma, juga berbicara masing-masing proses kreatif para nara sumber. Satu yang dapat dipelajari dalam tulisan pendek ini adalah bagaimana proses kreatif Lang Fang sebagai seorang novelis dan cerpenis. Ketika peluncuran bukunya berjudul Kota Tanpa Kelamin (2007) di Toga Mas Surabaya, dia pun berbicara banyak tentang proses kreatifnya. Pada saat itu, saya bersama Uki (wartawan Antara) bertemu dengan penulis macam M. Shoim Anwar, HU Mardiluhung, Wawan Setiawan, Budi Darma, Syirikit Syah, dan beberapa penulis lainnya.

Dari dua pertemuan itu, apa yang dapat dipelajari dari proses kreatifnya? Beberapa hal berikut menarik untuk dipikirkan (a) bahwa proses kepenulisan itu mengikuti alir sungai (mengalir saja), (b) inspirasi dari karya orang lain, (c) pesan yang ingin dikomunikasikan sampai kepada pembaca, (d) tidak terganggu oleh kategori pop atau serius, dan (e) terus menerus belajar. Lima pesan spiritual yang menggerakkan kita manakala akan memasuki ruang dan peluang kepenulisan.

Pertemuan demikian jika kita mau belajar dan merefleksikannya sebagai sebuah “sekolah alam” tentunya terlalu pendek pertemuan itu jika tidak diabadikan dalam kolom pikiran. Untuk inilah, maka mari kita refleksikan sebagai bahan bincangan menariknya. Pertama, memang benar bahwa proses kepenulisan itu mengalir saja. Jika kita ingin menulis maka “pokoknya menulis”, mengalirkan berbagai pengalaman batin, refleksi kehidupan sosial, bagi tuang hasil bacaan. Sebuah perjalanan karya yang tidak perlu dipikirkan apakah itu nanti masuk karya kategori tertentu. Dengan demikian proses kreatif tidak terkebiri, sebaliknya menemukan jati dirinya yang “luar biasa” alami. Dengan demikian, menulis itu memang sebuah alir pikiran dan perasaan yang sangat dipengaruhi oleh alur dan alir sungai kebahasaan yang dimilikinya.

Permalahan yang sering terjadi di kalangan pemula adalah mereka bingung anak menulis apa dan jenis apa. Mengikuti saran Lan Fang ini, maka ada baiknya kita mengalir, dan jika kemengaliran itu mengantarkan kita di tepiannya atau berakhir di laut mana adalah persoalan hayatan setelah berwujud. Dengan demikian, kadang empirisitas ini kelihatannya naif tetapi sesungguhnya tidak. Pengalaman Andrea Hirata dapat dijadikan contoh. Pengalaman kekagumannya pada guru di SD menginspirasikan dia untuk menulis tulisan-tulisan pendek yang mengalir begitu saja dan dia tidak pernah membayangkan kemudian menjadi novel yang sekarang bestseller. Pertemuan tidak tertuda dengan teman lagi kemudian mengirimkannya ke Bentang adalah lorong rahasia Illahi (semacam karma positif dari gurunya).

Kedua, karena karya hakikatnya sebuah pesan sosial maka seseorang ketika berkarya hakikatnya berkomunikasi pesan dengan orang lain. Dalam konteks ini tentunya adalah pesan penulis (cerpenis) kepada pembacanya. Penting disadari pesan fiksional memang bukan seperti khotbah jumat, maka menemukan pesan karya membutuhkan apa yang di dalam proses pemaknaan karya sastra dikenal pentingnya bekal (a) kode bahasa seorang pembaca, (b) pemahaman akan kode budaya, dan (c) pemahaman akan kode kesastraan. Seorang pengarang maupun pembaca tentunya terikat oleh tiga kode ini yang dalam “proses komunikasi” karya (teks) terjadi interaksi positif dan imajinatif dalam pemaknaan. Sebuah pemaknaan yang khas, karena dalam teori resepsi sastra hal itu sangat tergantung pula pada pengalaman, pikiran, dan imajinasi pembaca. Tugas seorang pengarang, sebagaimana kata Lang Fang, yang penting pesan komunikasi karya dapat sampai pada pembaca.

Isyarat lain dari proses kreatif Lang Fang yang menarik adalah, ternyata icon atau patron guru juga mewarnai proses persalinan karyanya. Budi Darma dalam perjalanan karya-karyanya, tampaknya merupakan apa yang dalam analog cerita Kung Fu cerita Dragon Master, adalah sebuah pergulatan tidak langsung. “Menimba air” dan “mengangkat kayu” adalah bagian dari proses belajar tidak langsung, peselancaran mengarungi laut kepenulisan yang tanpa prasangka.

Di balik pengakuan ini, tentu menerbitkan akuan lain. Ternyata dalam proses berkarya –sebagaimana sering juga saya ungkapkan—tidak terlepas pergulatan guru murid. Budi Darma adalah guru, dan Lang Fang adalah sang murid yang baik. Dalam sebuah ruang kuliah S3, Budi Darma panjang bercerita tentang penulis ini dengan menceritakannya “bagian proses kreatif” dan kebiasaan kecilnya. Sebuah komunikasi positif antara guru murid yang “tidak sadar”. Artinya, pergulatan bawah sadar yang menggetarkan dalam aku kata bahasa. Baik guru dan terlebih muridnya. Dalam ilmu persilatan kata, jika ada murid yang alir jujur, sang guru adalah angguk dan sanjung yang mendorongnya. Di sinilah, maka pengalaman menarik yang penting dipantik jika akan menulis belajar dari Lang Fang ini adalah falsafah proses kreatif yang mendudukkan (termasuk mendudukkan sang guru).

Sifat keguruan (dalam pemodelan ini) tentunya bisa beragam wujud pengaruhnya: (a) kecenderungan karya dan sifatnya, (b) motivasi kekaryaan, (c) penajaman mental kepenulisan, (d) pembangunan networking kepenulisan, dan (e) getar gerak yang terus menghidupkan. Sebuah pembelajaran yang alami karena dalam konteks komunitas demikian hubungan antara guru murid adalah hubungan tanpa batas dan sekat. Sebuah keuntungan yang seringkali tidak kita temukan dalam ruang-ruang formal dinding sekolah (kuliah).

Terakhir, bagaimana dalam merengkuh kepenulisan tidak terjebak pada oreantasi tertentu (kapling-kapling kategorti tertentu) akan banyak membantu kebebasan seorang penulis. Sebagaimana halnya Lang Fang yang tidak terikat apakah ia karya populer atau serius, pokoknya dia berkarya. Mengalir. Hal ini ternyata justru memberikan motivasi besar dalam menulis. Sebab, sebagaimana diungkapkan pula dalam peluncuran kumpulan cerpennya Kota Tanpa Kelamin yang dimoderatori Arif Santosa (redaktur budaya Jawa Pos) dia tidak percaya akan kategori pop dan serius. Yang penting pesannya tersampaikan kepada pembaca.

Di balik itu semua, hal kelima yang menarik dipelajari dari Lang Fang adalah belajar terus menerus. Bagaimana belajar seorang penulis? Dengan membaca yang tidak pernah henti. Karena membaca adalah induk karya maka seorang penulis larangan terbesarnya adalah berhenti membaca. Belajar artinya memahami. Memahami artinya memaknai. Memaknai artinya menjalani proses dialogis. Proses dialogis akan alirkan kematangan. Sebuah kausalitas proses yang tak pernah berhenti yang ujungnya adalah hikmah belajar. Sebuah makna yang tidak selalu formal tetapi proses pemaknaan akan sisi-sisi kehidupan yang elegan (bersisi hati) hingga berpinak falsafi. Di manakah ruang henti belajar? Sebuah metaforik hadis mengingatkan kita bahwa sejulur umur adalah proses belajar itu sendiri yang bersifat wajib. Masalahnya, masyarakat kita belum menjadi ruhul hadis ini sebagai ideologi pemaknaan tetapi baru sebatas jargon khotbah di langgar dan masjid. Sebuah kemunafikan laten yang barangkali pada pantai tertentu akan berbalik jadi hukuman karena manusia tidak amanah dalam kata.

Akhirnya maukah kita berkarya? Jika kita sepakat dengan sindiran Hardjono WS yang pernah mengatakan di SMA Immersion, bahwa ciri manusia yang membedakan dengan makhluk lain adalah menulis; maka marilah kita menulis agar gelar kemanusiaan ini tidak tercabut secara alamiah. Bukankah pengalaman banyak negara maju berhasil karena faktor keberhasilan mereka dalam karya tulis dan intensitas pembacaan mereka? Jika kita sering menghujat realita sosial maka arifnya sudah waktunya kita untuk berbuat, bukan merintih-rintih sebagaimana yang dipesankan oleh Taufik Ismail.

Imaji konseptual tentang kehidupan sosial, misalnya, sebagaimana banyak diungkapkan Taufik Ismail dalam kumpulan puisinya berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2005) menarik untuk direfleksikan dalam kata dan karya. Mudah-mudahan masyarakat kita berubah dan mau berubah keadaan negeri yang berumah pedih ini sehingga kerobohannya terhindar karena warganya adalah pilar dan tembok hidupnya yang kokoh. Marilah kita kokohkan bangsa ini dengan menulis di satu sisi dan membaca pada sisi lainnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos