Kamis, 06 November 2008

BELAJAR MENULIS DARI BERTRAND RUSSEL

Sutejo*

Dalam buku Menulis itu Indah (Jendela, 2002) memuat tulisan Bertrand Russel dengan judul Bagaimana Saya Menulis (hal. 8-20). Belajar menulis atau sukses menulis orang lain (terlebih ia sastrawan dunia) dapatlah dipelajari pribadi, kiat, dan tips-nya dalam menulis. Bagaimana rahasia Russel?

Akuan berikut sebagai payung renung untuk memasuki dunia menulis yang luas: (a) ia tidak tahu bagaimana menulis yang baik, (b) sampai usia 21 tahun ia mengikuti gaya John Stuart Mill, (c) pada usia 21 tahun itu pula ia berkeyakinan bahwa menulis adalah meniru teknik para “dewa menulis” (Flaubert dan Walter Fater), (d) menemukan kekeliruan dalam satu aspek ia menuliskan kembali secara keseluruhan, (e) dia menemukan cara menulis secara bertahap, (f) belajar dari kesalahan, (g) apa yang ia tulis adalah yang ia yakini sebagai wahyu, (h) memanfaatkan pengalaman ovantour (berpetualang), (i) peniruan terhadap karya orang lain merupakan sesuatu yang berbahaya, (j) semua gaya bagus manakala mencerminkan kedalaman ekspresi kedalaman penulisnya, dan (k) dia punya tiga saran menulis yang diambil dari Pearsall Smith (iparnya).

Lain ladang lain pula tanamannya, begitulah barangkali yang pertama-tama dapat dimaknai dari pengalaman Russel. Seorang penulis dunia, ternyata begitu mempraktekkan pesan orang lain. Pesan penting yang dia lakukan adalah tiga saran dari iparnya (a) jangan menggunakan kalimat yang panjang jika kalimat pendek bisa dipakai, (b) jika ingin membuat pernyataan berisi beragam kualifikasi, taruhlah kualifikasi itu ke dalam kalimat terpisah, dan (c) jangan biarkan anak kalimat membaca pembaca pada dugaan yang bertentangan dengan akhir kalimat kita. Wah, pesan ini seperti seorang guru bahasa Indonesia saja.

Tapi begitulah, memang, jika kita jujur bidang apa pun, kemampuan menuangkan pikiran merupakan kemutlakan. Hanya orang yang pongah dan menganggap tidak penting bahasalah yang bilang begitu. Dalam amatan saya, ada dua hal yang dapat diterapkan dalam semua bidang (a) keunggulan kemampuan berpikir, dan (b) kemampaun membaca dan menulis.

Tiga saran dari ipar Russel itu, sesungguhnya dapat disederhanakan begini. Buatlah kalimat dalam tulisan pendek-pendek saja, sebab kecenderungan kalimat panjang berpotensi salah lebih besar, karena itu berpengaruh pada makna. Tiga saran itu, karenanya, menyarankan agar kita berhati-hati dalam membuat kalimat panjang baik itu bersifat kualifikatif maupun kalimat turunan. Untuk itu, jika Anda memasuki praksis kepenulisan mutlak bersentuhan dengan “aturan” ini.

Kedua, tidak usah berpikir tentang karya yang baik, pokoknya berkaryalah. Sebagaimana akuan Russel dalam perjalanan panjang kepenulisannya pun tidak paham bagaimana karya yang baik. Biarkan penilaian menjadi hak prerogatif pembaca, dan biarkan Anda tidak terusik oleh komentar pembaca. Ingat pengalaman Langit Kresna Hariadi ketika menuliskan 5 novel Gajahmada begitu banyak kritik berkaitan dengan data sejarah. “Biarkan anjing menggonggong kafilah (menulis) tetap berlari”. Bukankah novel Gajahmada kemudian bestseller padahal sebelumnya nyaris tidak ada penerbit yang sanggup menerbitkannya.

Flaubert, Walter Fater, dan John Stuar Mill menyebut ketiganya guru, “dewa-dewa”. Belajar dari gaya orang lain. Meskipun akhirnya dia berpesan meniru gaya orang lain hakikatnya berbahaya. Akuan ini menerbitkan pembelajaran begini: (i) meniru gaya orang lain menghilangkan kreativitas unik seorang penulis, dan (ii) jika tidak hati-hati kita akan terjebak pada pola orang lain padahal kepenulisan adalah keunikan-keunikan individu yang menarik untuk difasilitasi. Bolehlah, Anda meniru gaya orang lain, hal ini semata-mata untuk membuat alir kata kalimat lancar dan cepat, tetapi pada titik tertentu “tugu kepenulisan” Anda penting untuk didirikan.

Dalam proses menulis, setelah meniru gaya orang lain kita akan menemukan cara menulis “yang cocok” secara bertahap sekaligus menemukan kesalahan. Belajar dari kesalahan adalah kearifan berilmu. Meskipun ilmu menulis banyak tetapi tak jarang orang justru terjebak teori dan sama sekali tidak melangkah. Dosen menulis banyak tetapi karya tulis seringkali jiplak. Kesalahan dalam menulis adalah wajar, dan sebagaimana Russel, hal itu ditemukan setelah sekian lama menulis. Aib? Tentu bukan justru sebaliknya akan melahirkan kearifan dalam kepenulisan. Di sinilah, Russel sampai pada akuannya, “Aku menemukan tahap menulis itu secara bertahap.” Sebuah mutiara kejujuran yang menggerakkan siapa pun kita yang akan masuk lorong dan gua kepenulisan.

Selanjutnya, bahwa menulis itu diyakini sebagai wahyu. Ungkapan berlebihan? Tidak. Larik itu sesungguhnya bermakna begini, bahwa proses kepenulisan itu berlangsung pada saat tertentu, mooding, trans. Artinya, tidak sembarang waktu kita dapat melakukannya. Tetapi, semuanya tergantung situasi bawah sadar yang menggerakkan itu. Untuk inilah, maka jika kita ingin mengembangkan kepenulisan kondisi mood ini layak untuk dirindu dan disyukuri. Sebab, tidak semua orang mengalami dan menemukan sembarang waktu. Kegelisahan mendalam dan keinginan untuk mengungkapkan adalah pintu mooding itu.

Akhirnya, apa yang terpenting dalam menulis? Apa pun gaya yang kita pilih, yang terpenting adalah bagaimana tulisan itu dapat mencerminkan ekspresi terdalam kejiwaan dan kepribadian kita sebagai penulis. Petualangan Russel ketika menulis The Free man’s Worship adalah buah petualangan yang lama di Cumbridge hingga di Roma Italia. Saat advontur itulah dia merasakan kondisi trance, sesak, sebuah kenikmatan dunia imajinasi berbingkai realitas.

Dengan demikian, berguru pada pengalaman Bertrand Russel, tentu kita memasuki padang kejujuran tanpa batas, ruang-ruang kearifan tanpa sekat. Bukankah belajar (apa pun itu) hakikatnya proses. Dan di balik pengalaman proses kreatif Russel kita menemuakan proses, kesalahan, dan kearifan lain menarik dan memantik. Berpikir terbuka, kacamata insklusif, adalah modal lain dalam belajar dari sukses orang lain. Setuju?
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar