Kamis, 06 November 2008

Arswendo Atmowiloto: Menulis agar Percaya Diri

Sutejo

Kalau ada penulis yang merasa tidak mampu melakukan kegiatan apa pun se¬lain menulis, itulah Arswendo Atmowi¬loto. Sejak SMA, ia sudah mulai menulis untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bentuk tulisannya adalah cerpen-cerpen remaja. Kemampuannya baru teruji ketika ia yang masih tinggal di sebuah kampung di Solo memenangi lomba cerpen yang diadakan salah satu koran terkemuka di Jakarta pada akhir 1960-an. Kemenangan ini dijadikannya pertanda bahwa menulis adalah jalan hidupnya.

Alasannya sederhana saja. Menurut penulis buku laris Mengarang Itu Gampang ini, ia ha¬nya diperhitungkan oleh kawan-kawannya semasa sekolah dulu karena ia pandai mengarang. Dalam kegiatan lain, seperti olahraga, ia hampir-hampir dianggap tidak ada. Oleh karena itu, menulis menjadi kegiatan yang membentuk kepercayaan dirinya.

Kepiawaian merangkai kalimat dan mengolah cerita dia buktikan saat masih menjadi redaktur majalah remaja Hai. Saat itu, ia mengasuh dan menulis sekitar 13 rubrik sekaligus, seperti ce¬rita bersambung Imung, Kiki, Senopati Pamungkas, dan Keluarga Cemara. Seluruh judul rubrik ini kemudian menjadi judul buku-bukunya.

Meskipun belum pernah menghitung secara serius, Arswendo memperkirakan sekitar 200 judul buku telah lahir dari tangannya hingga saat ini. Seri Imung saja telah dicetak 20 judul buku, sedangkan Kiki 9 judul, dan Keluarga Cemara telah terbit 8 judul. Belum judul-judul lain, seperti Mengarang Itu Gampang, Telaah Televisi, Menghitung Hari, Abal-abal, Canting, Dua Ibu, dan Sirkus. Paling tidak, dari ratusan judul itu, tiga di antaranya diangkat menjadi cerita sinetron, yaitu Imung, Canting, dan Keluarga Cemara.

Wuih! Luar biasa, 200 buku lebih? Itulah buah ketekunan yang diraih Arswendo. Sebab, di awal kepenulisannya, ketika pertama kali karya cerpennya dimuat atas ide cinta kepada teman sekelasnya, ternyata sang ”kekasih” tak mempercayai hingga sang kekasih sudah digaet orang. Pada waktu itu, amarah pun melonjak dengan banyak menulis puisi dan cerpen, namun sial setelah itu lama tak dimuat. Ada pesan menarik dari pengakuannya saat itu, yakni: ”Andaikan aku putus asa ketika itu, barangkali aku tidak jadi penulis.”

Di balik realita demikian, maka ada etos yang dapat dipetik, ada nyali yang penting dicermati. Menulis membutuhkan keduanya agar dapat memperoleh hasil maksimal. Arswendo adalah contoh menarik untuk diteladani. Ketika ia merasa bahwa ia tidak memiliki kemampuan lain kecuali menulis, maka dia memanfaatkannya untuk mencapai hasil yang maksimal.

Untuk itu, jika Anda ingin mengembangkan keterampilan hal terawal yang mutlak difasilitasi adalah keuletan dan etos ini. Meskipun, pada awalnya berangkat dari masalah cinta, tetapi dalam perkembangannya Arswendo banyak menuliskan masalah-masalah sosial, film, budaya, dan lain sebagainya.

Karena itu, penting dipikirkan untuk mengawali bagaimana menulis kuat di salah satu aspek baru merambah pada hal-hal lain. Selamat berkarya, mari kita belajar dari Arswendo! Berawal dari fiksi tak masalah, toh kemudian dapat menulis apapun. Fiksi, memang, seringkali menjadi pintu besar kepenulisan seseorang.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar