Kamis, 23 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI ENI KUSUMA

Sutejo

Dalam pengantar bukunya, Anda Luar Biasa! (2007), Eni Kusuma mengungkapkan begini, ”... Jika saya tidak suka belajar, tidak peduli akan talenta diri, tidak menyukai harapan, cita-cita dan semangat, mungkin Anda tidak menemukan saya dalam buku ini.” (hal. Xviii). Ungkapan ini, mengingatkan betapa pentingnya etos, cita, dan kesadaran akan talenda dalam kepenulisan.

Jika Eni adalah seorang TKW –yang hanya alumni SMA—mampu berhasil, menulis sebuah buku motivasi pertama yang ditulis oleh TKW, dan dikomentari oleh para ahli motivasi kelas wahid di tanah air; tentunya hal ini merupakan pemantik yang menarik untuk dikaji. Dalam merentas dunia kepenulisan, selanjutnya dia mengungkapkannya begini: ”Katakanlah, jika situs Pembelajar.com adalah kurikulum saya, maka milis adalah tempat praktik saya, dan artikel-artikel saya yang dimuat di situs itu adalah hasil ulangan saya. Boleh dibilang naskah buku ini adalah skripsi saya setelah kuliah di Pembelajar.com selama lebih kurang enam bulan..”.

Apa yang menggetarkan? Sebuah pengakuan yang layak disimak, --dan lebih dari itu—kita penting belajar darinya adalah (a) bergaul dengan alat global, (b) belajar tidak harus formal, dan (c) kesuksesan dalam kepenulisan yang tidak ditandai oleh kepakaran. Sebuah lonjakan kreasi yang –rasanya— sulit dipercaya seorang TKW aktif dalam sebuah situs (selanjutnya memiliki milis) sebagai tempat ”berguru” kesuksesan. Di sinilah, maka jika Anda ingin memasuki dunia kepenulisan di era global, --demi kelancaran—alat global ini penting untuk digauli.

Kedua, sebagaimana filosofi universalisasi belajar yang tidak terbatas oleh tembok dan ideologi; maka pembelajaran tidak formal Eni Kusuma adalah inspirasi kita untuk melangkah di jalur sukses kepenulisan. Jika kita menilik kesuksesan tokoh dunia –yang seringkali dinilai aneh dalam pendidikan formal—maka, pengalaman Eni adalah jalan lain menuju bukit mimpi. Bukit mimpi dengan pereng hijau gunung yang penuh lekuk rumit kehidupan. Di masa SMA, misalnya, dia tidak menunjukkan kelebihan, tetapi dia memiliki kesadaran (dan keceriaan) yang berbeda dibandingkan dengan temannya.

Ketiga, belajar menulis –pada akhirnya— tidaklah harus bersentuh fisik. Pengalaman Eni tentunya sebuah contoh konkret. Pergaulan di media internet telah mendewasakannya dalam menembus kabut hidup, menguak tirai kepenulisan dengan talenta, etos, dan harapan yang kental. Jika kita merajut kain kepenulisan menjadi tirai masa depan hal-hal itulah tentunya yang dibutuhkan. Belajar dari Eni adalah belajar tentang sebuah etos dan harapan. Berbuat adalah tangga menuju sukses, dan tentunya, akan menginspirasi setiap orang.

Di sinilah, maka jika kita mau berguru pada tokoh TKW ini, (bukan hal tabu), besar kemungkinan ke depan kita akan memetik sukses (di bidang masing-masing) dengan semangat dan damai hidup yang tak pernah redup. Sekaligus, kritik pedas pada dunia intelektualitas kita (sekolah dan perguruan tinggi) yang kering akan pembelajaran motivasi ini. Bahkan, tidak jarang sekolah menjadi tempat yang mengungkung motivasi dan kreasi sehingga berujung pada kekerdilan pribadi yang tak mampu berbuat berarti bagi kehidupan mereka.

Leonardo da Vinci, Issac Newton, Thomas A. Edison, Einstein, dan Bill Gates adalah contoh anak-anak muda yang ”muak dengan sekolah”, karena itu, drop out atau dikeluarkan (Eko Laksono, 2007:235). Sebuah realita yang mengejutkan, sekaligus menyakitkan. Di sinilah, tentu, pentingnya upaya mendorong sekolah untuk mampu menciptakan kultur yang ”tidak mengungkung” tetapi justru mampu menyediakan budaya ”krasan” sehingga lahirlah peran. Sebuah mimpi di tengah kolonialisasi pendidikan yang dipagur oleh kapitalisasi dan instanisasi.

Dunia menulis, dengan sendirinya menolak realita yang demikian. Artinya, jiwa-jiwa merdeka seperti kasus Eni Kusuma bukan lahir karena sekolah formal, tetapi karena ”sekolah universal” yang melahirkan kenyal hati untuk menganyan nyali. Bagaimanakah dengan Anda? Merajut nyali dengan berbagai komponen hati adalah PR kita jika ingin melenggang di masa depan. Bukan berpangku dan senantiasa menunggu ulur tangan untuk menjemput masa depan.

Sebuah ruh besar sebagai bekal memasuki dunia kepenulisan yang menarik untuk ditanamkan. Artinya, memang, kepenulisan membutuhkan seperangkat pengalaman Eni. Dan karenanya, lintas institusi, lintas profesi, dan lintas bidang. Sebuah contoh yang akan mengalirkan ghiroh bagi kita. Mudah-mudahan.

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar