Rabu, 22 Oktober 2008

BELAJAR MEMBACA DARI TITIK QADARSIH

Sutejo

Anda kenal dengan Titik Qadarsih? Titik yang satu ini adalah “titik” cahaya bagi kita yang dapat kita jadikan pemantul kritik kehidupan kita. Bagaimana tidak? Artis yang hanya sering kita lihat sebagai artis di media televisi itu ternyata memiliki tradisi membaca yang luar biasa. Uniknya lagi, ternyata penyanyi ini tidak membatasi diri terhadap apa yang dia baca.

Jargon bacalah tentang apa saja, memang benar. Tetapi, saya sering sarankan kepada teman dan kolega begini, ”Jangan membaca apa saja!”. Awas! Jangan salah paham, rasionalnya begini: kalau kita membaca apa saja, --bisa jadi— apa saja itu adalah sampah dan sesuatu yang akan merusak ”frame” berpikir kita. Inilah, kontekstualisasi pesan kritis ini agar tidak menyesatkan pembaca. Misalnya, tidak semua koran dan media yang bertebaran di kita ”layak baca” tetapi sebagian masyarakat kita menjadikannya ia sahabat yang ”daripada tidak”.

Bandingkan dengan pengalaman Titik Qadarsih ini. Perempuan 60 tahunan ini, ternyata suka baca sejarah dunia dan Indonesia, kebudayaan, musik, hingga komik Sinchan. Semua bidang ini memang inspiratif. Katakanlah, komik Sinchan (yang sudah difilmkan itu) sebenarnya merupakan ”ideologi kreatif” sosok anak. Yang dari Jepang-nya sebenarnya merupakan tontonan anak usia SMA. Sehingga, minimal, mereka akan memiliki filter moral untuk memilih dan memilah apa yang dapat diambil dan mana yang sampah untuk disingkirkan. Di masyarakat kita, merupakan tontonan segar bagi anak-anak usia sekolah dasar, yang seringkali tanpa pendampingan filter moral karena tidak teriringi dengan dampingan asuh para orang tua. Jadinya? Kita tahu sendiri.

Apa yang dapat dipetik dari pengalaman membaca Titik Qadarsih ini? Wuih, luar biasa kritis dan ”tajam” pisau pikirnya. Begini, ”Sekarang ini, saya malah tidak mengerti, sebenarnya bangsa Indonesia itu berasal dari mana?” Hal ini, ia kemukakan setelah banyak membaca buku (dan tentunya, saya pun sering bertanya seperti ini sejak puluhan tahun lalu). Sebuah bangsa tak jelas karakter, tak jluntrung jati diri, dan seringkali munafik dalam laku dan bahasanya. Timur budayanya tapi sombong dalam laku dan kekerasannya.

Satu yang paling penting dari pengalaman membaca adalah bahwa membaca bisa diibaratkan seperti kedatangan seribu tamu di rumah kita (Kompas, 23/10/2004, hal. 44). Rumahnya, bahkan berserakan buku dan koran, dan karena itu, sering berantakan. Bertumpuk-tumpuk koran, misalnya, sengaja dirawat karena sewaktu-waktu dapat diundang ulang. Nah, sekarang bagaimanakah makna filosofis tentang kedatangan seribu tamu dalam tamasya baca Titik?
Secara metaforik relijius barangkali hidden meaning-nya dapat kita pelajar, begini. Pertama, metafor tamu dalam tradisi relijius Islam berkonotasi dengan rejeki. Kalau tamu adalah rejeki maka alangkah bahagianya kala kita kedatangan tamu? Membaca seperti kedatangan seribu tamu di rumah kita, wah luar biasa. Hal ini, tentu karena, ketika kita membaca hakikatnya adalah sebuah dialog yang tak putus dengan pengarang, latih nalar mengudar makna, dan sebuah rentang utas tali silaturahmi yang luar biasa panjang.

Akan menjadi rejeki, tentu, amanahnya seperti tuntutan ajaran agama bahwa zakatnya ilmu dengan mengamalkannya. Cara yang lintas waktu lintas tempat, mengamalkannya adalah dengan menulis. Sebuah ruang ekspresi dan ”amaliyah” yang abadi. Dan ini, tentu (lagi-lagi) metaforik usia panjang yang banyak dipanjatkan dalam doa-doa kita. Sebuah usia tentang ”nama” yang terlukis dan tertulis dalam sejarah karena dikenang. Sebuah makna relijius yang dapat dipanen ketika kita sering mengundang ”seribu tamu” di rumah kita. Yang tak terbatasi waktu, tak terhimpit ruang, dan tak dicurigai sebagai ”simpanan” kita tidur bersanding pasangan kita di ranjang. Sebuah tamu istimewa yang tak pernah menimbulkan prasangka!

Masalahnya, mungkin itu adalah utopia bagi masyarakat kita. Tetapi jika kita tersentuh oleh ocehan saya, barangkali menarik untuk menjadikannya tesaurus untuk kehidupan kita di masa depan. Memaknakan kejadian dan rutinitas hidup bukan sekadar lahiriah tetapi balutan makna karena logika berpikir axiologis (bidang makna filsafat) telah menjadi ruh hidup dan kehidupan kita.

Tuangkanlah refleksi hidup Anda dalam lembar, sekata sekalipun dalam sehari. Selama satu tahun minimal 365 kata akan mewakili pikiran dan makna hidup Anda dalam perjalanan tahun. Jika selembar dalam sehari Anda lakukan, dalam hitung tahun, 365 lembar pikiran dan refleksi hidup Anda akan menjadi ”buku kehidupan” Anda yang –luar biasa bermakna--. Bagaimana? ***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar