Rabu, 22 Oktober 2008

BERGURU MENULIS PADA IBNU DURAID

Sutejo

Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah), sedang Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).”

Lalu Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair:

Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita
Juga gelas yang dituankan dan ditenggak
Maka hiburan dan rekreasi kami adalah
Berdiskusi dan menelaah kitab. (Spiritual Writing, 2007:162)

Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa. Bayangkanlah, andaikan masyarakat kita menjadikan kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitas dari masyarakat kita. Andaikan gru-guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Sebagaimana di awal tulisan ini, maka wisata tempat pemandangan seindah apapun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung.

Andaikan setiap bulan, misalnya, kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 10 tahun; maka minimal 660 tempat wisata telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 660.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan. Di tingkat kabupaten.

Fatalnya, masyarakat dan kita masih memandang hal ini dengan sebelah mata. Bahkan, para guru pun belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Guru dan masyarakat kita masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan, Ibnu Duraid ini, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.

Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting kita budayakan wisata hati ini. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan.

Jika masyarakat pembelajar terbentuk seperti impan Andreas Harefa dalam bukunya, Menjadi Manusia Pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2005); maka semangat dan motivasi berubah masyarakat kita akan luar biasa. Tradisi lisan masyarakat pelan-pelan akan tergantikan dengan impian yang demikian. Kapan kita akan berubah ke wisata hati jenis ini? Tentunya, dapat kita mulai hari ini, minggu ini, atau bulan ini. Jangan ditunda pada bulan depan, sehingga perubahan pada keluarga dan masyarakat kita akan cepat tercipta. Khususnya, tentu, di sekolah-sekolah kita. Bukankah sekolah analog tempat suci dalam mereguk ajar generasi pintar? Sekolah, harapannya, akan menjadi rekreasi hati buat siswa siswinya. Dan, di sekolah kami, hal ini akan menjadi refleksi setiap kali. Mudah-mudahan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar