Rabu, 22 Oktober 2008

BELAJAR MEMBACA DARI NATASYA

Sutejo

Masih ingatkah Anda dengan Natasya Nikita? Mantan penyanyi cilik yang terkenal dengan lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut? Pada ulang tahunnya yang ketujuh belas (sweet seventeent) dia mendapat kado dari sebuah penerbit berjudul Nikita, My All. Apa yang menarik dari pribadi Nikita? Ada beberapa catatan kecil yang menarik untuk diperhatikan: (a) Nikita ternyata banyak meluangkan waktu untuk membaca bahkan pada saat menunggu manggung sekalipun, (b) koleksi bukunya mencapai 4.000 buah (2005) (baca: Matabaca, September 2005:50); (c) betapapun sederhananya sebuah buku ternyata ada manfaatnya, (d) kamarnya penuh dengan buku, dan (e) ketika keluar kota dia rindu akan kamarnya.

Apa komentar Anda? Sebagaimana pengalaman penyanyi Titik Qadarsih atau pelawak Thukul Arwana, mereka adalah dua orang yang suka baca. Kita sering ”memandang sebelah mata” kepada orang. Seorang kawan yang saya hormati, pernah komentar miner pada Thukul, ”Masa generasi setiap hari diajak ketawa-ketawa saja.” Sebuah reduktifikasi berpikir (berkata) yang aneh untuk seorang teman –yang katakanlah—bukan orang biasa.

Sebagaimana sering saya singgung, bahwa menulis bisa berguru kepada siapa saja dan apa saja; maka setiap fenomena dan who adalah ”yang dapat ditiru”. Bukan dihujat! Apa dan siapa adalah bahan sekaligus cermin sosial yang menarik untuk dikritisi. Untuk ini, jika kita berkaca pada cermin Nikita, maka ada beberapa pelajaran yang menarik untuk diinternalisasikan.

Pertama, berkamar buku. Koleksi Nikita dua tahun lalu berkisar 4000 kalau dikalikan rata-rata harga buku –katakanlah 25 ribu—maka dia sudah membelanjakan 100 juta. Sebuah angka yang tidak kecil, padahal rata-rata buku sudah di atas 50 ribu. Sebuah pengorbanan yang luar biasa. Untuk inilah, jika kita sebagai guru atau pelajar, maka mengoleksi buku merupakan tuntutan yang pertama-tama. Bukan mobil, HP, atau aksesoris hidup lainnya. Bukankah, analek Konfusius mengatakan ”bahwa buku adalah seperti gudang berisi emas” (Eko Laksono, 2007:323). Demikianlah, memang berguru berburu ilmu tidak harus fisik tetapi bisa bergulat, membaca.

Kedua, membaca seperti ngemil. Lihatlah pengalaman Nikita ketika nunggu manggung dia membaca. Karena itu, sebagaimana diungkapkan oleh Hernowo dalam bukunya berjudul Andaikan Buku Sepotong Pizza (Kaifa), menarik untuk ditindaklanjuti. Membaca memang butuh rileks. Karena rileks dalam teori hipnosis, akan mendorong seseorang memasuki wilayah alfa. Gelombang alfa, selanjutnya, akan membangun ”bawah sadar” seseorang. Ingat, teori psikologis mutakhir mengingatkan ternyata hidup kita dikendalikan oleh bawah sadar sebanyak 88 persen.

Sebuah pengalaman belajar sebenarnya, tetapi banyak insan yang tidak menyadarinya. Kekangenan Nikita akan kamar tinggalnya ketika keluar kota adalah ”dunia bawah sadar” yang menggetarkan. Jika kita percaya dari pengalaman makna pertama di atas, ”bahwa buku adalah gudang emas” maka menarik untuk merawat gudang emas itu dengan membacanya. Ngemil. Analog dengan kegemukan orang, atau kesehatan orang secara fisik, maka sangat ditentukan oleh keteraturan dalam makan dan ngemilnya; maka jika kita ingin sehat secara psikologis dan keilmuan penting untuk ngemil dalam melahap buku.

Ketiga, memaknai peristiwa penting dengan buku. Seventeent adalah puncak psikologis yang banyak dipuja remaja. Tetapi jarang mereka yang memaknainya dengan kegiatan positif –katakanlah seperti apa yang dialami oleh Nikita— dengan bergulat dengan buku. Mendapat kado buku dari penerbit. Dalam rangka membangun motivasi, Sandy mac Gregor (2007), pernah berpesan pentingnya merawat ”jangkar emosi”.

Jangkar emosi akan menumbuhkan semangat di satu sisi, dan di sisi lain membangun dunia ”bawah sadar” yang terus berkobar. Dengan begitu, apa yang dapat kita lakukan dalam kehidupan ini adalah merawat ”kondisi emas”, yang mengesankan, dengan menjadikannya sebagai jangkar emosi dalam kehidupan. Jangkar emosi dengan berbagai visualisasi (imajinasi) inderawi: kinestetik, visual, audio, raba, dan ciuman. Sebuah alat penting untuk menajamkan imajinasi seseorang yang senantiasa menggerakkan. Ingat kan bagaimana Einstein berpesan, ”Imagination is more than knowledge”.

Akhirnya, manakala kita jujur atas cermin Nikita di atas, alangkah baiknya menjadikannya kritik penting sehingga dalam laku hidup profesi kita akan merasa malu jika tidak menggaulkan diri dengan buku. Tidak merawat momen-momen penting dalam bersentuh dengan buku untuk menciptakan jangkar emosi. Dan, lebih dari itu meluangkan sebagian finansial untuk menciptakan “gudang emas” yang akan menjadi harta karun di masa depan.

Jepang dalam kasus ini adalah contoh Negara dengan kesadaran tertinggi dalam memfasilitasi dan menggauli perbukuan. 40 buku per-orang dalam setahun konsumsi pembacaannya (Spiritual Reading, 2006). Marilah kemudian kita transformasikan cermin Nikita ini dalam ruang-ruang keluarga kita sehingga ke depan akan menjadi “gudang” emas di masa depan.


*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar