Rabu, 22 Oktober 2008

BERGURU PADA FRANZ

Sutejo

Pada sebuah harian nasional, Franz Magnis Suseno pernah mengungkapkan begini, “Bodoh kalau Menulis Buku.” Ungkapan demikian barangkali sebuah ungkapan yang menarik untuk direnungkan. Di satu sisi, hal ini mencerminkan bagaimana tidak berharganya dunia perbukuan di Indonesia, dan di sisi lain, bagaimana sesungguhnya menulis buku membutuhkan riset dan waktu yang sangat panjang.

Selanjutnya, Frans Magnis Suseno, memberikan ilustrasi begini: penghasilan yang diterima dalam me¬nulis buku sama sekali tidak sebanding dengan kerja kerasnya untuk menghasilkan buku ter¬sebut. Apalagi, jika dibandingkan dengan honor yang dia terima sebagai pembicara dalam sebuah seminar ataupun menulis artikel di media cetak yang tidak memerlukan riset ataupun persiapan.

Berikut contoh yang dikemukakannya, sebuah buku filsafat dijual seharga Rp 40.000,00 dan royalti sebesar sepuluh persen, dia mendapat Rp 4.000,00 setiap eksemplar. Jika laku dua ribu maka dia mendapat Rp 8 juta. Namun, buku filsafat bukanlah fiksi yang laris dibaca orang, maka honor sebesar itu kadang harus diterima dalam waktu satu tahun. Bandingkan dengan honor sebesar Rp 1 juta untuk satu kali mengisi seminar ataupun honor menulis artikel. Padahal, menulis sebuah buku membutuhkan riset serius dalam waktu lama, seperti buku Etika Jawa dan Pemikiran Karl Marx yang memakan waktu masing-masing lebih dari dua tahun. Meski demikian, rohaniwan ini tetap rajin menulis buku. "Mungkin sudah menjadi watak saya," tuturnya. Sejak tahun 1975, Franz Magnis sudah menghasilkan 26 bu¬ku filsafat.

Realita demikian memang memprihatinkan. Akan tetapi, apa yang dapat diambil dari pengalaman kepenulisan Franz? Luar biasa! Pertama, pentingnya semua pihak peduli buku. Artinya, kita sebagai pembeli belajar membeli buku, bukan foto kopi. Demikian juga, pemerintah menarik untuk mengawal bagaimana hak cipta intelektual (penulisan buku) sehingga tidak dibajak oleh berbagai pihak. Bagaimana membangun masyarakat peduli buku? Tentu, yang pertama-tama adalah bagaimana membumikan kebiasaan membaca dalam keluarga dan sekolah dengan buku-buku.

Kedua, sindiran Franz Magnis Suseno sesungguhnya bermakna positif. “Bodoh kalau menulis buku” itu jika dibaca dalam iklim masyarakat kita yang tidak memiliki sence of book. Sebaliknya, jika masyarakat sudah terbentuk, maka, kebodohan ini akan terbaca positif: “Bodoh kalau kita tidak menulis buku!”

Karena itu, marilah kita mulai menulis buku. Sebagaimana resep banyak orang, Hernowo misalnya, setiap hari memfasilitasi dengan menuangkan pemikiran dalam minimal selembar kertas. Selembar kertas dalam sebulan, tentu, sudah tiga puluh halaman. Berarti dalam hitungan empat bulan sudah lahirlah sebuah buku menarik dari tangan kita.

Ketiga, nilai yang dapat diambil dari Franz adalah komitmen dan kerelaan berkorban dalam kepenulisan. Ini tentu, banyak dilakukan penulis lain macam Azyumardi Azra, Andreas Harefa, dan Adi W. Gunawan.

Bagaimana dengan Anda? Tanamkan komitmen, bulatkan dalam hati bahwa bodhlah jika kita tidak menulis, dan perlunya mengawali peduli buku dalam membangun kepenulisan. Selamat melangkah, biarkan langit esok mewariskan biru keteduhan dalam menggantungkan cita kepenulisan Anda!***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar