Rabu, 22 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI ADI W GUNAWAN

Sutejo

Adi W Gunawan adalah guru saya. Saya pernah secara ilmiah dapat pelatihan hipnosis dalam upaya pengembangan motivasi untuk sukses. Nah, sekarang apa yang menarik dari pengalaman tokoh ini dalam menulis? Jika kita mencermati dari pengalaman kepenulisan Adi tentunya membuat kita “iri” dan kepingin menirunya. Adi W Gunawan baru menulis buku pada tahun 2003, dan kini sudah belasan buku yang lahir dari tangannya. Rata-rata bestseller. Sementara, saya sendiri sudah menulis itu sejak mahasiswa, kira-kira pada tahun 1988. Tapi mengapa dia lebih berhasil? Inilah yang dapat kita petik dari membaca pengalaman proses kreatifnya sebagaimana dimuat di Matabaca (edisi Desember 2006:38-39).

“Menulis menurut saya pribadi,” akunya, “adalah proses belajar yang tanpa henti, mengembangkan diri ke arah yang lebih baik, aktualisasi diri, dan merupakan sarana efektif untuk menembus berbagai kemungkinan.” Apa yang dapat ditiru? Barangkali beberapa hal berikut (a) menulis itu proses, (b) menulis dapat dipakai untuk pengembangan diri, (c) menulis untuk aktualisasi, dan (d) menulis itu sarana untuk menembus berbagai kemungkinan. Luar biasa!

Keempat hal ini, tentunya, merupakan filosofi kepenulisan yang dapat disisir ke tepi-tepi pantai kepenulisan. Sebuah proses, misalnya, karena menulis adalah sebuah perjalanan panjang dari sebuah pribadi yang tidak dapat ditempuh seperti naik pesawat. Apalagi seperti mi instan, siap saji. Sama sekali bukan. Sebaliknya, menulis adalah proses panjang. Katakanlah, dari proses kesukaan berburu informasi seperti Pak Adi, sehingga pada saat kondisi flow, tinggal memfasilitasi persalinannya. “Ada masa di mana pikiran kreatif begitu aktif bekerja dan menghasilkan buah pikir yang mengalir deras seperti air. Kondisi ini adalah kondisi yang dicari oleh setiap penulis. Kondisi ini disebut dengan flow.” (Matabaca, desember 2006:39)
Sebagian penulis lain bilang, kondisi demikian ini dengan mood. In. Jika terbiasa, bahkan kondisi demikian bisa “diciptakan”. Untuk inilah, maka jika sudah memiliki keinginan besar untuk mengungkapkan pikiran, misalnya, cobalah memfasilitasinya dengan tanpa memikirkan salah atau tidak. Sebab, sebagaimana diungkapkan Adi Gunawan, ternyata menulis adalah untuk mengekspresikan diri.

Jika Adi Gunawan, dalam pengakuannya, hal tersulit yang menyebabkan dia mengalami kesulitan adalah karena dia tidak memiliki pengajar atau guru. Sehingga ia harus menempuhnya, perjalanan kepenulisan itu secara autodidak. Kelebihannya, karena itu, dia tidak terikat pada salah satu style, mengalir untuk mengekspresikan pengalaman yang telah dia tekuni dalam pelatihan-pelatihan. Apa yang menarik? Dari pengalaman empiriklah, materi kepenulisan itu akan sangat mudah mengalir seperti alir sungai yang deras. Bagaimana dengan Anda?

Jika sering saya kemukakan, bahwa menulis itu tidak pandang profesi, artinya apapun dan siapapun kita dapat menulis; maka dalam konteks ini ada baiknya kita coba merenungkan pengalaman perjalanan hidup masing-masing untuk dicoba dituangkan dalam materi kepenulisan. Hasilnya, bisa jadi, luar biasa seperti apa yang dilakukan oleh Adi Gunawan.

Motivasi lain yang dapat dipetik dari pengalaman kepenulisan Adi Gunawan adalah bahwa menulis itu dapat dipakai untuk pengembangan potensi diri. Pengalaman ini, dalam jejak pemikiran tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Soejatmoko, menjadi fakta penguatnya. Bukankah ketiga tokoh ini dikenal kuat pemikiran yang ditransformasikan ke dalam praksis kepemimpinan dan ketokohannya? Di sinilah, maka jika kita ingin mengembangkan potensi profesi dan kemampuan diri, tidak ada cara lain yang paling efektif kecuali menulis. Ulama-ulama besar dalam perjalanan sejarah budaya Islam adalah teladan hidup yang dapat terus digali. Ibnu Duraid, Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya adalah contoh ulama yang menjulang karena kebiasaan baca tulisnya.

Hal lain yang dapat dipetik dari Adi Gunawan, adalah bahwa menulis menjadi sarana aktualisasi diri. Aktualisasi diri yang membantu citra diri, paling tidak, merupakan ukuran intelektualitas seseorang. Kejernihan diri (termasuk dalam berpikir) dapat ditelisik dari tulisan seseorang. Tidak heran, kalau secara sederhana aktualisasi diri (termasuk dalam berbagai peran dan profesi orang) dapat disisir dari cara mereka mengakualisasi dirinya dalam tulisan. Bukankah sesungguhnya, menulis adalah puncak keterampilan hidup seseorang. Banyak orang begitu berat menyelesaikan kesarjanaannya karena tidak mampu mengembangkan kemampuan menulisnya?

Terakhir, menulis dapat memfasilitasi seseorang menembus berbagai kemungkinan hidup. Pengalaman saya, dalam menjalin networking di tanah air, 80% ditentukan oleh pengalaman saya di bidang kepenulisan. Sebab, dalam dunia kepenulisan relasi itu terbangun lintas waktu, lintas tempat, lintas ruang, dan lintas status. Sebuah dunia kejujuran, --yang barangkali—memang tidak ada duanya. Kalau profesi lain penuh intrik dan manipulasi ”politik” maka dunia kepenulisan relatif terhindar darinya. Termasuk, nasib mujur saya dalam memasuki program doktor, bukan karena lamaran saya, tetapi karena pengalaman itu yang memancing orang membantu saya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Masih ragu? Barangkali, penting bermenung setiap pagi kemudian kita penting bertanya dalam hati (a) mengapa orang lain mampu menulis saya tidak? (b) mengapa mereka begitu mudah merentas jalan hidupnya dibanding saya? dan (c) mengapa orang yang dulu saya lihat ”bodoh”, tidak berpotensi, sekarang mampu melejit jauh meninggalkan saya?

Di sinilah, barangkali kita penting merenungkan ungkapan Henry Miller yang mengatkatan begini, ”we are all creative”. Setiap manusia memiliki daya cipta. Tunggu apa lagi? Bagaimana mewujudkannya? Ada pesan penting dari Gerald Brenan, ”Awali setiap pagimu dengan menulis, itu akan membuatmu jadi seorang penulis!” (Roland Fishman, Creative Writing, 2005:7). Apa yang ditulis? Apa saja. Tentang siapa saja. Untuk apa? Untuk apa saja.

Saya sendiri, sekali lagi, tidak pernah bermimpi jadi penulis. Tetapi, perjalanan dan pergulatan adalah isteri setia yang melahirkan orok-orok yang luar biasa. Mau bukti? Melangkahlah dengan mengawali menulis setiap pagi, setiap bangun tidur, setiap sulit tidur, setiap Anda punya masalah. Tapi ingat, latihlah dengan balutan jernih pikir, sedikit imajinasi, dan kelembutan hati.

Di ujung pelayaran dengan perahu kepenulisan, Anda akan melewati beragam gelombang –kadang-kadang badai--, yang tentunya membutuhkan kearifan nahkoda dalam mengemudikannya. Jangan takut dengan para bajak laut kepenulisan, jangan kuatir Tuhan tidak mengerlingkan pandang pada niat suci Anda. Kayuh perahu kepenulisan itu, dan di ujung pandang (di pantai harapan), Anda akan menemukan ”rumah kedamaian” hidup –yang tidak semua orang mampu memasukinya--. Ingin bukti, berpuluh buku barangkali tak mampu untuk menunjukkan berapa ratus, berapa ribu, dan berapa juta penulis di dunia ini yang telah menikmati. Sebab, sebagaimana di tengah tulisan ini, telah kita pahami bahwa kepenulisan itu adalah lintas waktu. Apa yang akan kita tinggalkan dalam hidup kecuali gading? Dan gading itu hanya bisa bersanding dengan tulisan, bukan harta, bukan rumah mewah, apalagi mobil pribadi yang hanya menjadi manipulasi gengsi.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar