Rabu, 22 Oktober 2008

Belajar Menulis dari Rhenald Kasali

Sutejo

Steven Covey, pengarang buku Eight Habits, pernah mengatakan, orang harus punya sesuatu yang bisa diwariskan setelah mati selain nama. "Covey bilang apa sih yang ingin orang ucapkan tentang kamu di depan makam kamu. Cuma nama saja, atau kamu ingin diumpat sebagai penjahat, atau diingat karya-karyanya atau pemikirannya?" ungkap Rhenald. Terdorong hal itu, menulis buku adalah jawabannya. Bagi Rhenald Kasali, bisa menulis buku itu satu anugerah, suatu kebanggaan yang tidak terhingga lantaran penulisnya meninggalkan warisan pemikiran kepada orang lain.

Semua itu terwujud saat anaknya memperlihatkan kebanggaan ketika tahu di perpustakaan sekolah ada buku yang ditulis ayahnya. "Yang paling membahagiakan, saya kira ke¬banggaan anak-anak saya itu. Selain itu, sewaktu sekolah di Amerika, saya tak bisa menyembunyikan kebanggaan saya ketika secara iseng-iseng buka katalog di perpustakaan, ternyata keluar nama saya. Teman-teman yang ada di situ pada bingung semuanya. Saya juga enggak nyangka bahwa perpustakaan tempat saya mengambil gelar doktor itu ternyata mengoleksi buku saya," papar Rhenald.

Sejak tahun 1994, ia sudah menulis 10 judul buku. Tema yang ditulis di bidang marketing dan manajemen sesuai dengan keahliannya. Buku-buku karangannya rata-rata masuk dalam buku-buku best seller, seperti Manajemen Periklanan, Manajemen Public Relation, dan Membidik Pasar Indonesia. Buku-buku tersebut terjual di atas 20.000 eksemplar. Kini buku yang dia tulis, jauh lebih banyak, dan rata-rata memiliki apresiasi yang positif di masyarakat.

Nah, sekarang –lagi-lagi— apa yang dapat diambil dari pengalaman menulis Rhenald Kasali? Wuih, kali ini pengalaman itu tampaknya lebih filosofis. Pertama, pentingnya meninggalkan nama setelah mati. Setiap orang pasti mati, karena itu, jika ingin dikenang menulis adalah jawabannya. Kata peribahasa, gajah mati tinggalkan gading manusia mati tinggalkan nama. Peribahasa ini menjadi luar biasa, manakala kita dapat menerjemahkannya dalam praksis hidup dengan gairah menulis dalam denyut nadi.

Kedua, menulis itu membanggakan. Awas, sesungguhnya menulis bukan untuk bangga-banggaan, tetapi siapa sih yang tidak bangga jika tulisan kita dibaca orang lain? Apalagi jika itu berbentuk buku yang abadi dalam sepanjang waktu? Anak cucu dapat menikmati nama ayah-atau ibunya yang diabadikan di perpustakaan.

Karena itu, barangkali, menulis buku karenanya, lebih berharga daripada harta benda yang kita wariskan kepada generasi nantinya. Sebab, dalam menulis ada ilmu yang kita wariskan. Jika agama mengatakan zakatnya ilmu dengan mengamalkanlah, maka dengan menuliskan pikiran dan ilmu pengetahuan berarti kita telah “terbebas” dari dosa, kikir terhadap ilmu yang telah kita terima.

Ketiga, menulis jadi jembatan beramal. Sebagaimana disinggung pada poin kedua, maka hakikat berbagi ilmu dengan sendirinya adalah beramal. Amal ilmu adalah dengan menularkannya. Untuk itu, secara filosofis, hal ketiga ini pentingnya kita agar tidak kikir dalam berilmu. Ilmu diamalkan akan bertambah!

Nah, tunggu apalagi? Mulai beramal dengan ilmu, marilah Anda sadari sedini hari. Bukankah umur tak kekal jika dibandingkan ilmu yang diamalkan? Untuk itu, marilah kita tuangkan ilmu yang kita miliki dengan menuliskannya sehingga pesan hadis yang mengatakan, “matinya ngalim adalah matinya alam semesta” dapat dihindarkan.

Bagaimana dengan Anda? Jangan beralasan tidak berilmu, dimensi ilmu dalam lembar hidup ini terentang dalam segenap gerak dan langkah hidup kita. Tunggu apa lagi? Berbagi ilmu adalah ibadah, kikir terhadap ilmu na’udubilah.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar