Rabu, 22 Oktober 2008

BERGURU MENULIS PADA ANJAR

Sutejo

Ada seorang perempuan yang memiliki obsesi menulis sejak usia 4 SD, dan pernah distrap gara-gara membaca majalah Kartini. Lahir dari keluarga guru yang sudah membiasakan membaca dan menulis sejak TK. Dan pada usia SMP, sebuah pertemuan yang mengasyikkan dengan penulis nasional, Hilman Hariwijaya, yang sedang promo tour buku serial Lupus ke berbagai sekolah. Hasilnya, pertemuan itu semakin membuat dirinya keranjingan menulis, yang akhirnya kini sudah banyak buku yang dihasilkannya. Perempuan kelahiran 1 Februari 1973 ini pekerjaan sehari-harinya adalah menjadi pendamping mahasiswa di Gereja Mahasiswa (GEMA) Katholik Bandung.

Buku-buku yang telah lahir dari tangannya diantaranya: (a) Beraja: Biarkan Ku Mencita (Novel, Grasindo), (b) Kidung Senandung Cinta Untukku (Novel, Grasindo), (c) Tiga! Menjemput Semburat Cinta (Novel, Grasindo), (d) Lelana, Jiwa-Jiwa yang Pulang (Novel, Grasindo), (e) Selasar Kenangan (Kumcer, Akoer), (f) Apa Kabar Kang Je? (Kumpulan Cerita Rohani, Penerbit Obor), dan (g) Karena Aku Sayang (Teenlit, GPU). Perempuan berkacama dengan karya-karya ini adalah Anastasia Ganjar Ayu Setiansih.

Dalam akuan proses kreatifnya di MataBaca, edisi November 2007 (hal. 28-29), Anjar menuturkan beberapa pengalamannya berkaitan dengan persalinan dan kiat-kiat produktifnya. Beragam hal yang dapat ditiru diantaranya adalah (a) dalam menulis dia memiliki prinsip berbagi hidup, (b) dalam menulis tidak terikat waktu dan tempat, bahkan bisa menyesuaikan dengan deadline, (c) pentingnya mendapatkan mood yang dalam bahasa Anjar disebutnya dengan jiwa dari tulisan (sehingga tulisan bernyawa), (d) dalam menulis selalu Anjar yang menyelam ke dalam karakter tokoh, (e) mengamati realitas yang tidak terduga, dan (f) mendengarkan cerita orang, membaca peta dan literatur dunia kemudian diramu dalam imajinasi.

Oke, sekarang mari kita memasuki taman rekreasi kreatif Anjar untuk berselancar menemukan pijar kepenulisan di masa depan. Ketika prinsip menulis Anjar dia yakini sebagai sarana berbagi, maka harapan terbesarnya adalah bagaimana karya-karya yang lahir dari tangannya dapat diterima dan diapresiasi pembaca. Untuk apa karya ditulis jika tidak komunikatif dengan pembaca, begitulah barangkali yang dipikirkannya. Lebih jauh, berbagi hidup memang sangat dimensional, luas, dan jenjang hierarkhis maknanya berlapis-lapis. Kumpulan cerita rohani, Jiwa-Jiwa yang Pulang tampaknya memiliki makna yang jauh lebih mengesankan. Pada saat keinginan berbagi pengalaman rohani itu berhenti (artinya tidak dapat melanjutkan tulisan), Anjar lebih memilih berhenti, cari suasana baru, atau mendengarkan lagu yang easy listening.

Kelenturan dalam menulis tampaknya merupakan pelajaran menarik bagi kita. Tidak semua penulis dapat melakukan hal demikian. Karena situasi dan kondisi (yang biasanya juga dipengaruhi tempat), hakikatnya memiliki magis kepenulisan tersendiri. Belajar dari pengalaman Anjar ini, tentunya yang menjadi PR kita adalah bagaimana mengondisikannya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Bahkan, menurutnya, yang terpenting adalah mencari mood. Ini yang susah. Mood dalam bahasa Anjar (dan ini agak berbeda dengan pengakuan penulis lain yang memandang sebagai kondisi “trans”), hakikatnya adalah proses memberi jiwa sebuah tulisan. Tulisan yang lahir dari kondisi demikian, dengan sendirinya, akan menjadikan tulisannya berjiwa.

Hal ketiga, yang dapat dipetik adalah pentingnya penyelaman terhadap karakter tokoh yang diciptakan. Ini tentu berkaitan dengan hal penjiwaan, membutuhkan empati, dan pelatihan “peran imajinasi” agar –lagi-lagi—tulisan berjiwa. Pengalaman ini hakikatnya adalah proses pengolahan mood yang telah dicarinya. Memang, sebagian penulis percaya, bahwa mood dapat dicipta. Itu berarti kehadirannya dapat diransang dengan semisal membaca, merenung, mendengarkan musik, meditasi, dan sebagainya. Prinsipnya, mengundang mood membutuhkan kearifan laku kepenulisan secara khusus (wuih).

Seperti halnya Ayu Utami, dalam pra penulisan Anjar juga membutuhkan “penelitian”, observasi, --yang dalam bahasa Gola Gong—membaca hakikatnya juga sebuah observasi. Di sinilah, maka hal menarik yang perlu kita fasilitasi dalam menulis adalah kepekaan, empati, dan pikir-rasa berlibat atas fenomena. Hal ini akan mendorong bagaimana tulisan itu memiliki kontekstualisasi dengan suasana dan rasa. Membaca peta, buku, dan literatur lainnya merupakan upaya mendasar dalam membangun imajinasi agar tulisan memiliki “daya jiwa”. Inilah, yang dapat kita petik selanjutnya dari pengalaman Anjar.

Dan terakhir, pengalaman kemandegan dalam berkarya dapat dibantu dengan dengan mengamati realitas sosial, rutin keseharian. Pengalaman Anjar ketika macet dalam menyelesaikan novelnya, dalam berjalan ke kantor dia menemukan makna metaforik dalam pengalaman langsungnya. Ketika berjalan ke kantor ia dihadapkan pada pemandangan mengagumkan. Persis di depannya sebentuk pohon sedang meranggas, detik itu juga sedang membiarkan dedaunannya menari-nari ditiup angin, dari atas, satu..., pelan menuju ke bumi, berlenggok layaknya penari yang sedang genit dan lentik menarikan lagu alam. Meski satu-satu melunglai, tapi karena pohon itu cukup besar maka tak lama makin banyak juga daun yang berguguran menuju bumi, memenuhi jalan aspal hitam disekitarnya.

Kondisi itu yang kemudian dia gambarkan dengan detail dan tentu saja berhubungan dengan cerita sebelum atau sesudahnya. Pengalaman Anjar ini cocok dengan apa yang diajarkan Gola Gong di Kelas Menulis Rumah Dunia untuk mengamati realitas sehari-hari, berpergian, dan menuliskannya detail tentang berbagai hal. Sebuah upaya penting melukiskan setting itu sendiri yang sekaligus bermakna metaforis terhadap karakter tokoh dan lebih-lebih lagi berkaitan dengan penjiwaan sebuah tulisan.

Nah, jika kita mau mencermati dari pengalaman Anjar ini tentunya makna kepenulisan jadi demikian dalam. Di satu sisi keinginan berbagi dapat terfasilitasi, dan di sisi lain bahan kepenulisan memang tidak terbatas manakala kemampuan dasar empati, berlibat, dan rasa menjiwa menjadi tikar yang mengakar.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

1 komentar:

  1. terima kasih mas sudah menuliskan proses kreatif saya di sini
    wah baru nemu saya

    saya sempat tercengung ketika mas menuliskan "Ada seorang perempuan yang memiliki obsesi menulis sejak usia 4 SD, dan pernah distrap gara-gara membaca majalah Kartini".
    saya malah lupa pernah memberitahu hal itu dimana ya?
    tapi dikoreksi, bukan kelas 4 SD, tapi kelas 2 SD hehe...

    sekali lagi terima kasih
    salam buku
    "karena menulis adalah berbagi hidup"

    -anjar-
    novelanjar@gmail.com

    BalasHapus